Sepercik Cahaya Hidayah Imam Hasan Askari
  • Judul: Sepercik Cahaya Hidayah Imam Hasan Askari
  • sang penulis:
  • Sumber: IRIB Indonesia
  • Tanggal Rilis: 20:53:55 1-10-1403

Para Imam maksum dan Ahlul Bait Nabi adalah

manifestasi sempurna nilai-nilai tinggi kemanusiaan.

Sirah mereka yang penuh dengan ibadah terindah dan

ideologi paling kuat serta pengambilan keputusan

paling bijaksana di bidang politik dan sosial,

merupakan gambaran sempurna dari sosok Ilahi.

 

Manusia sempurna ini di bidang ibadah, jihad dan

ketika menerima tanggung jawab sosial dan politik tak

pernah goyah dan memilih menempuh jalan kebenaran.

Kesemuanya ini hanya dengan niat mendekatkan diri

kepada Tuhan dan berlepas tangan dari musuh-musuh-Nya.

Imam Hasan Askari adalah bintang terang dari tata

cahaya. Imam Hasan Askari menghabiskan usianya yang

pendek bersama ayahnya, Imam Hadi as di kamp militer

Askar, di kota Samarra. Setelah Imam Hadi as gugur,

Imam Hasan mengambil tampuk imamah dan selama enam

tahun beliau aktif menyebarkan ajaran Islam dan

memerangi ideologi sesat. Perjuangan ini beliau

lakukan di tengah-tengah pembatasan super ketat yang

diberlakukan pemerintah zalim saat itu kepadanya.

 

Imam Hasan Askari mulai menata ulang pemahaman umat

Muslim saat itu untuk mengarahkan mereka kepada ajaran

luhur Islam dan kebaikan. Di antaranya adalah ucapan

beliau mengenai nilai akal dan nasehat. Beliau

bersabda, “ Hati adalah memori dari hawa nafsu, namun

akal adalah pengendali dan melalui beragam pengalaman

manusia mampu meraih pelajaran baru. Nasehat dan

mengambil pelajaran adalah sumber hidayah.”

 

Terkait takut dan optimisme sebagai sarana untuk

mencegah seseorang berbuat dosa, Imam Hasan

mengatakan, “Apa untungnya rasa takut dan harapan yang

dimiliki seseorang jika keduanya tidak mampu mencegah

tuannya menghindari perbuatan buruk dan bersabar

ketika tertimpa musibah.” Mengenai perilaku meremehkan

dosa, Imam Hasan bersabda, “Di antara dosa yang tidak

terampuni adalah ketika pendosa berkata, aku tidak

akan diazab hanya karena dosa ini?”

 

Di samping hal ini, pada dasarnya Imam Hasan Askari

menilai seluruh lapisan masyarakat sebagai pengikutnya

dan menjelaskan bahwa bagaimana ia meluangkan waktu

untuk memberi petunjuk bagi kelompok tertentu.

Sejatinya Imam Hasan Askari telah mengingatkan

pengikutnya soal pengenalan terhadap audiens dalam

proses pemberian petunjuk dan hidayah.

 

Salah satu pengikut Imam Hasan bernama Qasim Harawi

mengatakan, “Sebuah surat Imam sampai kepada salah

satu sahabat beliau. Sejumlah sahabat beliau terlibat

perdebatan mengenai surat tersebut. Kemudian Aku

menulis surat kepada Imam dan menjelaskan pertengkaran

sahabat beliau. Dan Aku mengharap petunjuk beliau

untuk menyelesaikan masalah ini. Imam menjawab,

“Seperti Allah Swt berfirman kepada mereka yang

berakal dan tidak ada yang mengungguli Nabi Muhammad

dalam mengungkapkan argumentasinya atas kebenaran

kenabiannya, namun demikian orang Musyrik masih

mengatakan bahwa Nabi pembohong, dukun dan tukang

sihir...”

 

Lebih lajut Imam berkata, “...Allah Swt akan menuntun

mereka yang memiliki kelayakan untuk menerima hidayah,

karena mayoritas manusia menerima argumentasi. Dengan

demikian, ketika Allah menghendaki kebenaran tidak

terungkap, maka selamanya kebenaran tidak akan muncul.

Ia mengutus nabi untuk memberi manusia harapan dan

rasa takut dan di kondisi lemah dan kuat, para nabi

secara terang-terangan menyeru manusia kepada

kebenaran dan senantiasa berbicara kepada mereka

sehingga perintah Tuhan dan ajarannya dapat

ditegakkan.”

 

Manusia memiliki berbagai tingkatan, ada yang mendapat

pencerahan, mengenal jalan keselamatan, berpegang

teguh pada kebenaran dan ada pula yang memilih jalan

lain serta tidak ada keraguan di mata mereka dan tidak

akan berlindung kepada selain-Nya. Adapun kelompok

lain adalah mereka yang mengambil kebenaran tidak dari

ahlinya, orang seperti ini ibaratnya orang yang tengah

mengarungi laut dan menderita dengan kemarahan laut

serta tenang ketika laut tenang.

 

Kelompok lain adalah mereka yang terbelenggu dengan

setan dan menolak ajakan kebenaran serta menumpas

kebenaran dengan kebatilan. Orang seperti ini pada

akhirnya akan terlempar ke sana kemari dan pada

akhirnya menyerah.

 

Imam Hasan Askari demi menyebarkan Amar Makruf Nahi

Munkar dan memperbaiku umat Islam telah menggunakan

beragam metode. Ketika Imam di penjara, beliau mampu

mengubah perilaku para tahanan hanya dengan akhlak

mulia beliau. Ketika tahanan ini keluar dari penjara,

mereka mendapat pencerahan mengenai keagingan dan

kautamaan beliau.

 

Di era kegelapan pemikiran dan penyimpangan akidah,

Imam Askari as bangkit menyampaikan hakikat agama

secara jernih kepada masyarakat. Beliau mengobati

dahaga para pencari ilmu dan makrifat dengan pancaran

mata air kebenaran. Argumentasi-argumentasi Imam

Askari as dalam kajian ilmiah, sangat berpengaruh, di

mana filosof Arab Ya'qub bin Ishak al-Kindi mulai

memahami kebenaran setelah berdebat dengan beliau dan

kemudian membakar buku-bukunya yang ditulis untuk

mengkritik beberapa pengetahuan agama.

 

Meskipun Dinasti Abbasiyah bermusuhan dengan Imam

Askari as, namun salah satu menteri rezim penguasa

dengan nama Ahmad bin Khaqan, mengakui keutamaan dan

karamah keturunan Nabi Saw itu. Dia berkata, "Di

Samarra, aku tidak melihat sosok seperti Hasan bin

Ali. Dalam hal martabat, kesucian, dan kebesaran jiwa,

aku tidak menemukan tandingannya. Meski ia seorang

pemuda, Bani Hasyim lebih mengutamakannya dari

kelompok tua di tengah mereka. Ia memiliki kedudukan

yang sangat tinggi, di mana dipuji oleh sahabat dan

musuhnya."

 

Semua kehormatan dan kemuliaan itu dikarenakan

ketaatan Imam Askari as kepada Allah Swt dan

kebersamaan beliau dengan kebenaran. Beliau berkata,

"Tidak ada orang mulia yang menjauhi kebenaran kecuali

dia akan terhina dan tidak ada orang hina yang

merangkul kebenaran kecuali dia akan mulia dan

terhormat."

 

Kedekatan dengan Tuhan dan sifat tawakkal telah

membantu Ahlul Bait Nabi as dalam memikul beban

penderitaan dan membuat mereka berkomitmen dalam

memperjuangkan kebenaran. Ibadah dan kecintaan kepada

Sang Kekasih, ada dalam fitrah manusia dan daya tarik

internal ini mampu membantu mereka dalam peristiwa-

peristiwa sulit. Manusia-manusia yang bertakwa dan

taat, telah terbebas dari ikatan dan belenggu-belenggu

hawa nafsu dan godaan duniawi. Mereka telah mencapai

puncak kemuliaan akhlak.

 

Rasul Saw dan Ahlul Baitnya adalah pribadi-pribadi

sempurna yang menduduki puncak kemuliaan akhlak.

Mereka dengan ketaatan penuh di hadapan kekuasaan

Tuhan, mencapai derajat spiritual yang tinggi dan sama

sekali tidak merasa kalah dalam melawan kemusyrikan

dan kekufuran di tengah masyarakat. Dalam sirah Imam

Askari as disebutkan bahwa beliau saat berada di

penjara, menghabiskan seluruh waktunya dengan ibadah

dan munajat kepada Tuhan. Pemandangan ini bahkan telah

menyihir para sipir yang ditugaskan untuk mengawasi

dan menyiksa beliau.

 

Beberapa pejabat Dinasti Abbasiyah memerintahkan Saleh

bin Wasif, kepala penjara untuk bersikap keras

terhadap Imam Askari as. Mereka berkata kepada Wasif,

"Tekan Abu Muhammad semampumu dan jangan biarkan ia

menikmati kelonggaran!" Saleh bin Wasif menjawab, "Apa

yang harus aku lakukan? Aku sudah menempatkan dua

orang terkejam dari bawahanku untuk mengawasinya,

keduanya sekarang tidak hanya menganggap Abu Muhammad

sebagai seorang tahanan, tapi mereka juga mencapai

kedudukan yang tinggi dalam ibadah, shalat, dan

puasa."

 

Pengaruh pemikiran dan spiritualitas Imam Askari as

membuat para penguasa Abbasiyah ketakutan. Oleh karena

itu, mereka memutuskan untuk menghapus keberadaan

beliau. Muktamid Abbasi, penguasa tiran Dinasti

Abbasiyah, akhirnya menyusun sebuah skenario untuk

membunuh Imam Askari as. Beliau syahid setelah

beberapa hari menahan rasa sakit akibat diracun oleh

Muktamid. Seorang pembantu Imam Askari as berkata,

"Ketika beliau terbaring sakit dan sedang melewati

detik-detik terakhir dari kehidupannya, beliau

teringat bahwa waktu shalat subuh telah tiba. Beliau

berkata, ‘Aku ingin shalat.' Mendengar itu, aku

langsung menggelar sajadah di tempat tidurnya. Abu

Muhammad kemudian mengambil wudhu dan shalat subuh

terakhir dilakukan dalam keadaan sakit dan selang

beberapa saat, ruh beliau menyambut panggilan Tuhan."