SURAH AL-FAJR
بِِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Dengan Nama Allah, Maha Pengasih, Maha Penyayang.
وَالْفَجْرِ
1. Demi waktu fajar,
Fajar artinya 'dinihari, subuh', dan menunjukkan suatu permulaan. Secara tiba-tiba realitas menyinari kita bagaikan pembukaan hari, dan awal bersinarnya cahaya atau pengetahuan adalah bagaikan awal bangunnya fisik.
وَلَيَالٍ عَشْرٍ
2. Dan demi sepuluh malam,
Menurut tradisi, sepuluh malam ini dianggap sebagai sepuluh hari pertama Dzuihijjah (bulan suci ziarah haji). Hari kesembilan adalah saat para peziarah berdiam di Arafah dari mulai tengah hari hingga matahari terbit, diam menunggu, menantikan pengetahuan yang sudah ada di dalam maupun di luar diri mereka. Penyebutan malam bukannya siang adalah mirip dengan penyebutan empat puluh malam yang ditetapkan oleh Allah untuk nabi Musa (Q.S.2:51). Mungkin hal ini berkenaan dengan keuntungan besar dari salat, tafakur dan berdoa kepada Allah selama malam-malam ini ketika semua aktivitas lahir sangat menurun, ketika konsentrasi kita sedang tajam-tajamnya dan, dengan demikian, ada kemungkinan yang lebih besar untuk mencapai mobilitas dan pembukaan batin. Juga, setiap malam ada siangnya, dan perjalanan manusia yang dimulai dari kegelapan dan kebodohan diharapkan akan berakhir dengan persepsi yang jelas tentang pengetahuan.
وَالشَّفْعِ وَالْوَتْرِ
3. Dan demi genap dan ganjil,
Syaf’a (angka genap) adalah dari syafa’a yang berarti 'menggandakan, menggenapkan yang ganjil, membubuhkan, menengahi'. Terjemahan umum dari syafa’ah (dari syafa’a) adalah 'perantaraan', tapi yang dimaksud sesungguhnya adalah kehadiran orang lain yang memiliki kekuatan dan pengetahuan lebih tinggi, dan dengan demikian mampu memberikan bantuan, bimbingan atau keberhasilan. Implikasinya adalah ada keterlibatan dua orang. Jika syafa’a diterapkan pada seekor unta betina atau biri-biri betina, berarti dengan melahirkan maka unta tersebut jumlahnya menjadi dua. Segala hal yang dapat diamati—semua pengalaman penciptaan—bergantung pada dualitas, meskipun dalam realitasnya ada keesaan di balik itu. Hanya ada satu realitas, namun semua aspek realitas tersebut muncul dua-dua: siang dan malam, pengetahuan dan kebodohan, syariat dan hakikat, taat dan membangkang, roh dan nafsu, dan sebagainya.
Salat malam dimulai dengan beberapa pasang siklus dan diakhiri dengan salat khusus yang terdiri dari satu rakaat, yakni salat witir (salat ganjil). Dengan demikian, dualitas pun akhirnya menjadi satu dalam salat witir.
وَاللَّيْلِ إِذَا يَسْرِ
4. Dan demi malam tatkala berlalu.
Sara berarti 'berangkat, menyuruh pergi, bepergian, pergi, berlalu'. Sayr berani 'perjalanan, gerakan, prosesi'. Kemudian muncullah kata sirah, yang berarti 'keadaan, kondisi, atau tingkah laku', khususnya menunjuk kepada perilaku Nabi Muhammad. Semua penciptaan bergerak secara konstan karena segala sesuatu bergerak dan berubah. Demikian pula malam dan siang, keduanya dalam keadaan bergerak. Dan dengan berlalunya kegelapan malam di akhir perjalanan hidup ini, maka kebodohan pun akan berlalu dan akhimya kita sadar akan Realitas.
هَلْ فِي ذَلِكَ قَسَمٌ لِّذِي حِجْرٍ
5. Tidak adakah dalam semua ini sumpah bagi orang yang memiliki pemahaman?
Hijr, dalam konteks ini, berarti sama dengan 'aql, yakni pemahaman dan nalar. Ayat ini menegur kita dengan mengatakan, "Apakah semua fenomena ini tidak cukup menjadi tanda bagi orang-orang yang berpikir?"
Setelah memberitahu kita bahwa di ujung kebodohan akan ada pengetahuan, bahwa di akhir kerugian ada keuntungan, bahwa di ujung malam akan ada siang, bahwa di akhir tidur ada kesadaran, dan bahwa sifat penciptaan selalu berada dalam gerakan konstan dari satu ujung ke ujung lainnya yang berlawanan, suatu gerakan ke arah kesadaran dan, dengan demikian, menuju kepastian—setelah semua hal tersebut disampaikan kepada kita melalui kata-kata kiasan, kemudian Allah memberi kita bukti-bukti historis.
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِعَادٍ
6. Tidakkah kau perhatikan bagaimana Tuhanmu memperlakukan (kaum) 'Ad,
إِرَمَ ذَاتِ الْعِمَادِ
7. [Bangsa] Iram yang mempunyai pilar-pilar [tinggi],
الَّتِي لَمْ يُخْلَقْ مِثْلُهَا فِي الْبِلَادِ
8. Yang semacamnya tak pernah diciptakan di negeri [lain].
Kaum 'Ad adalah suku yang sangat kuat. Kota-kota, tempat tinggal dan kekuatan mereka dibangun di atas pilar-pilar yang kelihatannya sangat kuat. Meskipun sikap inereka unik, berpengaruh dan arogan namun semua bekas peninggalan mereka telah lenyap. Lihatlah kebudayaan-kebudayaan yang 'kokoh' ini yang tidak tahan terhadap ujian waktu. Ini menjadi pelajaran bagi kita bahwa hendaknya kita tidak tertipu oleh kekuatan struktur lahiriah.
وَثَمُودَ الَّذِينَ جَابُوا الصَّخْرَ بِالْوَادِ
9. Dan kaum Tsamud, yang memahat batu di lembah,
Suku Tsamud terkenal dengan gedung-gedungnya yang terbuat dari marmer dan batu, yang diperkirakan sangat tahan lama dan tak dapat dihancurkan. Sebagian memang masih ada dan dipahat di atas batu pegunungan yang berkualitas tinggi, dan kelihatannya masih sangat aman. Namun penduduknya lenyap secara misterius, tidak meninggalkan jejak selain tempat tinggal mereka.
وَفِرْعَوْنَ ذِي الْأَوْتَادِ
10. Dan Fir 'aun, raja pancang-pancang.
Ada beberapa tafsiran yang berbeda untuk kata awtad, jamak dari watad, artinya 'pancang atau pasak tenda'. Di beberapa kebudayaan kuno, kekayaan seseorang diukur dengan jumlah pasak yang dimiliki dalam tendanya; semakin besar tenda (semakin banyak jumlah pasaknya— peny.), semakin besar pengaruh pemiliknya. Tapi pasak juga digunakan untuk menyiksa orang. Konon Fir'aun menyiksa istrinya sampai mati dengan cara mengikatnya pada pasak yang menancap di tanah.
الَّذِينَ طَغَوْا فِي الْبِلَادِ
11. Yang melampaui batas-batas di kota-kota,
فَأَكْثَرُوا فِيهَا الْفَسَادَ
12. Dan mereka membuat banyak kerusakan di sana,
Di antara ciri-ciri yang lazim pada kaum perusak adalah pelanggaran (perbuatan melampaui batas), korupsi dan dekadensi moral. Mereka menyelewengkan jalan spiritual dan menyesatkan orang lain dari tujuan eksistensinya.
فَصَبَّ عَلَيْهِمْ رَبُّكَ سَوْطَ عَذَابٍ
13. Maka Tuhanmu menuangkan sebagian azab pada mereka.
Azab tidak terjadi dengan cara yang sembarangan. Ia merupakan akibat dari perbuatan manusia sendiri yang mendaiangkan malapetaka. Kesulitannya ada pada si mutrafun sendiri, sebagaimana dengan jelas dinyatakan di tempat lain dalam Alquran (Q.S.56:45). Mutrafin adalah mereka yang hidup dalam keglamoran, dikelilingi oleh kemewahan dan berbagai obyek materi yang tidak perlu. Mereka seakan-akan terlindung dari kehidupan, dan akibatnya tidak hidup dalam kesadaran. Mereka dalam keadaan terpisah, tidak menghubungkan kehidupan dengan kematian, atau pangkal dengan ujungnya. Hidup dengan berlindungkan bantalan palsu ini tentu saja merusak masyarakat. Bilamana terjadi dekadensi, alam akan secara otomatis mengadakan pembaharuan dan regenerasi. Oleh karena itu masyarakat terperosok ke dalam kebusukan disebabkan oleh pelanggaran yang dilakukannya sendiri. Segala sesuatu mengandung bibit kerusakan di dalam dirinya; jika kita memupuki bibit itu, maka kebusukan akan menyebar dan mengambil-alih.
إِنَّ رَبَّكَ لَبِالْمِرْصَادِ
14. Sesungguhnya, Tuhanmu mengawasi.
Mirshad berasal dari rasbada, berarti 'mengawasi sesuatu, diam menunggu, mengamati'. Ayat ini memberitahu kita bahwa Tuhan kita Yang pekerjaannya menumbuhkan apa yang berada di bawah kekuasaan-Nya hingga mencapai potensi penuhnya, akan mencengkam bangsa-bangsa yang telah melampaui batas.
Pertama-tama kita ditunjukkan pada seluruh penciptaan dalam totalitas kosmiknya, lalu kita disodori dengan beberapa contoh historis tentang nasib kaum yang melampaui batas. Setelah rangkaian ayat-ayat ini bercerita tentang beberapa peristiwa dalam sejarah, kita akhirnya sampai pada manusia masa kini.
فَأَمَّا الْإِنسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُفَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ
15. Adapun manusia, ketika Tuhannya mengujinya, lalu memberi kehormatan kepadanya dan memberinya kehidupan yang menyenangkan, ia berkata: "Tuhanku menghormati aku".
وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ
16. Dan ketika Dia mengujinya, lalu menyempitkan rezekinya, ia berkata: "Tuhanku menghinakan aku".
Ibtala (dari bala), berarti 'mencoba, memberikan ujian, menimpakan penderitaan'. Tujuan eksistensi manusia adalah untuk menjalani balwa (penderitaan, cobaan) agar beradab dan baik perilakunya sehingga ia berada dalam islam yang sebenarnya: ketundukkan, kepasrahan diri dan kemerdekaan yang sesungguhnya, sebagai hamba sejati dari kemerdekaannya dan dalam kemerdekaan dari penghambaan sejati. Kehidupan dunia ini tak lain hanyalah penderitaan (balwa). Jika seseorang mempunyai harta, maka sulitlah baginya untuk mempertahankan dan memeliharanya, dan, jika ia benar-benar dalam islam, maka ia akan membelanjakannya dengan bijak, karena tahu bahwa penggunaan yang salah akan dimintai pertanggungjawabannya. Jika seseorang tidak mempunyai harta, ia mengalami penderitaan karena ketiadaannya, kuatir akan tidak mampu menghidupi dirinya dan orang lain, dan seterusnya. Jadi setiap orang mengalami ketidakamanan, baik si kaya maupun si miskin.
Barang material memang penting. Manusia tidak bisa berfungsi tanpa adanya barang-barang yang pokok. Jika seseorang tidak diberi makan dan tidak ada atap untuk berlindung, maka akan sulit baginya untuk mempelajari makna batin dari eksistensi ini. Di lain pihak, ingatan seseorang tidak pemah berhenti pada satu tingkat kepuasan: sifatnya menginginkan lebih dan lebih lagi.
Ketika manusia diberikan kesenangan lahiriah, ia duduk-duduk saja sambil berkata, "Tuhanku sayang dan bermurah hati kepadaku." Di lain pihak, jika perbekalannya terbatas, maka hal itu menguji kesabaran, keuletan dan kesanggupannya untuk tidak terlampau cemas. Manusia mengira bahwa kemiskinan dimaksudkan hanya untuk merendahkannya.
Ada beberapa kata bahasa Arab yang diterjemahkan sebagai 'kemurahan hati', meskipun masing-masing sedikit berbeda secara tajam. Karuma berarti 'memberi apa pun yang diminta'. Sakha berarti 'memberi apa yang dibutuhkan dan perlu', dan jada berarti 'memberi tanpa diminta'. Makna dari kata-kata ini merupakan sifat dari Sang Pencipta. Itsar adalah 'memberikan kepada orang lain apa yang dia sendiri butuhkan'. Ini adalah perbuatan yang sangat mulia dari sifat sepi ing pamrih. Hanya manusia yang melakukannya, karena Allah tidak membutuhkan apa pun.
كَلَّا بَل لَّا تُكْرِمُونَ الْيَتِيمَ
17. Tidak, tetapi kamu tidak memuliakan anak yatim,
Baik dalam keadaan kaya atau miskin, manusia tidak bersyukur dan tidak mengetahui makna dan pengertian dari hikmah di balik kondisinya. Di sini dilambangkan dengan sikapnya yang tidak bermurah hati kepada anak yatim. Karuma berani 'bermurah hati', dan dalam konteks anak yatim, berarti akrama (memuliakan), maksudnya 'memberikan perhatian yang baik dan kasih sayang yang layak'. Anak yatim adalah orang yang membutuhkan dorongan dan perlindungan, karena ia tidak memiliki pelindung yang nyata. Bapak pertama kita, Adam, adalah seorang yatim. Nabi kita Muhammad, baginda semua orang, adalah yatim. Dengan mengetahui makna dari yatim yang tidak berdaya, maka kita mengikuti tradisi yang tak berbatas waktu yakni tidak tergantung pada orangtua melainkan kepada Allah.
وَلَا تَحَاضُّونَ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ
18. Dan kamu tidak saling mendorong untuk memberi makan orang miskin,
Akar dari miskin adalah sakana, yang berarti 'mendiami'. Sukun berarti 'diam, sunyi, damai'. Orang miskin tidak memiliki apa pun dan sama sekali pasrah terhadap keadaan yang sangat tak berdaya. Ini kebalikan dari fakir, yakni orang yang membutuhkan tapi masih bisa aktif: ia bisa mengemis, ia masih bisa mengharapkan seseorang akan memberinya sesuatu, dan menadahkan tangannya. Ayat ini menunjukkan bahwa mayoritas umat manusia berada dalam kemgian, dan tidak mengikuti arus kedermawanan yang bergerak ke depan.
وَتَأْكُلُونَ التُّرَاثَ أَكْلًا لَّمًّا
19. Dan kamu makan harta warisan orang lain dengan amat serakah,
وَتُحِبُّونَ الْمَالَ حُبًّا جَمًّا
20. Dan kamu mencintai harta dengan kecintaan yang berlebihan.
Kita semua mencintai harta dari mana pun sumbernya. Manusia biasa akan berteriak memintanya dan sangat mengharapkannya, dan dia mengusahakan keamanan materi yang biasanya justru menimbulkan perasaan ddak aman karena takut kehilangannya. Dengan demikian harta malah menambah kecemasan seeorang. Manusia umumnya ingin menambah kekayaan baik dengan cara yang benar ataupun tidak benar. Manusia bersifat suka mementingkan diri sendiri (egois). Dalam hal ini ia menunjukkan kebalikan dari Penciptanya, Yang Maha Pengasih, sampai ia menyadari bahwa setiap desah napas adalah pemberian yang sangat dibutuhkan dan penting.
Kita telah mengetahui sebutan yang sebanding untuk manusia—kepicikan, pengkhianatan dan ketamakannya. Alquran mendorong kita agar menggunakan kehidupan ini untuk membuka apa yang ada dalam diri kita agar mengetahui siapa kita, dengan menerima realitas hewaniah dan ilahiah dalam diri kita.
كَلَّا إِذَا دُكَّتِ الْأَرْضُ دَكًّا دَكًّا
21. Tidak! Tatkala bumi hancur sehancur-hancurnya.
Maka kini tibalah peringatan. Dakka berarti memukul hingga hancur. Kita biasanya tidak memperhatikan kenyataan bahwa pada akhirnya bumi akan kembali ke ketiadaan.
وَجَاء رَبُّكَ وَالْمَلَكُ صَفًّا صَفًّا
22. Dan Tuhanmu datang bersama malaikat bershaf-shaf,
Bila ayat ini disampaikan dengan ungkapan lain: 'Dan tatkala semua kekuatan yang tak terlihat oleh kita datang dengan formasi yang sempurna'. Para malaikat dan kekuatan-kekuatan alam semesta berada dalam tatanan alamiahnya, mereka berbaris-baris. Tidak ada lagi kemungkinan bagi manusia untuk turut campur dan bertindak.
وَجِيءَ يَوْمَئِذٍ بِجَهَنَّمَ يَوْمَئِذٍ يَتَذَكَّرُ الْإِنسَانُ وَأَنَّى لَهُالذِّكْرَى
23. Dan pada hari itu neraka ditampakkan. Pada hari itu manusia akan ingat, tetapi apa gunanya igatan itu baginya?
Pada waktu itu neraka (jahanam), api abadi, akan mendekat, jelas dan gamblang. Pada waktu itu manusia akan ingat, tapi apa gunanya ingatan dia pada saat itu? Wilayah amal, kemungkinan untuk berperilaku benar dan menyucikan diri di dunia ini, akan berakhir. Ia akan menangis, 'Andaikan aku beramal saleh selama hidupku', yang berarti bahwa pada saat itu ia akan mengakui hakikat kehidupan, yang ternyata tidak seperti perkiraannya dulu, tapi sudah terlambat untuk mengubahnya.
يَقُولُ يَا لَيْتَنِي قَدَّمْتُ لِحَيَاتِي
24. Dia akan berkata: Oh seandainya dulu aku melakukan [amal salehj untuk kehidupanku [mendatang].'
فَيَوْمَئِذٍ لَّا يُعَذِّبُ عَذَابَهُ أَحَدٌ
25. Tapi pada hari itu tak seorang pun akan mengazab seperti azab-Nya,
وَلَا يُوثِقُ وَثَاقَهُ أَحَدٌ
26. Dan tak seorang pun akan mengikat seperti ikatan-Nya.
Tidak seorang pun akan bertanggung jawab atas perbuatan orang lain. Perbuatan seseorang akan menentukan seperti apa kondisi dan keadaan dia di kehidupan mendatang. Tidak ada orang lain yang akan dapat menggantikannya. Setiap orang bertanggung jawab dan akan diberi ganjaran sesuai dengan perbuatannya. Keadaan tersebut memang khas. Pada hari itu—dalam kesadaran baru—kondisi azab dan penghambaan seseorang akan diukur sesuai dengan perbuatan dia sebelumnya. Kondisinya tidak akan sama dengan kondisi orang lain. Genggaman Allah atasnya akan bersifat khas dan khusus untuk dirinya saja.
يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ
27. Wahai jiwa yang tenang!
ارْجِعِي إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً
28. Kembalilah kepada Tuhanmu, dengan perasaan senang, dan menyenangkan [bagi-Nya].
فَادْخُلِي فِي عِبَادِي
29. Maka masuklah di antara hamba-hamba-Ku,
وَادْخُلِي جَنَّتِي
30. Dan masuklah ke surga-Ku.
Tuhan memanggil jiwa (nafs) yang berada dalam kesentosaan dan kedamaian, al-nafs al-muthmainnah. Panggilan ini menandai awal kebangunan rohani. Jika kita tidak mendapatkan kedamaian, bagaimana kita bisa mengingat hal yang jauh di dalam samudera hati kita yang paling dalam? Jika kita gelisah secara lahiriah, terus-menerus dalam kekacauan, bagaimana kita bisa mendengar gaung pengetahuan yang tak berbatas waktu yang tertanam dalam hati kita? Itulah sebabnya maka panggilan dimulai pada nafs yang senang dan tenang.
Tahap berikutnya dari nafs adalah kepuasan hati: radhiyah berarti 'puas', puas terhadap pemahaman dan terhadap pengetahuan bahwa kondisi yang sedang dijalani ini merupakan suatu kesempumaan dan bukan sebaliknya. Kita mungkin saja tidak menyukai situasi yang sedang kita jalani, tapi kondisi tersebut tidaklah relevan di sini. Pada tahap berikutnya, mardbiyyah (senang), kita akan mengetahui bahwa segala sesuatu yang lain pun puas dengan kita. Secara batiniah kita berada dalam kedamaian yang sejati sedangkan secara lahiriah kita masih sebagai manusia yang suka berbuat karena kita tidak bisa menghindar. Tidak ada jalan untuk menghindar, kita harus berjuang. Dunia ini adalah wilayah percobaan (balwa) baik dalam aspek baik maupun buruk, baik lahir maupun batin. Allah berfirman dalam sebuah hadis kudsi: "Apa yang salah dengan hamba-hamba-Ku? Mereka terus-menerus berdoa kepada-Ku meminta kesenangan di dunia ini, tapi Aku tidak menciptakan dunia ini untuk kesenangan."
Imam Husein telah menyebutkan tahap-tahap nafs: 'Nafs yang tenang adalah nafs yang berada dalam tauhid.' Kita mencapai ketenangan jika kita berada dalam tauhid. 'Nafs yang bersyukur, adalah nafs yang telah diberkahi rahmat.' Pada tahap ini kita mengakui bahwa yang ada hanyalah rahmat Allah. Beliau juga mengatakan, 'nafs yang terpilih adalah nafs yang memiliki hikmah,' yaitu, nafs yang memiliki pengetahuan yang mendalam tentang Realitas. Beliau mengartikan nafs yang berakal dan jiwa yang memahami, sebagai al-nafs al-radhiyah, dan nafs yang menyuruh orang berbuat jahat sebagai al-nafs al-jahilah, nafs yang bodoh.
Klasifikasi nafs secara tradisional berkisar dari keadaan terendah, al-nafs al-ammarah bi-su', sampai keadaan tertinggi, al-nafs al-kamilah, yakni meningkat ke atas melalui tujuh maqam (stasiun). Tahap kedua adalah jiwa yang merasa bersalah, al-nafs al-lawwamah, yang kadang-kadang menyadari kecenderungannya terhadap kejahatan. Ini adalah tahap permulaan kesadaran. Lalu berikutnya al-nafs al-mulhamah, jiwa yang diberi ilham, tidak terikat, tanpa bimbingan, diikuti oleh al-nafs al-muthmainnah. Setelah ketenangan muncullah kepuasan disertai pengetahuan, ridba': al-nafs al-radhiyah memiliki pengetahuan tentang kesempurnaan sang Maharaja. Bila kita puas dengan penciptaan, maka penciptaan pun akan puas dan selaras dengan kita, dan itulah al-nafs al-mardhiyyah, tahap keenam. Dari keadaan tersebut muncullah kesempurnaan dan kesatuan, al-kamilah.
Pada tahap kesempurnaan ini Allah mengatakan, 'Sekarang masuklah ke dalam arena-Ku, dan bersembunyilah dalam satu-satunya taman tauhid, di dalamnya ada kebahagiaan dan kemeriahan yang luar biasa dan keberlimpahan yang bebas dinikmati!'.[]