Fondasi-fondasi Akhlak dalam Qur'an
  • Judul: Fondasi-fondasi Akhlak dalam Qur'an
  • sang penulis: Ayatullah Jawadi Amuli Hf
  • Sumber:
  • Tanggal Rilis: 23:30:16 1-9-1403


Oleh: Ayatullah Jawadi Amuli Hf

Terdapat hubungan timbal balik antara pandangan dunia dan ilmu akhlak; sebab dari satu sisi ilmu akhlak seperti ilmu Logika, ilmu Fisika dan ilmu Matematika yang termasuk dari ilmu-ilmu partikular dan berada di bawah naungan ilmu universal (pandangan dunia); sebab ilmu ini (ilmu universal) menetapkan subyeknya sendiri yang merupakan ruh dan jiwanya. Sebagaimana sebagian dari itu juga menetapkan ilmu-ilmu Alam, dan dari sisi lain ilmu Akhlak juga memberikan tinjauan terhadap pandangan dunia; dalam pengertian bahwa dalam ilmu Akhlak, pandangan dunia tauhid, kebaikan, adalah sesuai dengan ruh dan bernilai serta merupakan kesempurnaan ruh tetapi pandangan dunia ateis, keburukan, adalah merugikan dan buruk serta mengandung pesan kekeruhan bagi ruh

Akhlak Nazhari dalam Al-Qur'an [1]

Bagian Pertama

Hubungan Pandangan Dunia dan Ilmu Akhlak

Terdapat hubungan timbal balik antara pandangan dunia dan ilmu akhlak; sebab dari satu sisi ilmu akhlak seperti ilmu Logika, ilmu Fisika dan ilmu Matematika yang termasuk dari ilmu-ilmu partikular dan berada di bawah naungan ilmu universal (pandangan dunia); sebab ilmu ini (ilmu universal) menetapkan subyeknya sendiri yang merupakan ruh dan jiwanya[2], sebagaimana sebagian dari itu juga menetapkan ilmu-ilmu Alam, dan dari sisi lain ilmu Akhlak juga memberikan tinjauan terhadap pandangan dunia; dalam pengertian bahwa dalam ilmu Akhlak, pandangan dunia tauhid, kebaikan, adalah sesuai dengan ruh dan bernilai serta merupakan kesempurnaan ruh tetapi pandangan dunia ateis, keburukan, adalah merugikan dan buruk serta mengandung pesan kekeruhan bagi ruh.

Dalam ilmu Akhlak, ilmu-ilmu naafi' (yang bermanfaat) dengan jelas dapat dipisahkan dari ilmu-ilmu yang tidak naafi' (yang tidak bermanfaat). Nabi mulia Muhammad Saw berlindung pada dzat suci Tuhan dan bersabda: "Aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, dan qalbu yang tidak takut, serta jiwa yang tidak puas".[3] Sebab ilmu-ilmu dari sudut tinjauan manfaat dan mudharat dibagi pada beberapa bagian; sebagian dari ilmu-ilmu adalah naafi' dan sebagian tidak, yakni sebagian ilmu-ilmu seperti ilmu-ilmu ateis, dimana ilmu-ilmu ini tidak hanya naafi' bahkan juga malah memiliki mudharat dan sebahagian lagi ilmu-ilmu tidak naafi' dan tidak juga mudharat, seperti Sejarah, sebagian dari sejarah kaum-kaum jahiliyah tidak memiliki aspek mendidik dalam kisah-kisahnya dan tidak mempunyai dampak dan efek fiqih (hukum) di dalamnya.

Akan tetapi sebagian dari bagian-bagian ilmu Sejarah dan Nasab (Geneologi), mempunyai faidah yang sangat banyak dan terhitung sebagai ilmu-ilmu naafi'. Tetapi yang pasti mengenal kaidah-kaidah ilmu yang berhubungan dengan nasab-nasab dan sejarah kaum-kaum, yang sama sekali tidak memberikan efek ilmu, industri dan seni, hanya menghabiskan usia dan membuang-buang waktu dan merupakan contoh (mishdâq) dari sabda Rasulullah Saw dan Imam Musa Kazhim As: " Tidak memberikan mudharat dari ketidaktahuannya dan tidak memberikan manfaat dari mengetahuinya".[4]

Sebagian dari ilmu-ilmu "fii nafsihi" (ia sendiri) adalah naafi' tetapi sebab tidak mencapai tingkat pengamalan maka tidak dihitung sebagai ilmu naafi' dan ini sebagaimana yang dijelaskan oleh hadhrat Ali As: "Jangan engkau jadikan ilmumu sebagai kebodohan dan keyakinanmu sebagai keraguan, ketika engkau tahu maka amalkanlah dan ketika engkau yakin maka laksanakanlah[5] dan juga beliau bersabda: "Betapa banyaknya orang 'alim yang dijerumuskan oleh kebodohannya, sementara ilmu yang dimilikinya tidak bermanfaat bagi dirinya"[6]. Sebagian dari ilmuan dalam kenyataan ia adalah ilmuan, ia juga adalah jahil; sebab ia tidak rasional dalam membunuh kejahilannya dan ilmunya tidak bermanfaat bagi keadaannya. Seseorang yang menuntut ilmu untuk mendapatkan kedudukan dunia, penghormatan manusia dan atau kelebihan serta kemewahan, maka ia menjual dirinya dengan murah. Ia berilmu tetapi tidak aqil (rasional). Dan orang lain yang melewati jalan dunia, lebih baik dari orang ini adalah orang yang menyiapkan kehampaan dunia dan mendapatkan kelezatan darinya. Oleh sebab itu bentuk ilmu-ilmu ini juga terhitung sebagai ilmu-ilmu tidak naafi'.

Hadhrat Amirul Mukminin AS dalam khutbah "hammâm" dalam menyifatkan orang-orang bertaqwa bersabda: "Dan mereka mewakafkan pendengaran-pendengaran mereka pada ilmu yang naafi' bagi mereka".[7]

Dan ini tidak hanya terbatas pada pendengaran, tetapi juga mencakup pada anggota-anggota lainnya, yakni selain terhadap ilmu naafi', mereka tidak mendengar yang lainnya; dalam pengertian bahwa mereka mendengarkan lafaz-lafaznya dan mempersepsi maknanya, tetapi ketika mereka menyaksikan tidak berpaedah, mereka kemudian melepaskannya; misalnya, dalam surah az-Zumar Tuhan berfirman: "Maka gembirakanlah hamba yang mendengarkan perkataan, mereka mengikut yang paling baiknya"[8], mereka pada awalnya mendengarkan perkataan dan ideologi yang berbeda-beda dan kemudian menentukan yang mana di antara itu yang destruktif dan yang konstruktif dan selanjutnya mereka menyerahkan hati dan pendengaran terhadap apa yang naafi' (yang konstruktif). Mendengarkan yakni mentaati dan menerima.

Al-Quran Karim dalam wilayah ini berkata: "Sekiranya kami mau mendengarkan atau mau memahami pasti kami tidak termasuk orang-orang yang menghuni neraka saiir"[9] yakni jika kita mau mendengarkan dan mau menaati pasti kita tidak akan menjadi penghuni neraka. Oleh karena itu, ilmu akhlak meskipun ia dihitung bagian dari ilmu-ilmu partikuler tetapi ia juga mengutarakan pandangan pada ilmu yang paling universal dan mengatakan bahwa mempelajari ilmu ini adalah naafi', tauhid bagi jiwa adalah baik sedangkan syirik baginya adalah buruk.

Masalah tauhid dan syirik, dihitung sebagai bagian pandangan dunia dan permasalahan ketuhanan serta dipaparkan dalam ilmu universal, tetapi masalah penerimaan tauhid atau syirik merupakan tugas dari ilmu akhlak; sebab itu kedudukan ilmu akhlak dari tinjauan kemuliaan atas seluruh ilmu-ilmu dan bahasan-bahasan, mempunyai kedudukan tinggi.

Dalam pembahasan mendatang akan menjadi jelas secara sempurna bahwa tujuan akhir kenabian, sampainya manusia pada kedudukan tinggi "liqâullah" (pertemuan dengan Allah) dalam bentuk bahwa tidak bercampur yang bertemu, asli pertemuan dan yang dituju, akan tetapi hanya Tuhan yang ditemui, disaksikan dan dimaksud, dan dalam ibarat lain, petunjuk kenabian disimpulkan dalam bentuk mengutarakan jalan jelas dan tujuan jelas dan jalan itu, adalah mujahadah serta tujuan itu, adalah musyahadah, dalam bentuk bahwa tidak asli jihad akbâr, adalah jalan dan yang dimaksud; sebab jihad adalah media bukan tujuan; dan tidak asli syuhud, adalah tujuan secara dzat; sebab yang menjadi tujuan secara dzat adalah "masyhud" (yang disaksikan) bukan "syuhud" (penyaksian) dan bukan syahid (yang menyaksikan), karena salik "wâshil" (yang sampai) "fâni" (yang fana), tidak melihat kefanaannya dan tidak melihat dirinya yang fana dan menelitinya serta mencarinya, akan tetapi hanya melihat dzat yang tak bertepi Tuhan yang masyhud dan lainnya tidak ada sama sekali. Topik ini merupakan pilar utama kitab ini dan menjadi landasan seluruh topik-topik berikutnya; sebab akhlak Ilahi dituangkan atas prinsip "wahdah" (kesatuan) dan dikokohkan dengan landasan tauhid, yang merupakan asas dan pusat pandangan dunia islam, karena itu keniscayaan dari tauhid dalam sisi globalnya adalah demikian ini yang sudah kita ungkapkan dan adapun dalam bentuk detailnya dengan "lutf" dari Tuhan akan dibahas dalam teks-teks selanjutnya.

Sumber Hukum-hukum Akhlak

Suatu keniscayaan untuk mendapatkan dasar pandangan teoritis yang argumentatif tentang akhlak, harus diteliti terlebih dahulu, akhlak yang mempunyai pengaruh menakjubkan dalam mengubah hakikat manusia dan membangun manusia mengambil sumber dari mana?

Manusia, adalah suatu hakikat yang berfikir dan bebas memilih. Dan sudah jelas bahwa sesuatu yang tidak mempunyai realitas luar tidak mungkin dapat mencipta suatu hakikat luar; tetapi suatu perkara "i'tibari" (persepsi mental) didapatkan dari perantara-perantara perkara hakiki; perkara i'tibari menjadi persiapan untuk mendapatkan hakikat-hakikat i'tibari; yakni sebagaimana peristiwa-peristiwa alam, adalah perkara-perkara hakiki dan penciptaan (takwini), yang mempunyai efek pada tumbuh-tumbuhan dan hewan-hewan dan setiap mekanisme dari mereka diatur sesuai peristiwa-peristiwa luar, manusia juga aktivitas-aktivitasnya diatur sesuai peristiwa-peristiwa luar, dan perkara-perkara i'tibari-nya (bisa dalam bentuk kontrak sosial, seperti pemilikan, pernikahan, penyewaan, pencurian dan sebagainya) mempunyai sumber hakiki dan penciptaan (takwini).

Keharusan dan Ketidakharusan Akhlak

Manusia adalah maujud berpikir dan melakukan aktivitas-aktivitasnya dengan ikhtiyar dan kehendak (irâdah) sehingga ia memahami bahwa semua itu diatur berasaskan "keharusan" dan "ketidakharusan", tapi di tempat dimana ia tidak tahu ia menyangka bahwa dirinya adalah bebas;misalnya ia berkata: Saya dalam cuaca dingin harus memakai pakaian tebal sehingga tidak kedinginan dan saya dalam cuaca panas harus mengenakan pakaian tipis supaya saya tidak ditimpa kepanasan sebagaimana dalam lapar dan kenyang juga adalah demikian ini.

Manusia dalam musim yang berbeda-beda, mengambil keputusan yang bermacam-macam dan mempunyai keharusan dan ketidak harusan yang beragam, hatta pada siang dan malam juga memiliki keharusan dan ketidakharusan yang berbeda-beda; sebab peristiwa dan kejadian tidak satu; Misalnya suatu waktu, adalah waktu kerja dan waktu lain adalah waktu istirahat. Keharusan dan ketidakharusan ini diperoleh dari kualifikasi persentuhan manusia dengan peristiwa-peristiwa; dengan kata lain, manusia mengatur keharusan dan ketidakharusan berasaskan tinjauan hubungan antara dirinya dengan alam penciptaan (takwini). Adapun ia berkata: "Saya harus mengerjakan ini", ini adalah suatu tanggung jawab dan nasihat akhlak; tetapi ketika ia berkata: "Jika saya melakukan ini, mempunyai efek seperti ini dan jika saya tidak melakukan ini, maka tidak mempunyai efek itu, ini bukanlah dimensi pekerjaan akhlak.

Penyakit serta Pengobatan Jiwa dan Badan

Sebagai contoh, dokter mempunyai dua macam aturan dan keterangan: satunya dari sisi ia sebagai dokter yang memberikan petunjuk kesehatan dan satunya lagi dari sisi ia sebagai menusia yang berpendidikan yang mempunyai tuntunan dan bimbingan.

Dokter, dari dimensi bahwa ilmu-ilmu empirik ada dalam ikhtiyarnya, memberi khabar tentang "ada" dan "tidak ada", serta "harus" dan "tidak harus". Misalnya, Ia berkata: "Jika si sakit dalam kondisi ini menggunakan obat ini, kondisinya akan baik dan jika ia tidak gunakan, kondisinya tetap buruk dan akan mati dan atau sakitnya semakin bertambah parah", dalam konteks ini pembicaraan sidokter berhubungan dengan ilmu kedokteran serta "ada" dan "tidak ada", dan pembahasan dari satu sisi kembali pada hikmah nazhari (teoritis); tetapi dokter dari sisi bahwa memberikan fatwa kedokteran tidak memiliki sama sekali bentuk nasihat akhlak; dan dari sisi bahwa ia seorang berpendidikan dan penerapi, berkata kepada si sakit: "Untuk menjamin kesehatannya sendiri, lakukanlah pekerjaan ini dan untuk menjauhi bahaya, jangan makan makanan itu", dalam hal ini pembicaraan berhubungan dengan "harus" dan "tidak harus" serta petunjuk akhlak yang bersumber dari dokter dan aturan-aturan pengobatan yang keluar dari penerapi terhadap yang diterapi.

Sebagaimana pekerjaan-pekerjaan kedokteran juga kembali kepada ada dan tidak ada serta harus dan tidak harus, apa yang berhubungan dengan jiwa manusia adalah juga penyakit, mempunyai terapi dan pengobatan; tetapi pirantinya adalah lebih luas dari piranti ilmu-ilmu kedokteran. Ruh, memiliki hakikat yang seluruh perbuatan-perbuatan baginya tidaklah satu dan sama; sebagian dari amal perbuatan untuk selamanya destruktif baginya; sebagian lagi amal perbuatan memberi kehidupan abadi kepadanya; sebagian dari prilaku dan amal memberi penyakit padanya dan sebagian lagi mengobatinya; tetapi sebab tidak diindrai terkadang dihitung sebagai perkara imajinasi, meskipun pada hakikatnya apa yang "ada" dan "tidak ada" serta "harus" dan "tidak harus" di sisi dokter, demikian juga ulama akhlak memiliki itu.

Para ulama akhlak memiliki informasi juga tentang hikmah nazhari (teoritis) dan juga hikmah 'amali (praktis), mereka mengutarakan bahasan juga tentang ada dan tidak ada serta juga harus dan tidak harus; Misalnya berkata: Jika individu atau masyarakat tertimpa akhlak (X), maka akhirnya adalah kejatuhan dan kehancuran serta masyarakat itu, akan punah dan musnah: "Telah nampak kerusakan di darat dan di lautan dikarenakan perbuatan manusia"[10] dan jika suatu masyarakat menyaksikan dimensi keutamaan-keutamaan akhlak, maka mereka akan mendapatkan dan menerima aspek kesucian. Hal ini adalah pembicaraan tentang ada dan tidak ada, sementara pembicaraan tentang harus dan tidak harus juga memiliki proporsi; Contohnya mengatakan: Masyarakat harus begini sehingga mereka bahagia. Mereka sejahtera di dunia dan juga bahagia di akhirat. Dan masyarakat tidak boleh demikian supaya mereka tidak menderita serta tidak dilanda kerugian di dunia dan kemalangan di akhirat.

Kenyataan Permasalahan-permasalahan Akhlak

Sebagaimana baik dan buruknya kedokteran tidak dari sisi kecenderungan dan kesenangan tetapi berdasarkan ilmu dan sebab, baik dan buruknya permasalahan-permasalahan akhlak juga berasaskan kenonmaterian ruh dan realitas, bukan dari sisi selera dan kesenangan; dan sebab berasaskan realitas maka ia menerima burhan (dapat diargumentasikan) sebagaimana akan diisyaratkan nantinya pada pembahasan yang akan datang; akan tetapi adapun hal-hal yang mubah dan benda-benda yang halal, dapat saja menerima selera (artinya dalam wilayah hal-hal yang mubah dan benda-benda yang halal, orang dapat memilih sesuai dengan seleranya); misalnya, seseorang yang sehat berada di depan seprai hidangan yang terdapat di atasnya bermacam-macam jenis makanan, maka ia dalam hal memilih makanan adalah bebas. Jika makanan adalah sehat dan baginya tidak berbahaya, memungkinkan ia menyantap apa saja yang ada dalam hidangan tersebut berdasarkan keinginan dan seleranya. Dan atau jika terdapat beraneka ragam serta bermacam-macam warna dari pakaian dan mengenakan yang manapun darinya tidak punya efek negatif, maka ia dapat memilih secara bebas jenis dan warna pakaian berasaskan seleranya. Oleh karena itu manusia dalam "ruang privacy" adalah bebas.

Dalam masalah-masalah halal dan haram juga demikian. Jika terdapat perkara halal dalam beberapa bentuk, maka pembicaraan di situ adalah bersifat memilih dan bebas; tetapi dalam wilayah antara halal dan haram, di sini tidak ada pembicaraan memilih dan bebas; kendatipun manusia secara penciptaan (takwini) adalah bebas tapi secara operasional (tasyri'i) adalah tidak bebas. Oleh sebab itu dalam konteks wilayah antara haram dan halal pasti salah satu di antaranya adalah merusak dan yang lainnya adalah bermanfaat; sebab semua pekerjaan-pekerjaan dihubungkan dengan ruh non materi manusia adalah tidak sama. Dari sisi inilah masalah kebaikan dan keburukan, konstruktif dan destruktif dan lain sebagainya urgen untuk diutarakan. Dan orang yang tahu tentang hubungan pekerjaan-pekerjaan ini dengan ruh manusia, tentu ia mengutarakan aturan-aturan amal akhlak (dastûr al 'amal akhlâq) yang berkenan "harus dan tidak harus" dan juga mengungkapkan pandangan yang berkenan "ada dan tidak ada" (realitas obyektivitas akhlak).

Dasar Keuniversalan Prinsip-Prinsip Akhlak

Dalam al-Qur'an Karim dan Sunnah para Maksum As terdapat dua jalan, yakni harus dan tidak harus serta ada dan tidak ada, secara sempurna dapat terasakan dan terpahami. Para dokter juga dari jalan "ada dan tidak ada" secara jelas memberikan peringatan dan secara kandungan memberi ancaman dan mengatakan: "Mengerjakan pekerjaan ini, adalah kehancuran dan penderitaan, dan melakukan perbuatan itu, balasannya adalah kehidupan dan kebahagiaan. Di samping itu juga mereka secara langsung memberikan aturan pengharaman atau pewajiban (harus dan tidak harus); sebagaimana dokter melakukan dua jalan dan metode tersebut, juga terdapat dalam dalil naqli (naratif) yang lebih umum dari al-Qur'an dan riwayat-riwayat; dan dimensi inilah menjadi dasar sumber prinsip-prinsip keuniversalan akhlak. Dan sebab prinsip-prinsip ini tidak hanya untuk orang tertentu tetapi untuk manusia dari sisi bahwasanya adalah manusia, yakni untuk fitrah manusia dan fitrah ini terdapat pada seluruh manusia "fitrah Allah yang Ia fitrahkan pada manusia atasnya, tidak ada perubahan untuk (fitrah) ciptaan Allah"[11], sebab itu prinsip-prinsip ini dikatagorikan sebagai ilmu; dalam natijahnya, juga preposisi-preposisi mempunyai dasar dan landasan universal dan juga filsafat akhlak mempunyai pembenaran secara general dan rasional; tetapi jika akhlak adalah preposisi partikuler, maka ia tidak dapat dirasionalisasikan –sebab ia bukan ilmu dan tidak teragumentasi- dan baginya juga tidak dapat disebut sebagai filsafat.

Oleh karena itu, keuniversalan prinsip-prinsip dan proposisi-proposisi yang terungkap secara ke dalam ilmu Akhlak, dari satu sisi dan tinjauan sebagai filsafat akhlak, dan secara ke luar dari ilmu Akhlak dari sisi lain mengalamatkan bahwa akhlak, bukanlah suatu perkara individu, tetapi adalah universal dan mempunyai dasar pijakan yang tetap dan lestari; sebab preposisi-preposisi universal tanpa dasar pijakan yang tetap dan mujarrad (kenonmaterian) tidak dapat menerima pengasumsian dan hipotesa.

Jika akhlak adalah suatu perkara individu dan tidak mempunyai dasar pijakan yang tetap, mujarrad dan lestari, maka tidak secara ke dalam dapat dijelaskan baginya prinsip-prinsip dan proposisi-proposisi universal dan tidak secara ke luar dapat diutarakan baginya filsafat dan argumentasi-argumentasi.[bersambung]



catatan kaki

[1] . Diterjemahkan oleh Ruhullah Syams dari Mabadi Akhlaq dar Qur'an karya Ayatullah Jawadi Amuli,

[2] . Yang dimaksud dari ilmu universal yang bertanggung jawab dalam menetapkan subyek ilmu akhlak dan ilmu- ilmu partikuler lainnya adalah filsafat nazari yang mana ilmu ini bertanggung jawab dalam hal ontologi dan mengetahui hakikat-hakikat yang ada (pandangan dunia) dan oleh sebab itu disebut juga ilmu a'laa.

[3] . Bihaar, jld.83,hal.94.

[4] . Bihâr al-Anwâr, jil. 1, hal. 221.

[5] . Nahj al-Balâghah, hikmah 274.

[6] . Ibid, hikmah 107.

[7] . Nahj al-Balâghah, khutbah 193.

[8] . Q.S As-Zumar: 17-18.

[9] . Q.S : Al-Mulk : 10.

[10] . Q.S: Ar-Rum: 41.

[11] . Q.S: ar-Rum : 30.