Beberapa hal yang disyaratkan dalam sahnya puasa:
1.Niat.
2.Islam, dan menurut fatwa (al-Azhar) iman (imamiyah) tidak disyaratkan dalan sahnya puasa tetapi menjadi syarat untuk mendapatkan pahala.
3.Berakal.
4.Tidak bangun subuh dalam keadaan junub (harus mandi sebelum azan subuh tiba jika junub).
5.Tidak melakukan perjalanan yang menyebabkan salat diqasar kecuali pada persoalan-persoalan yang akan kami bahas nanti.
6.Tidak sakit.
7.Tidak haid dan nifas.
1.Niat.
2.Islam, dan menurut fatwa (al-Azhar) iman (imamiyah) tidak disyaratkan dalan sahnya puasa tetapi menjadi syarat untuk mendapatkan pahala.
3.Berakal.
4.Tidak bangun subuh dalam keadaan junub (harus mandi sebelum azan subuh tiba jika junub).
5.Tidak melakukan perjalanan yang menyebabkan salat diqasar kecuali pada persoalan-persoalan yang akan kami bahas nanti.
6.Tidak sakit.
7.Tidak haid dan nifas.
Pertama/ Niat:
Waktu niat berbeda-beda sesuai perbedaan jenis puasa, seperti berikut ini:
a. Puasa wajib yang ditentukan (Mu’ayyan):
Yang dimaksud dengannya adalah bahwa waktunya ditentukan, baik dari pihak penentu syariat yang suci seperti puasa bulan Ramadhan, atau dari pihak mukalaf sendiri misalnya bernazar untuk melakukan puasa pada hari tertentu seperti hari kamis setiap minggu.
Waktu berniat: menurut ihtiyath wajib harus berniat sejak terbitnya fajar shadiq (subuh) di mana terjadinya puasa bersamaan dengan niat, artinya ia berniat menahan diri (imsak) dari hal-hal yang membatalkan puasa sejak terbitnya fajar shadiq sampai matahari terbenam.
b. Puasa wajib yang tidak ditentukan (Ghairu Mu’ayyan):
Yaitu puasa wajib yang tidak memiliki hari tertentu, seperti puasa qadha bulan Ramadhan, atau puasa nazar yang tidak ditentukan misalnya bernazar melakukan puasa satu hari dalam setahun tanpa menentukan harinya.
Waktu berniat: hendaknya berniat sebelum zawal. Oleh karenanya, apabila mukalaf di waktu subuh berniat ifthar (membatalkan puasa) tapi tidak melakukannya sampai sebelum zawal, kemudian berniat puasa maka sah puasanya.
c. Puasa mandub:
Yaitu puasa sunah.
Waktu berniat: waktunya memanjang sampai tersisa dari hari waktu yang cukup untuk berniat. Oleh sebab itu, apabila mukalaf di waktu subuh berniat ifthar (membatalkan puasa) tapi tidak melakukannya sampai sebelum matahari tenggelam, kemudian berniat puasa, maka sah puasanya.
Beberapa hukum niat dalam puasa:
1.Tidak wajib mengetahui hal-hal yang membatalkan puasa (mufthirat) secara terperinci di saat berpuasa, tapi cukup berniat menahan diri (imsak) dari hal-hal tersebut secara global.
2.Puasa selain Ramadhan tidak sah dilakukan di bulan Ramadhan, apabila sengaja meniatkan puasa itu untuk selain Ramadhan maka batal puasanya untuk Ramadhan dan untuk yang diniatkan. Akan tetapi jika tidak tahu hukum atau lupa, maka puasanya sah untuk Ramadhan bukan untuk selainnya.
3.Untuk keabsahan puasa Ramadhan cukup berniat puasa dari awal bulan dengan satu niat dan tidak wajib memperbaharui niat setiap malam sekalipun hal itu disunahkan.
4.Niat wajib berkesimbungan sampai akhir hari pada puasa wajib yang ditentukan, apabila berniat untuk memutus (puasa) atau ragu-ragu dalam niat, maka puasanya batal sekalipun kembali berniat puasa menurut ihtiyath wajib. Namun pada puasa wajib yang tidak ditentukan, niat memutuskan puasa atau ragu-ragu di dalamnya tidak merusak puasa jika kembali kepada niatnya semula sebelum zawal dan belum melakukan sesuatu yang membatalkan, kalau tidak, maka puasanya batal juga.
1.Tidak wajib mengetahui hal-hal yang membatalkan puasa (mufthirat) secara terperinci di saat berpuasa, tapi cukup berniat menahan diri (imsak) dari hal-hal tersebut secara global.
2.Puasa selain Ramadhan tidak sah dilakukan di bulan Ramadhan, apabila sengaja meniatkan puasa itu untuk selain Ramadhan maka batal puasanya untuk Ramadhan dan untuk yang diniatkan. Akan tetapi jika tidak tahu hukum atau lupa, maka puasanya sah untuk Ramadhan bukan untuk selainnya.
3.Untuk keabsahan puasa Ramadhan cukup berniat puasa dari awal bulan dengan satu niat dan tidak wajib memperbaharui niat setiap malam sekalipun hal itu disunahkan.
4.Niat wajib berkesimbungan sampai akhir hari pada puasa wajib yang ditentukan, apabila berniat untuk memutus (puasa) atau ragu-ragu dalam niat, maka puasanya batal sekalipun kembali berniat puasa menurut ihtiyath wajib. Namun pada puasa wajib yang tidak ditentukan, niat memutuskan puasa atau ragu-ragu di dalamnya tidak merusak puasa jika kembali kepada niatnya semula sebelum zawal dan belum melakukan sesuatu yang membatalkan, kalau tidak, maka puasanya batal juga.
Hukum-hukum hari syak:
Hari syak adalah hari yang tidak diketahui apakah akhir bulan Sya’ban atau awal bulan Ramadhan.
Hukumnya: sunah berpuasa di dalamnya, maka tidak meninggalkan puasa itu kecuali pengikut (syiah) yang hina seperti yang disinyalir oleh sebagian riwayat-riwayat Ahlul Bait as.
Apabila mukalaf bangun subuh di hari syak dengan niat ifthar (tidak mau berpuasa) kemudian ketahuan bahwa hari itu dari bulan Ramadhan, maka ada dua keadaan:
1.Mengetahui sebelum zawal dan belum melakukan hal-hal yang membatalkan puasa, maka ia cukup memperbaharui niatnya dan tidak wajib mengganti (qadha).
2.Mengetahui setelah zawal dan belum melakukan hal-hal yang membatalkan puasa, berdasarkan ihtiyath wajib ia harus imsak sampai akhir hari dengan niat qurbatan ilallah secara mutlak kemudian menggantinya.
1.Mengetahui sebelum zawal dan belum melakukan hal-hal yang membatalkan puasa, maka ia cukup memperbaharui niatnya dan tidak wajib mengganti (qadha).
2.Mengetahui setelah zawal dan belum melakukan hal-hal yang membatalkan puasa, berdasarkan ihtiyath wajib ia harus imsak sampai akhir hari dengan niat qurbatan ilallah secara mutlak kemudian menggantinya.
Ini jika bangun subuh berniat tidak berpuasa, namun jika berniat berpuasa maka niatnya harus seperti berikut.
Niat hari syak:
Niat hari syak dibagi menjadi dua bagian:
1.Bentuk-bentuk niat yang benar.
2.Bentuk niat yang salah.
1.Bentuk-bentuk niat yang benar.
2.Bentuk niat yang salah.
Bentuk-bentuk niat yang benar untuk puasa hari syak:
1.Berniat untuk akhir sya’ban, baik puasa yang dilakukan berupa puasa sunah atau qadha atau nazar, apabila hari itu diketahui dari bulan Ramadhan, baik sebelum zawal atau sesudahnya, maka ia harus memperbaharui niatnya dan puasanya itu dihitung dari puasa bulan Ramadhan. Begitu juga puasa itu dihitung dari Ramadhan jika hal itu diketahui setelah beberapa hari atau setelah bulan Ramadhan.
2.Berpuasa dihari syak dengan niat ada perintah nyata yang menuju kepadanya (baik wajib atau sunah), maka puasanya dihitung dari hari yang sebenarnya.
3.Bimbang dalam niat misalnya mengatakan, jika Sya’ban maka puasa itu puasa sunah, dan jika Ramadhan maka puasa itu puasa wajib.
1.Berniat untuk akhir sya’ban, baik puasa yang dilakukan berupa puasa sunah atau qadha atau nazar, apabila hari itu diketahui dari bulan Ramadhan, baik sebelum zawal atau sesudahnya, maka ia harus memperbaharui niatnya dan puasanya itu dihitung dari puasa bulan Ramadhan. Begitu juga puasa itu dihitung dari Ramadhan jika hal itu diketahui setelah beberapa hari atau setelah bulan Ramadhan.
2.Berpuasa dihari syak dengan niat ada perintah nyata yang menuju kepadanya (baik wajib atau sunah), maka puasanya dihitung dari hari yang sebenarnya.
3.Bimbang dalam niat misalnya mengatakan, jika Sya’ban maka puasa itu puasa sunah, dan jika Ramadhan maka puasa itu puasa wajib.
Bentuk niat yang salah untuk puasa hari syak:
Yaitu meniatkannya dari bulan Ramadhan, maka puasanya batal sekalipun ternyata memang bulan Ramadhan.
Kedua/ Islam:
Iman (imamiyah) tidak disyaratkan dalam keabsahan puasa tapi menjadi syarat untuk mendapat pahala. Yang menjadi syarat adalah keislaman. Oleh karena itu, puasa orang kafir tidak sah, tapi apabila ia masuk Islam di siang hari bulan Ramadhan-walaupun setelah zawal- maka jika belum melakukan hal-hal yang membatalkan puasa, berdasarkan ihtiyath wajib harus imsak sampai akhir hari dengan niat ma fi adz-Dzimmah (melakukan tanggung jawab). Tapi, jika sudah melakukan hal-hal tersebut, maka ia wajib mengganti.
Ketiga/ Berakal:
Puasa orang gila atau orang pingsan tidak sah, namun apabila malamnya berniat puasa dan jatuh gila atau pingsan di siang hari, lalu sadar di pertengahan hari, berdasarkan ihtiyath wajib ia harus menyempurnakan puasanya kemudian menggantinya (qadha) seperti yang telah disinggung pada syarat-syarat wajib puasa.
Keempat/ Tidak junub ketika waktu subuh tiba, atau tidak haid atau nifas.
Kelima/ Tidak bepergian:
Yang dimaksud bepergian di sini adalah bepergian yang menyebabkan salat diqasar. Oleh karenanya, berpuasa di dalamnya tidak sah bila tahu hukum kecuali pada tiga tempat, yaitu:
1.Puasa tiga hari yang merupakan bagian dari puasa sepuluh hari sebagai ganti dari binatang kurban (hadyu) haji tamattu’ bagi orang yang tidak mampu memotongnya.
2.Puasa delapan belas hari sebagai ganti anak unta (budnah), kafarah orang yang meninggalkan Arafah sebelum matahari tenggelam.
3.Puasa yang di-nazar-kan untuk dilakukan diperjalanan.
1.Puasa tiga hari yang merupakan bagian dari puasa sepuluh hari sebagai ganti dari binatang kurban (hadyu) haji tamattu’ bagi orang yang tidak mampu memotongnya.
2.Puasa delapan belas hari sebagai ganti anak unta (budnah), kafarah orang yang meninggalkan Arafah sebelum matahari tenggelam.
3.Puasa yang di-nazar-kan untuk dilakukan diperjalanan.
Beberapa hukum puasa diperjalanan:
1.Puasa orang yang berpergian yang salatnya sempurna dihukumi sah, seperti orang yang berniat tinggal (minimal sepuluh hari) di suatu kota.
2.Puasa orang yang bepergian dihukumi sah jika tidak tahu hukum. Dan apabila di tengah-tengah mengetahui hukum, maka puasanya batal. Dan puasanya orang yang lupa hukum tidak sah.
3.Tidak sah melakukan puasa sunah di perjalanan kecuali puasa tiga hari di Madinah untuk suatu hajat, dan menurut ihtiyath wajib puasa itu harus dilakukan pada hari Rabu, Kamis dan Jumat.
1.Puasa orang yang berpergian yang salatnya sempurna dihukumi sah, seperti orang yang berniat tinggal (minimal sepuluh hari) di suatu kota.
2.Puasa orang yang bepergian dihukumi sah jika tidak tahu hukum. Dan apabila di tengah-tengah mengetahui hukum, maka puasanya batal. Dan puasanya orang yang lupa hukum tidak sah.
3.Tidak sah melakukan puasa sunah di perjalanan kecuali puasa tiga hari di Madinah untuk suatu hajat, dan menurut ihtiyath wajib puasa itu harus dilakukan pada hari Rabu, Kamis dan Jumat.
Keenam/ Tidak sakit:
Orang yang sakit tidak sah melakukan puasa jika puasanya membahayakan dirinya, adapun orang sakit yang tidak terganggu dengan puasa maka wajib berpuasa dan sah.
Beberapa hukum puasa bagi orang sakit:
1.Apabila mukalaf berpuasa dalam keadaan sakit dengan keyakinan bahwa puasanya membahayakan dirinya, atau khawatir bisa berbahaya bagi dirinya maka puasanya batal, kecuali jika berpuasa dengan niat qurbatan ilallah, maka puasanya sah jika ternyata tidak berbahaya.
2.Apabila mukalaf berpuasa dengan keyakinan bahwa puasanya tidak berbahaya, tapi ternyata berbahaya, maka keabsahan puasanya masih bermasalah.
1.Apabila mukalaf berpuasa dalam keadaan sakit dengan keyakinan bahwa puasanya membahayakan dirinya, atau khawatir bisa berbahaya bagi dirinya maka puasanya batal, kecuali jika berpuasa dengan niat qurbatan ilallah, maka puasanya sah jika ternyata tidak berbahaya.
2.Apabila mukalaf berpuasa dengan keyakinan bahwa puasanya tidak berbahaya, tapi ternyata berbahaya, maka keabsahan puasanya masih bermasalah.
Apabila orang yang sakit sembuh sebelum zawal dan belum melakukan hal-hal yang membatalkan puasa, berdasarkan ihtiyath wajib harus memperbarui niatnya dan menyempurnakan puasa hari itu kemudian menggantinya setelah itu.