Fiqih Itu Indah
  • Judul: Fiqih Itu Indah
  • sang penulis: Mochtar Lutfi
  • Sumber:
  • Tanggal Rilis: 22:49:17 1-9-1403

 
Suatu saat Rasulullah saw, ketika hendak menguji kecerdasan para wanita dikala itu dengan melontarkan satu pertanyaan kepada mereka: “apakah gerangan perhiasan yang layak bagi seorang wanita.?” Setiap wanita yang ada saat itu menjawab sesuai dengan kehendak pribadi mereka, akan tetapi putri tercinta beliau Fatinah Az Zahra as menjawab: “perhiasan seorang wanita adalah tidak bergaul dengan yang bukan muhrimnya.”
 
Seorang arif (ahli irfan, pent) dalam melihat dunia ini walaupun segala kebaikan dan bermacam-macam keburukan telah disaksikannya,[1] tetapi ia tetap mengangap bahwa semua itu adalah suatu keindahan.  Lantas timbul pertanyaan, apakah  pandangan seorang arif semacam ini menunjukkan adanya kesesuaian antara irfan dengan pluralisme? Karena, bagaimana mungkin kejelekan dan keburukan yang ada dianggap sesuatu yang indah?
Dalam menjawab permasalahan diatas, bisa dikatakan bahwa kesesuaian antara irfan dan pandangan indah tentang semesta dengan pluralisme pada hakikatnya adalah adanya bentuk percampuradukkan (fallacy) antara bentuk sisi penciptaan (takwin) dan sisi yuridis (tasyri’). Karena pandangan indah terhadap semesta merupakan hasil pandangan seorang arif atas dunia penciptaan. Hal itu dikarenakan ia melihat bahwa alam semesta merupakan hasil ciptaan Tuhan yang Maha Indah dan dikarenakan ia pun mengetahui banyak tentang rahasia alam ini sehingga ia beranggapan bahwa keteraturan yang ada merupakan bentuk keindahan.

Adapun dari yurudis, sebagaimana segala pengetahuan dan hakikat ketuhanan telah ia dapat – sorga dan neraka telah dilihatnya, perintah dan larangan  Tuhan telah diketahuinya – disaat yang sama ia telah konsisten dalam melaksanakan segala perintah Tuhan dan dalam prakteknya pun ia telah menyucikan dirinya dari segala bentuk kemaksiatan. Rasa rindu terhadap sorga yang terdapat dalam dirinya menyebabkan munculnya usaha untuk menwujudkan jalan menuju sorga, dan sebaliknya rasa takutnya atas Neraka menyebabkan munculnya usaha untuk menjauhkan dirinya dari berbagai bentuk azab Tuhan, sehingga dari sini dapat dibedakan dengan jelas antara manusia yang taat dan perilaku maksiat sebagaimana antara seorang mukmin dan orang kafir ataupun munafiq.

Lantas terkadang muncul suatu pertanyaan: apakah hanya sekedar pengalaman atas fiqih saja, seseorang dikategorikan sebagai orang muslim? Dan apakah penekanan pada suatu hal tertentu dalam pengkatagorian seorang muslim dan penyembah Tuhan seperti pengagugannya atas keindahan saja, terdapat pelarangan? Dikarenakan Tuhan Dzat yang Maha Indah, oleh karenanya segala hasil ciptaanNya pun indah pula, dan dikarenakan alam semesta ini diciptakan berdasarkan keindahan maka menusia pun dituntut untuk hidup indah dan tidak boleh bertumpu pada sesuatu yang suram yaitu fiqih.

Dalam menanggapi pertanyaan-pertanyaan diatas bisa dijawab bahwa memang Tuhan Maha Indah dan alam semesta atas dasar keindahan diciptakan,  sehingga manusia pun dituntut harus hidup indah. Namun keindahan menusia terletak pada akalnya dan bukan dari sisi inderawinya, sebagaimana Tuhan telah menciptakan segala bentuk keindahan maka untuk mendeteksi dan melihat keindahan itu pun diperlukan alat pendeteksi, alat ukur dan parameter yang benar dan juga perlu disertai dengan bentuk pengalaman, hal inilah yang sangat ditekankan.

Bisa diperjelas bahwa keindahan memiliki dua jenis: inderawi dan aqli. Dikarenakan Tuhan telah menciptakan segala sesuatu dengan keindahan maka dari itu manusia dituntut agar dengan keindahan pula untuk untuk bisa sampai dan dapat mengenal dan mengimani agama, juga dalam melaksanakan segala hukum agama karena tolak-ukur keindahan adalah hati dan akal.

Diriwayatkan dari Rasulullah (saww) beliau bersabda: “Jauhilah oleh kalian khadra’uddiman (bunga indah yang tumbuh disampah, pent)!,” Lalu beliau ditanya: “Apakah gerangan wahai Rasulullah?”, Beliau menjawab: “Wanita yang indah (baca: menarik) akan tetapi tumbuh berkembangnya dari keluarga yang jelek (tanpa iman),”[2]

Tentu keindahan semacam ini tidak akan diterima oleh akal. Hal itu dikarenakan setiap hal yang wujud zahir-nya (wujud luar) indah tapi bentuk batinnya buruk maka wujud semacam ini bisa dikategorikan sebagai wujud munafik dimana keindahan jasadnya bersatu dengan keburukan hatinya. Dan sudah barang tentu kita  tidak akan bisa menerima hidup dengan wujud yang memiliki kemunafikan, karena yang disebut munafik adalah sesuatu yang zahirnya baik dan indah sementara batinnya jelek dan buruk – dimana manusia bisa berhubungan langsung dengan bentuk zahir orang munafik akan tetapi dalam batin orang munafik tadi tersimpan bisa beracun. Dalam bahasa Al-quran manusia bobrok diibaratkan sebagai wujud yang lebih buruk dari ular dan kalajengking hal itu dikarenakan ular dan kalajengking baik bentuk zahirnya maupun batinnya sama, akan tetapi orang munafik hanya bentuk zahirnya saja akan tetapi batinnya ibarat ular atau kalajengking, dan dikarenakan bentuk zahirnya manusia maka orang lain menganggapnya biasa saja dalam berkumpul dan berjabat tangan dengannya akan tetapi karena batinnya berbisa maka bergaul dengannya menyebabkan orang lain teracuni.

Islam adalah agama yang indah dan mengajak manusia pada keindahan maka atas dasar inilah Bilal Al-Habsyi budak hitam dinilai sebagai satu hal indah dikarenakan keimanannya,  sedang berapa banyak bangsa Romawi berkulit putih dianggap suatu keburukan, hal itu dikarenakan kemusyrikan mereka. Dari banyak riwayat dapat diketahui tentang tolak ukur keindahan seperti yang tercantum dalam satu riwayat yang berbunyi: “keindahan (baca: ketampanan) kaum lelaki terletak pada akal mereka.”[3]

Adapun tentang fiqih yang dianggap suram, harus dijawab bahwa Al-quran pada dasarnya indah sebagaimana Tuhan pun mengenalkannya sebagai yang paling indahnya perkataan seperti firman Allah swt yang berbunyi: “Allah telah menurunkan perkataan yang paling indah (baca: baik).”[4] Al-quran yang indah inilah dimana yang tercakup didalamnya berbagai macam hukum fiqih, semisal dicantumkan didalamnya larangan memandang pada orang yang bukan muhrimnya atau pun diharuskannya menutup aurat didepan orang yang bukan muhrim. Bisa diperjelas bahwa yang dimaksud indah disini bukan berarti segala yang tercantum di dalam Al-quran dari firman Allah merupakan hal yang paling indah dan menarik, akan tetapi (keindahan yang berarti kebaikan) sebagai mana ungkapan indah Al-quran kepada kaum mukminin: “katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: hendaknya mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya…..”[5]

Suatu saat Rasulullah saw, ketika hendak menguji kecerdasan para wanita dikala itu dengan melontarkan satu pertanyaan kepada mereka: “apakah gerangan perghiasan yang layak bagi seorang wanita.?” Setiap wanita yang ada saat itu menjawab sesuai dengan kehendak pribadi mereka, akan tetapi putri tercinta beliau Fatinah Az Zahra as menjawab: “perhiasan seorang wanita adalah tidak bergaul dengan yang bukan muhrimnya.”[6] Maka dari itu jika dilontarkan permasalahan hijab (baca: jilbab) dan penjagaan batas pergaulan sebagai sarana untuk mencapai iffah (keterjagaan atas kehormatan) dan kebersihan lingkungan ataupun pemisahan kelas atau sekolah bagi laki-laki dan perempuan, hal itu demi terwujudnay iffah dan tumbuh berkembangnya keutamaan maknawi para wanita dimana hal tersebut telah dikemukakan oleh Al-quran dan bukan merupakan hasil ucapan ahli fiqih pribadi sehingga disebut sebagai suatu hal yang suram.

Sebagaimana halnya Al-quran yang indah tersebut telah menjelaskan tentang posisi islam sebagai agama yang sempurna dan universal, ia pun dalam kesempatan lain telah menghimbau kepada segenap kaum muslimin agar mereka bisa hidup bersama dengan seluruh umat manusia yang lain atas dasar prinsip persesuaian manusiawi mereka sehingga terwujud tatanan kehidupan tenteram dan damai berdasarkan keadilan tanpa saling mengganggu satu dengan yang lain, kecuali jika mereka (non muslim) terbukti menyerang atau merongrong tatanan yang ada, maka kaum muslimin berkewajiban untuk membela diri, dan ini merupakan hal yang dapat diterima juga logis. []
 
CATATAN :
[1]  Seorang arif ketika telah sampai maqam tertentu mampu melihat hakikat yang sebenarnya dibalik  alam materi. (penerjemah)
[2] Bihar al-anwar: j: 100  h: 232.
[3]  Biharul Anwar: jilid 1, halaman 82.
[4]  Al-quran: surah Az Zumar, ayat: 23.
[5] Al-quran: Surah An Nur, ayat: 30.
[6]  Biharul Anwar: Jilid: 43 Halaman: 84.