Ulama Ahli Sunnah mewajibkan khumus hanya dalam hal ghanimah (rampasan) perang, tapi kenapa ulama Syi’ah memperluas hukum wajib khumus sehingga mencakup hal-hal selain ghanimah perang?
Khumus, sebagaimana wajib dalam hal ghanimah perang, wajib pula dalam penghasilan seseorang yang halal, tentunya dengan syarat yang telah dijelaskan oleh ulama di dalam bah khumus. Selanjutnya, kita akan sama-sama mengajukan persoalan ini kepada Al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad Saw.
Al-Qur’an menyebutkan:
Dan ketahuilah, hanyasanya apa yang kalian rampas (ghanimah) dalam peperangan maka sungguh seperlimanya untuk Allah, Rasul, dzawil qurba (kerabat), anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan ibnu sabil, jika kalian beriman kepada Allah dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad Saw) pada hari Furqan, -yaitu- hari bertemunya dua pasukan, dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS. Al-Anfal [8] : 41)
Apakah ayat di atas hanya berkenaan dengan ghanimah perang, ataukah berkenaan dengan makna yang lebih luas daripada itu? Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu kita mengkaji makna kata (غنم).
Di dalam kitab-kitab fikih, setiap kali kata ghanimah digunakan maka pada umumnya berhubungan dengan penghasilan atau rampasan perang, tapi hal ini tidak berarti kita berhak untuk membatasi makna ayat di atas hanya berkenaan dengan ghanimah perang, bahkan kemutlakan ayat tersebut masih menjadi bukti bagi kita bahwa ayat ini mencakup penghasilan yang lain.
Para ahli Bahasa Arab juga menyebutkan makna yang luas bagi kata ini dan tidak khusus untuk ghanimah perang. Sebagai contoh:
1. Khalil bin Ahmad Farahidi (w. 170 H) mengatakan, ‘Segala sesuatu yang diperoleh seseorang dengan jerih payah adalah ghanimah.’[1]
2. Azhari menuliskan, ‘Ghonm berarti memperoleh sesuatu, sedangkan ightinam berarti mengambil manfaat dari perolehan (penghasilan).’[2]
3. Ibnu Faris menyebutkan, ‘Kata (غنم) tidak mempunyai lebih dari satu akar yang berarti memperoleh sesuatu yang tidak diperoleh sebelumnya. Kemudian, kata ini digunakan untuk rampasan perang.’[3]
Di sini, kami rasa cukup menyebutkan tiga pakar bahasa tersebut, dan selanjutnya kami ingatkan bahwa mayoritas kamus Bahasa Arab mengartikan ghanimah dengan murni pcnghasilan baik itu penghasilan perang atau pun yang lain.[4]
Lagi pula Al-Qur’an sendiri menggunakan kata ini untuk makna perolehan atau keuntungan secara umum, dimana Allah Swt telah berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian pergi (berjihad) di jalan Allah, maka carilah keterangan, dan janganlah kalian berkata kepada orang yang memberi salam kepada kalian, ‘Engkau bukan mukmin. ‘ -lalu kalian bunuh-, karena kalian mengharapkan harta kehidupan dunia, padahal di sisi Allah ada keuntungan (perolehan dan harta) yang banyak sekali. Demikian jugalah keadaan kalian dahulu, lalu Allah memberkan nikmat kepada kalian, karena itu carilah keterangan! Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan. (QS. Al-Nisa’ [4] : 94)
Kalimat (فعند الله مغانم) di dalam ayat ini mencakup perolehan atau pahala di dunia maupun di akhirat walau tidak berhubungan dengan rampasan perang, bahkan dapat dikatakan bahwa yang dimaksud di sini adalah imbalan akhirat, dan itu terbukti dengan posisi penggalan ayat tersebut yang dihadapkan dengan penggalan (عرض الحیاة الدنیا) yang berarti ‘harta kehidupan dunia’.
Ibnu Majah di dalam kitab Sunannya meriwayatkan bahwa ketika Rasulullah Saw menerima zakat, beliau bersabda, ‘Ya Allah! Anugerahilah pahala dan keuntungan kepada penunai zakat, jangan menjadikannya bahaya dan kerugian bagi dia.’[5]
Ahmad bin Hanbal meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda, ‘Pahala majelis zikir kepada Allah Swt adalah surga.’[6] Rasulullah Saw menyebut Bulan Ramadan dengan sifat ‘Ghunmun lil jannah”, artinya adalah sebuah keuntungan demi surga.
Salah satu bukti paling kuat dan jelas, bahwa meskipun ayat ini turun bertepatan dengan masalah rampasan perang akan tetapi maknanya tidak khusus untuk masalah itu, adalah masing-masing dari imam empat mazhab Ahli Sunnah menyatakan kewajiban bayar khumus dalam hal harta selain rampasan perang, bahkan mereka membuktikan kewajiban itu berdasarkan ayat tersebut di atas.
Khumus Pertambangan
Khumus pertambangan merupakan salah satu pajak yang diwajibkan oleh Islam. Fukaha Mazhab Hanafi membuktikan kewajiban itu berdasarkan dua hal:
1. Ayat Khumus Ghanimah yang tersebut di atas;
2. Hadis Nabi Muhammad Saw bahwa ‘Terdapat khumus di dalam hal-hal yang tersimpan di perut bumi.’[7]
Dari hasil penelitian dalam kitab-kitab hadis, kita menemukan sabda tersebut di berbagai hadis Nabi Muhammad Saw.
Khumus Penghasilan Kerja
Menmut Mazhab Syi’ah Imamiyah, setiap penghasilan kerja seseorang, setelah dikurangi biaya belanja selama setahun maka seperlima (khumus) dari sisanya harus dibayarkan. Tentu saja dalam hal ini ada syarat-syarat lain yang harus dipenuhi, tapi bukan tempatnya di sini untuk menjelaskan itu semua, karena tujuan kami pada kesempatan kali ini hanyalah menunjukkan bahwa fatwa Mazhab Syi’ah Imamiyah sapenuhnya sesuai dengan hadis-hadis Rasulullah Saw yang telah diriwayatkan oleh Ahli Sunnah.
Di sini kita cukup menyebutkan berapa contoh dari hadis-hadis tersebut:
1. Rombongan delegasi suku Abdul Qais
Suku Abdul Qais terletak di timur Arabia, dan masyarakat Qathif, Ahsa’, serta Bahrain masih terhitung dari suku itu. Kepala suku itu bernama Abdul Qais, dia datang langsung kepada Rasulullah Saw seraya berkata, ‘Di antara kamu dan kami terdapat suku-suku musyrik yang tidak memperkenankan kami untuk datang ke sisimu kecuali di bulan-bulan haram. Karena itu, kami mohon kepadamu untuk memberi pelajaran-pelajaran penting kepada kami sehingga kami dapat mengajar kannya kepada yang lain.’
Rasulullah Saw bersabda kepadanya, ‘Aku perintahkan kalian pada empat hal dan larang kalian dari empat hal. Aku perintahkan kalian untuk: 1. beriman kepada Allah -dan kalian tahu apakah iman kepada Allah Swt? Yaitu- bersaksi akan keesaan-Nya, 2. Menunaikan shalat, 3. Membayar zakat, 4. Dan membayar khumus dari Mughnam (Ghanimah).[8]
Dalam pada itu perlu ketelitian tentang apa yang dimaksud dengan Mughnam (Ghanimah) dalam sabda beliau, dan di sini ada dua kemungkinan:
1. Rampasan perang;
2. Penghasilan yang halal.
Tentu saja kemungkinan pertama tertolak; karena rombongan delegasi suku Abdul Qais terang-terang mengatakan kepada Nabi Muhammad Saw bahwa kami tidak mungkin bertemu denganmu kecuali di bulan-bulan haram; karena bila kita keluar dari kawasan sendiri dan melewati kawasan kabilah-kabilah yang lain niscaya itu akan berbahaya dan menyebabkan pertumpahan darah. Masyarakat yang berkondisi seperti ini bagaimana mungkin berperang melawan musuh dan mendapat harta rampasan perang dari mereka?! Lagi pula, jihad (perang) melawan musuh tanpa izin Nabi Muhammad Saw dan perwakilan beliau tidaklah diperbolehkan.
Mungkin saja seseorang membayangkan maksudnya adalah perampokan harta musuh. Tapi kemungkinan ini juga tidak bisa dibenarkan, karena Rasulullah Saw melarang segala bentuk perampokan, sebagaimana kita dapat membaca sabda beliau tentang masalah ini di berbagai kitab hadis, seperti “nahan nabi ‘an al-nahb”[9] yang artinya, Nabi Muhammad Saw telah melarang perampokan.
Dengan demikian, hanya satu kemungkinan makna yang tersisa dari kata Mughnam (Ghanimah) di sini, yaitu penghasilan yang halal setelah dikurangi biaya belanja selama setahun.
2. Ketika Rasulullah Saw mengutus Amr bin Hazm ke Yaman, beliau menuliskan surat perintah yang isinya antara lain:
أمره بتقو الله قی امره و ان یأخذ من المغانم خمس الله و ما کتب عن المؤمنین من الصدقة من العقار عشر ما سقی البعل و سقت السماء و نصف العشر مما سقی الغرب[10]
Ada berapa kata yang hams dijelaskan lebih dulu:
1. Kata al- ‘iqor berarti tanah, dan yang dimaksud di sini adalah tanah pertanian.
2. Kata al-ba’l berarti pepohonan yang tidak perlu pengairan karena akarnya yang mampu menyerap air dari sungai-sungai di sekitamya atau hujan.
3. Kata al-ghorb berarti ember besar, dan yang dimaksud di sini adalah pepohonan yang disirami air dengan peralatan seperti ember dan semacamnya.
Setelah memerintahkan ketakwaan, di dalam hadis mt Rasulullah Saw menekankan dua macam pajak islami:
1. Khumus Ghanimah;
2. Zakat tanah yang adakalanya sepersepuluh dan adakalanya seperduapuluh; tanah yang kebutuhan airnya dipenuhi oleh hujan atau sumber-sumber air di sekitarnya dikenakan pajak sepersepuluh karena biaya pengairannya yang kecil, sedangkan tanah yang kebutuhan aimya dipenuhi dengan peralatan seperti penimbaan air dari sumur dikenakan pajak seperduapuluh karena biaya pengairannya yang relatif besar.
Dalam hal ini, banyak surat perjanjian dari pihak Rasulullah Saw untuk para tokoh di sekitar kawasan, dan di semua itu terdapat perintah pembayaran khumus dari Ghanimah, padahal mereka bukan panglima perang atau pasukan perang, tapi mereka merupakan tokoh atau pemimpin di daerah masing-masing, maka itu beliau memerintahkan mereka untuk mengumpulkan seperlima dari harta penghasilan -tentunya setelah memenuhi syarat- di sana dan mengirimkannya kepada beliau.
3. Di dalam sebuah perjanjian, Rasulullah Saw menuliskan kepada Juhainah bin Zaid:
‘Untukmu bawah tanah, di atas tanah, di dalam lembah dan di atasnya, gunakanlah ladang-ladang dan air yang ada di sana, tapi dengan syarat hendaknya kamu mengirimkan seperlima dari hasilnya.’[11]
Lebih dari itu, sebagaimana tercatat dalam banyak hadis, para imam suci Ahli Bait as yang merupakan padanan Al Qur’an berkali-kali menjelaskan kewajiban membayar khumus penghasilan kerja. Karena itu, siapa pun yang meyakini kebenaran Hadis Tsaqalain (dua pusaka Nabi Muhammad Saw) maka wajib baginya untuk mengikuti sabda para imam tersebut dan membayarkan seperlima dari penghasilan kerjanya, tentu saja apabila syarat-syaratnya terpenuhi yang antara lain adalah setelah dikurangi biaya belanja selama setahun.
CATATAN :
[1] Al-‘Ain,jld. 4, hal. 426, kata غنم
[2] Tahdzib Al-Lughoh, kata yang sama.
[3] Maqoyis Al-Lughoh, kata yang sama.
[4] Nihayah karya Ibnu Atsir, Qomus karya Firuz Abadi, dan Taj Al-‘Arus karya Zubaidi dalam kata yang sama.
[5] Sunan Ibnu Majah, kitab zakat, bab apa yang diriwayatkan mengenai pembayaran zakat, hadis no. 1797.
[6] Musnad Ahmad, jld. 2, hal. 330, 379, 374 dan 524. 3 Ibid, jld. 2, hal. 377.
[7] Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh, jld. 2, hal. 776; Musnad Ahmad, jld. 1, hal. 314; Sunan Ibnu Majah jld. 2, hal. 839 cetakan tahun 1374.
[8] Shohih Al-Bukhori, jld. 4, hal. 250, bab (والله خلقکم و م تعملون) dari kitab tauhid; Shohih Muslim, jld. 1, hal. 35-36, bab perintah untuk beriman.
[9] Al-Taj Al-Jami’ li Al-Ushul, jld. 4, hal. 334, nukilan dari Shohih Al-Bukhori.
[10] Futuh Al-Buldan,jld. 1, hal. 81, bab Yaman; Siroh lbnu Hisyiim, jld. 4, hal. 265.
[11] Al-Watsa’iq Al-Siyasiyah, hal. 265, no. 157.