Kata Kunci Pembahasan
Menangis, mayit, azab, hadis bertentangan dengan Alquran,
riwayat.
Muqaddimah
Kita sering melihat di dalam sumber hadis Ahlusunah,
hadis-hadis yang bertentangan dengan Alquran dan akal
sehat, seperti pembahasan Tuhan bisa dilihat dengan mata
telanjang, atau pembahasan Allah memiliki betis, dan
lainnya. Begitu juga pembahasan hadis tentang Nabi
kencing berdiri atau Nabi ragu terhadap kenabiannya
sendiri. Sangat jelas dalam logika Alquran maupun akal
sehat hadis-hadis tersebut bertentangan secara Akli
maupun Naqli.
Begitu pula pembahasan hadis tentang ”Siksaan untuk mayit
ketika kerabat menangisinya”. Hadis tersebut merupakan
salah satu dari banyaknya hadis-hadis yang dibuat dan
dinisbahkan kepada Rasulullah saww.
Alquran di beberapa tempat menjelaskan bahwa “seorang
yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain” [2]
Untuk itu, jika ada sekelompok dari kaum muslimin yang
lebih mementingkan hadis tersebut (bertentangan dengan
Alquran), maka mereka telah melakukan pengkhianatan
terhadap Alquran karim.
Arti Kata Menangis
Menangis secara bahasa berasal dari akar kata بکی-یبکی-بکاء
(Baka-Yabki-Buka)[3] yang memiliki makna menangis atau
tetesan air mata tanpa adanya suara. Namun jika hanya “
بکاء”, masdar dari kata kerja menangis, memiliki arti
menangis dibarengi dengan suara.[4] Raghib berkata, ”Jika
menangis bersamaan dengan kesedihan dan suara maka
biasanya memakai masdar” بکاء” seperti kata arab lainnya ”
رغاء” ,ثغاء” ” (Ragha-Tsagha).[5]
Larangan Menangis dalam Sejarah Islam
Jika kita melihat sejarah, siapakah yang pertama kali
melarang menangis bagi orang yang telah mati? maka kita
akan dapati bahwa Khalifah kedualah yang pertama kali
melarang menangisi orang yang telah mati. Dalam literatur
Sunnah ditemukan bahwa pada zaman Rasulullah saww ada
seorang yang meninggal dan wanita-wanita mereka menangis
tersedu-sedu atas kepergian sanak keluarga mereka. Umar
bin Khatab melarang mereka untuk tidak menangisi mayit
sehingga terdengar oleh Rasulullah saww, kemudian Nabi
saww melarang Umar bin Khatab untuk berkata demikian
sehingga nabi bersabda bahwa menangis adalah bentuk
kesedihan jiwa.
خرج النبی علی جنازة ومعه عمر بن الخطاب، فسمع نساء یبکین، فزبرهن عمر فقال رسول الله (ص) یا عمر، دعهن، فإن العین دامعه
والنفس مصابه والعهد قریب (أحمد بن حنبل، 2/273،408؛ حاکم نیشابوری، 1/381؛ بیهقی، 4/70؛ هيثمي، 9/247؛
صنعانی، 3/554؛ ابن حبان، 7/429؛ طبرانی، 24/39
“Nabi saww keluar untuk mengiringi jenazah, dan
bersamanya Umar ibn Khatab, kemudian Umar mendengar para
wanita menangis serta melarang mereka untuk menangis.
Lalu Rasulullah saww berkata, “wahai Umar, janganlah kau
melarang mereka menangis, sesungguhnya ketika jiwa
merasakan musibah maka mata akan menangis. Sesungguhnya
janji Allah itu dekat”
(Ahmad ibn Hanbal, juz.2 hal.408, Hakim Nisyaburi juz.1
hal.381, Baihaqi, juz.4 hal.70, Haistami, juz.9 hal.247,
shan’ani, juz.3 hal.554, Ibn Hibban, juz.7 hal.429,
Thabarani, juz.24 hal.39)
Menilik Sumber dan Matan Hadis
Kita sering melihat di kehidupan masyarakat ketika ada
sanak kerabat meninggal, mereka yang ditinggal ingin
menangis, namun takut jika menangis akan ditegur oleh pak
Kiai atau Ustaz. Sehingga terkadang mereka pura-pura
tegar, namun ketika sudah sepi dari tetangga ledaklah
tangisan mereka. Tangisan yang lahir dari rasa kehilangan
bukan lahir dari larangan Syariat. Karena menangis adalah
rahmat Tuhan semesta, kenapa kita diberi air mata namun
dilarang untuk menangis?
Larangan menangis di masyarakat umum sudah sangat
terkenal, mereka bersandar pada hadis-hadis dibawah ini,
– حدثنا شعبة قال سمعت قتادة يحدث عن سعيد بن المسيّب عن ابن عمر عن عمر عن النبي صلى الله عليه وسلم قال الميت يعذب في قبره
بما نيح عليه (مسلم نيشابوري ج3، ص41
Diriwayatkan dari Syu’bah, ia berkata, Aku mendengar
Qutadah meriwayatkan dari Said ibn Mushayyab dari Ibn
Umar dari ayahnya Umar ibn Khatab dari Rasulullah saww
beliau bersabda, “Sesungguhnya seorang mayit akan disiksa
di dalam kuburnya dikarenakan ratap tangisan sanak
kerabatnya.”[6]
Hadis lain berkenaan dengan larangan menangis terhadap
mayit
حدثنى عبيد بن اسماعيل حدثنا أبو اسامة عن هشام عن أبيه قال ذكر عند عائشة رضى الله عنها ان ابن عمر رفع إلى النبي صلى الله عليه
وسلم إنَّ الميتَ يُعَذَّبُ في قَبرِه بِبُكاءِ أهلِه فقالت انما قال رسول الله صلى الله عليه وسلم انه ليعذب بخطيئته وذنبه وان اهله ليبكون عليه
الآن» (بخاري ج5، ص9؛ مسلم نيشابوري ج3، ص44
Diriwayatkan Ubaid ibn Ismail, diriwayatkan dari Abu
Usamah dari Hisyam dari ayahnya berkata, “Aisyah ra
berkata, Sesungguhnya Ibn Umar menisbahkan hadis kepada
Nabi saww, bahwa mayit disiksa di dalam kuburnya
dikarenakan tangisan sanak kerabatnya, namun sebenarnya
Nabi saww bersabda: Sesungguhnya mayit disiksa karena
kesalahan dan dosanya sendiri, untuk itu sanak kerabat
menangis untuknya.”[7]
Melihat dari matan hadis diatas, jelas bahwa Aisyah
sendiri tidak menerima jika tangisan sanak kerabat
menjadi penyebab seorang mayit disiksa. Bahkan beliau
menegaskan bahwa menangisi mayit tidak menyebabkan
seseorang yang ditangisinya disiksa tapi mereka disiksa
karena amal perbuatan dosa dan maksiatnya bukan karena
tangisan sanak kerabatnya.
Kritikan atas Hadis
Jika kita melihat riwayat dengan teliti maka periwayat
hadis diatas “Menangisi mayit menjadi sebab disiksanya
mayit” hanya diriwayatkan oleh dua rawi yaitu Ibn Umar
dan Umar ibn Khatab ra. Bahkan Ibn Umar meriwayatkan dari
Umar Ibn Khatab sehingga kedudukan hadis menjadi sangat
lemah yaitu Hadis ahad (Hadis yang diriwayatkan dari satu
rawi). Selain keduanya, tidak ada dari kelompok sahabat
yang meriwayatkan hadis tersebut. Jika seandainya hadis
tersebut dari Rasulullah saww, maka sahabat yang lain
akan meriwayatkannya. Sebaliknya para sahabat tidak ada
yang menguatkan hadis ini, bahkan melemahkannya seperti
hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah ra.
Fatwa-Fatwa Ulama Ahlusunah Berkenaan dengan Menangisi
Mayit
Ahli fikih dari Ahlusunah berpendapat bahwa menangisi
mayit apabila tanpa ratapan diperbolehkan (Mubah) namun
jika menangis dengan ratapan mereka berbeda pendapat.
Mazhab Syafii dan Hambali memperbolehkan menangis dengan
ratapan namun mazhab Maliki dan Hanafi mereka beranggapan
menangis dengan ratapan adalah haram.
Abdurahman Jaziri berkata:
قال عبدالرحمان جزیرى: «یحرم البکاء على المیت برفع الصوت و الصیاح عند المالکیه والحنفیه، و قال الشافعیه و الحنابله انه مباح اما هطل
الدموع بدون صیاح فانه مباح باتفاق» (جزیری/400
“Menangis dengan ratapan dan teriakan di dalam pandangan
mazhab Maliki dan Hanafi adalah haram, namun mazhab
Syafii dan Hambali membolehkan. Adapun menangis tanpa
ratapan dan teriakan seluruh ulama sepakat membolehkan
hal tersebut.”
Abdurahman Jaziri menambahkan bahwa seluruh mazhab
Ahlusunah sepakat, apabila menangis dengan cara yang
tidak normal seperti menjambak-jambak rambut, merobek
baju atau berteriak histeris, maka hal tersebut adalah
haram. Sebagaimana yang diriwayatkan dalam Shahih Bukhari
dan Muslim. Tapi walaupun demikian, tangisan kerabat
mayit bukanlah merupakan sebab siksa atau azab bagi
mayit, kecuali jika sebelum wafat, mayit tidak berwasiat
dimana wasiat merupakan hal wajib dalam syariat. Ketika
kerabat menangis karena mayit tidak berwasiat sebelum
wafat, maka dia akan disiksa. Jadi siksaan bukan
dikarenakan tangisan, melainkan karena meninggalkan
wasiat.[8]
Penjelasan Ayat Alquran yang Bertentangan dengan Hadis
Jika kita kembali kepada Alquran, maka kita akan dapati
ayat ayat yang bertentangan dengan hadis yang
diriwayatkan oleh Umar ibn Khatab.
1. Allah swt berfirman:
لَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى[9]
Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang
lain
Jelas sekali riwayat terdahulu bertentangan dengan ayat
diatas, terlebih bahwa ayat tersebut diulang ulang
sebanyak lima kali dalam Alquran. Karena jika kita
meyakini bisa memikulkan dosa kita kepada orang lain,
maka itu bertentangan dengan keadilan Allah swt dan
rahmat rahimNya.
2. Allah swt berfirman:
وَأَنْ لَيسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَي[10]
dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain
apa yang telah diusahakannya.
Allah swt akan memberikan pahala ataupun siksa dengan apa
yang diusahakan oleh manusia itu sendiri. Maka pahala
ataupun siksa berkaitan dengan personal masing-masing dan
tidak ada kaitannya dengan orang lain.
3. Allah swt berfirman:
كُلُّ نَفْسٍ بِما كَسَبَت رهينة[11]
Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah
diperbuatnya
Ayat ini dengan jelas menerangkan bahwa segala perbuatan,
kitalah yang akan mempertanggung jawabkannya kelak
dihadapan Tuhan. Ataupun ayat-ayat lain yang bernada sama
seperti ayat-ayat diatas seperti, Thur:21, Ghafir:17,
Jastiyah:22. Atau kita melihat dalam surat Zilzal ayat:7
-8 bahwa amal perbuatan baik atau buruk sekecil apapun,
akan ada pembalasannya di hari Kiamat kelak.
Pelaku Dosa yang Menanggung Segala Perbuatannya
Seseorang yang melakukan dosa, dialah yang menanggung
akibatnya dan orang lain tidak ada sangkut pautnya dengan
siksa pelaku dosa tersebut.
Allah swt berfirman:
أَمْ لَمْ يُنَبَّأْ بِما في صُحُفِ مُوسى وَ إِبْراهيمَ الَّذي وَفَّى أَلاَّ تَزِرُ وازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرى
“Ataukah belum diberitakan kepadanya apa yang ada dalam
lembaran-lembaran Musa dan Ibrahim yang selalu
menyempurnakan janji, bahwa seorang yang berdosa tidak
akan memikul dosa orang lain?”[12]
Ayat ini secara gamblang menjelaskan kepada kita bahwa
sebelum Rasulullah saww diutus menjadi Nabi, hukum
pendosa dialah yang memikul dosanya bukan orang lain.
Sunnah Allah ini ada jauh sebelum Syariat Islam
diturunkan yaitu pada zaman nabi-nabi sebelumnya. Dan
kita ketahui bahwa sunnah Allah swt tidak akan pernah
berubah.
Allah swt berfirman:
وَ لَنْ تَجِدَ لِسُنَّةِ اللَّهِ تَبْديلاً
“Dan kalian tidak pernah menemukan perubahan terhadap
sunnah Allah swt.”[13]
Sunah Nabi Terkait Menangisi Mayit
Selain dalil Al-Quran, kita juga akan dapati dalil dari
sunah Nabi Muhammad saww terkait menangisi mayit.
Sunah Nabi membolehkan bagi sanak kerabat untuk menangisi
orang yang ditinggal pergi ke haribaan Tuhannya. Bahkan
Nabi saww menekankan para sahabatnya untuk menangisi
orang-orang yang gugur di jalan Islam.
1. Tangisan Nabi saww untuk Najasyi
Imam Ali as meriwayatkan, ”Ketika Jibril turun memberi
kabar kepada Nabi saww atas wafatnya najasyi, beliau
menagis tersedu-sedu”.[14]
2. Tangisan Nabi terhadap Putranya Ibrahim
Aisyah ra meriwayatkan, ”Ketika putra Rasulullah saww
Ibrahim wafat, seketika Rasulullah menangis hingga air
mata membasahi wajahnya. Setelah itu para sahabat
bertanya kepada Rasulullah saww, wahai Rasulullah saww
bukankah Anda melarang untuk menangis? lalu kenapa Anda
menangis tersedu-sedu? Rasulullah saww bersabda, ini
bukanlah tangisan melainkan rahmat dan kasih sayang. Lalu
beliau melanjutkan, “Barang siapa yang tidak berbelas
kasih kepada orang lain, maka orang lain tidak akan
berbelas kasih padanya.”[15]
3. Tangisan Rasulullah saww dan Sahabat untuk Syuhada
Uhud khususnya Sayyidina Hamzah
Menukil hadis dari beberapa sumber Ahlusunah bahwa,
“Setelah berakhirnya perang Uhud, kaum muslimin kembali
ke Madinah. Kaum wanita yang ditinggal syahid sanak
kerabatnya mulai menangisi mereka satu persatu. Kabar
kaum wanita baik dari Muhajirin maupun Anshar menangisi
para syuhada terdengar oleh Rasulullah saww. Kemudian
beliau menangis seraya berkata, ”Oh..mereka menangisi
sanak kerabatnya sedangkan tak satupun dari mereka
menangisi pamanku Hamzah oh..pamanku yang malang
oh..pamanku yang malang. Ketika kabar ini terdengar oleh
para wanita Madinah, merekapun mulai menangisi paman Nabi
saww Hamzah setelah itu menangisi sanak kerabatnya.”[16]
4. Tangisan Rasulullah saww untuk Bundanya Sayyidah
Aminah as
Dalam sejarah Islam baik dalam literatur Sunnah maupun
Syiah adalah hal yang tidak bisa dipungkiri bahwa setiap
saat, Rasulullah saww berziarah ke pemakaman Bunda Aminah
dan beliau selalu menangis untuk ibunya.[17]
5. Saran Rasulullah saww untuk Menagisi Sayyid Ja’far
ibn Abi Thalib Al-Thayyar
Mashur dikalangan Ahlusunah kisah syahidnya Ja’far ibn
Abi Thalib ditangisi oleh Rasulullah saww dan beliau
memperintahkan orang untuk menangisi orang-orang seperti
Ja’far al-Thayyar.
Diriwayatkan, ”Ketika kabar syahidnya Ja’far ibn Abi
Thalib terdengar ke telinga suci Rasulullah, seketika itu
Rasulullah dan Sayyidah Fatimah menangis tersedu-sedu
seraya berkata, “Untuk orang-orang seperti Ja’far ibn Abi
Thalib maka selayaknya mata untuk menangisinya.”[18]
Pandangan Sahabat Nabi Terkait Menangisi Mayit
Selain Umar ibn Khatab dan anaknya semua sahabat
memandang bahwa menangisi mayit adalah hal positif. Ada
beberapa saksi hadis dan sejarah berkenaan dengan
pandangan para sahabat terkait menangisi mayit.
Pandangan Aisyah dan Ibn Abbas
Aisyah dan Ibn Abbas menceritakan bahwa pada zaman
Khalifah Umar ibn Khatab tidak ada satupun yang berani
untuk mengutarakan pandangan mereka tentang menangisi
mayit. Dari semua sahabat yang ada hanya Khalifah Pertama
yang pernah menjawab pandangan Umar ibn Khatab tentang
siksaan dan azab mayit karena ditangisi sanak kerabatnya,
lalu Umar menerima dalil argumentasi Khalifah pertama.
[19] Ketika Abu Bakar Khalifah pertama meninggal, Umar
melarang orang untuk menangisinya. Kemudian Aisyah
menentang Umar ibn Khatab terkait kenapa tidak boleh
menangisi ayahnya, lalu Umar mengancam akan menindak
dengan kekerasan apabila ada yang berani menangisi mayit
dari sanak keluarganya. Namun setelah Umar ibn Khatab
wafat barulah para sahabat memperlihatkan pandangan-
pandangan mereka terkait menangisi mayit tidak
menyebabkan azab dan siksa untuk mayit, diantaranya ialah
Aisyah dan Ibn Abbas.
Dinukil dari sebuah riwayat, ketika Umar ibn Khatab
wafat, Ibn Abbas berkata kepada Aisyah sesungguhnya Umar
telah wafat maka Aisyah Berkata,
“ Semoga Allah merahmati Umar, Demi Allah Rasulullah saww
tidak pernah mengatakan hal seperti itu (menangisi mayit
merupakan sebab mayit disiksa). Namun Rasulullah saww
bersabda: “Sesungguhnya seorang kafir akan disiksa
didalam kubur, ketika sanak kerabatnya menangis maka
siksaan dan azab kubur ditambahkan kepadanya. Kemudian
Aisyah menambahkan,” Cukup untuk kalian firman Allah swt
bahwa seseorang tidak memikul dosa orang lain.”[20]
Jika kita melihat riwayat dari Aisyah dan Ibn Abbas, kita
bisa mengambil kesimpulan bahwa merekapun tidak menerima
hadis yang dibawakan oleh Umar, bahkan menolaknya.
Pandangan Abu Hurairah
Abu Hurairah meriwayatkan,
“Telah wafat seseorang dari Bani Hasyim, kemudian wanita
dari mereka berkumpul dengan menangis tersedu sedu. Lalu
Umar ibn Khatab datang dan melarang mereka untuk
menangis. Rasulullah saww melihat kejadian itu langsung
berkata kepada Umar, wahai Umar, biarkan mereka menangis!
karena Allah menciptakan mata untuk menangis dan jiwa
(ketika terkena musibah) untuk bersedih. Sesungguhnya
janji Allah swt itu adalah pasti (Kematian-Kiamat)”[21]
Menangis Untuk Al-Husein
Menukil hadis dari Rasulullah saww bahwa seluruh kaum
mukminin akan terus menangis untuk Al-Husein as sampai
hari kiamat.
Rasulullah saww bersabda,
“Rasulullah saww menatap Al-Husein lalu membawanya dan
mendudukannya dihadapan beliau seraya berkata,
Sesungguhnya terbunuhnya Al-Husein akan selalu menjadi
bara api didalam jiwa kaum mu’minin dan tidak akan pernah
padam sampai hari kiamat. Sesungguhnya air mata akan
terus mengalir. Kemudian ada sahabat yang bertanya, “Apa
maksud dari air mata akan terus mengalir? lalu beliau
menjawab, “Tidaklah seorang mu’min mengenang tragedi
syahidnya Al-Husein kecuali mereka akan menangis.”[22]
Dan banyak lagi hadis lainnya yang berkenaan dengan
anjuran menangisi Al-Husein as. Salah satu hadis tekenal
ketika datang bulan Muharram dari para ahli mimbar ialah
: ”Barang siapa yang menangis, atau berpura pura
menangis, atau membuat orang menangis untuk Al-Husein as,
maka baginya Surga.”
Untuk itu kita bisa simpulkan bahwa secara fitrah
manusia, menangis adalah hal yang normal. Bahkan bayi
ketika datang ke dunia harus menangis karena berpisahnya
dia dengan alam sebelumnya. Perpisahan dari satu alam ke
alam yang lain pasti membuat para musafir alam ini
menangis. Innalillah wa Innailaihi rajiun.
CATATAN :
[1]QS: Al-An’am Ayat: 164
[2] Al-an’am:164, Al-Isra:15, Fathir: 18, AL-Zumar: 18,
Al-Najm:38
[3] Farahidi, Juz.5 hal.418
[4] Tharihi, juz.1 hal.59
[5]Raghib Isfahani hal.141
[6] Shahih Muslim juz.3 hal.41
[7] Shahih Bukhari, Juz.5 hal.9, Muslim dalam Shahihnya,
Juz.3 hal.44
[8] Al-jaziri hal.400
[9] Al-an’am:164, Al-Isra:15, Fathir: 18, AL-Zumar: 18,
Al-Najm:38
[10] Al-najm:39
[11] Mudastir:38
[12] Al-najm:36-37-38
[13] Al-Ahzab:62, Fathir:43, Fath:23
[14] Ibn Babawaih: juz.1 /279
[15] Shahih Bukhari, Juz.2 hal.80, Musnad Ahmad, juz.5
hal.204 Ibn hajar, juz.13 hal.303
[16] Musnad Ahmad ibn Hanbal, juz.2 hal.84, Ibn Hajar
juz.3 hal.129, Ibn Sa’ad juz.2 hal.44, Muttaqi al-Hindi
dalam Kanzul Ummal juz.1 hal.374
[17] Shahih Muslim, juz.3 hal.65, Hakim Naisyaburi juz.1
hal.374, Baihaqi juz.4 hal.70, Ibn Asakir, juz. 35 hal.
385
[18] Ibn Astir, Juz.1 hal.289, Baladzuri hal.43, Ya’qubi
hal.65-66
[19] Tafsir suyuthi ketika menafsirkan surat al-Imran
ayat.144 juz.2 hal.81, Tsa’labi juz.3 hal.187
[20] Shahih Muslim, Juz.3 hal.43-44, Ibn Hajar al-
Asqalani didalam talkhis al-Khabir, Juz.5 hal.272
[21] Ahmad ibn Hanbal, Juz.2 hal.444, Nasai Juz.2 hal.19,
Baihaqi, juz.4 hal.70, Ibn Hazm, juz.5 hal.16
[22] Al-Nuri, Juz.1 hal.318