Seputar Hadis tentang Menangisi Mayit
  • Judul: Seputar Hadis tentang Menangisi Mayit
  • sang penulis:
  • Sumber: hpi iran
  • Tanggal Rilis: 22:45:42 1-9-1403

Kata Kunci Pembahasan

Menangis, mayit, azab, hadis bertentangan dengan Alquran,

riwayat.

Muqaddimah

Kita sering melihat di dalam sumber hadis Ahlusunah,

hadis-hadis yang bertentangan dengan Alquran dan akal

sehat, seperti pembahasan Tuhan bisa dilihat dengan mata

telanjang, atau pembahasan Allah memiliki betis, dan

lainnya. Begitu juga pembahasan hadis tentang Nabi

kencing berdiri atau Nabi ragu terhadap kenabiannya

sendiri. Sangat jelas dalam logika Alquran maupun akal

sehat hadis-hadis tersebut bertentangan secara Akli

maupun Naqli.

Begitu pula pembahasan hadis tentang ”Siksaan untuk mayit

ketika kerabat menangisinya”. Hadis tersebut merupakan

salah satu dari banyaknya hadis-hadis yang dibuat dan

dinisbahkan kepada Rasulullah saww.

Alquran di beberapa tempat menjelaskan bahwa “seorang

yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain” [2]

Untuk itu, jika ada sekelompok dari kaum muslimin yang

lebih mementingkan hadis tersebut (bertentangan dengan

Alquran), maka mereka telah melakukan pengkhianatan

terhadap Alquran karim.

Arti Kata Menangis

Menangis secara bahasa berasal dari akar kata بکی-یبکی-بکاء

(Baka-Yabki-Buka)[3] yang memiliki makna menangis atau

tetesan air mata tanpa adanya suara. Namun jika hanya “

بکاء”, masdar dari kata kerja menangis, memiliki arti

menangis dibarengi dengan suara.[4] Raghib berkata, ”Jika

menangis bersamaan dengan kesedihan dan suara maka

biasanya memakai masdar” بکاء” seperti kata arab lainnya ”

رغاء” ,ثغاء” ” (Ragha-Tsagha).[5]

Larangan Menangis dalam Sejarah Islam

Jika kita melihat sejarah, siapakah yang pertama kali

melarang menangis bagi orang yang telah mati? maka kita

akan dapati bahwa Khalifah kedualah yang pertama kali

melarang menangisi orang yang telah mati. Dalam literatur

Sunnah ditemukan bahwa pada zaman Rasulullah saww ada

seorang yang meninggal dan wanita-wanita mereka menangis

tersedu-sedu atas kepergian sanak keluarga mereka. Umar

bin Khatab melarang mereka untuk tidak menangisi mayit

sehingga terdengar oleh Rasulullah saww, kemudian Nabi

saww melarang Umar bin Khatab untuk berkata demikian

sehingga nabi bersabda bahwa menangis adalah bentuk

kesedihan jiwa.

خرج النبی علی جنازة ومعه عمر بن الخطاب، فسمع نساء یبکین، فزبرهن عمر فقال رسول الله (ص) یا عمر، دعهن، فإن العین دامعه

والنفس مصابه والعهد قریب (أحمد بن حنبل، 2/273،408؛ حاکم نیشابوری، 1/381؛ بیهقی، 4/70؛ هيثمي، 9/247؛

صنعانی، 3/554؛ ابن حبان، 7/429؛ طبرانی،  24/39

“Nabi saww keluar untuk mengiringi jenazah, dan

bersamanya Umar ibn Khatab, kemudian Umar mendengar para

wanita menangis serta melarang mereka untuk menangis.

Lalu Rasulullah saww berkata, “wahai Umar, janganlah kau

melarang mereka menangis, sesungguhnya ketika jiwa

merasakan musibah maka mata akan menangis. Sesungguhnya

janji Allah itu dekat”

(Ahmad ibn Hanbal, juz.2 hal.408, Hakim Nisyaburi juz.1

hal.381, Baihaqi, juz.4 hal.70, Haistami, juz.9 hal.247,

shan’ani, juz.3 hal.554, Ibn Hibban, juz.7 hal.429,

Thabarani, juz.24 hal.39)

Menilik Sumber dan Matan Hadis

Kita sering melihat di kehidupan masyarakat ketika ada

sanak kerabat meninggal, mereka yang ditinggal ingin

menangis, namun takut jika menangis akan ditegur oleh pak

Kiai atau Ustaz. Sehingga terkadang mereka pura-pura

tegar, namun ketika sudah sepi dari tetangga ledaklah

tangisan mereka. Tangisan yang lahir dari rasa kehilangan

bukan lahir dari larangan Syariat. Karena menangis adalah

rahmat Tuhan semesta, kenapa kita diberi air mata namun

dilarang untuk menangis?

Larangan menangis di masyarakat umum sudah sangat

terkenal, mereka bersandar pada hadis-hadis dibawah ini,

– حدثنا شعبة قال سمعت قتادة يحدث عن سعيد بن المسيّب عن ابن عمر عن عمر عن النبي صلى الله عليه وسلم قال الميت يعذب في قبره

بما نيح عليه (مسلم نيشابوري ج3،   ص41

Diriwayatkan dari Syu’bah, ia berkata, Aku mendengar

Qutadah meriwayatkan dari Said ibn Mushayyab dari Ibn

Umar dari ayahnya Umar ibn Khatab dari Rasulullah saww

beliau bersabda, “Sesungguhnya seorang mayit akan disiksa

di dalam kuburnya dikarenakan ratap tangisan sanak

kerabatnya.”[6]

Hadis lain berkenaan dengan larangan menangis terhadap

mayit

حدثنى عبيد بن اسماعيل حدثنا أبو اسامة عن هشام عن أبيه قال ذكر عند عائشة رضى الله عنها ان ابن عمر رفع إلى النبي صلى الله عليه

وسلم إنَّ الميتَ يُعَذَّبُ في قَبرِه بِبُكاءِ أهلِه فقالت انما قال رسول الله صلى الله عليه وسلم انه ليعذب بخطيئته وذنبه وان اهله ليبكون عليه

الآن» (بخاري ج5،   ص9؛ مسلم نيشابوري ج3،   ص44

Diriwayatkan Ubaid ibn Ismail, diriwayatkan dari Abu

Usamah dari Hisyam dari ayahnya berkata, “Aisyah ra

berkata, Sesungguhnya Ibn Umar menisbahkan hadis kepada

Nabi saww, bahwa mayit disiksa di dalam kuburnya

dikarenakan tangisan sanak kerabatnya, namun sebenarnya

Nabi saww bersabda: Sesungguhnya mayit disiksa karena

kesalahan dan dosanya sendiri, untuk itu sanak kerabat

menangis untuknya.”[7]

Melihat dari matan hadis diatas, jelas bahwa Aisyah

sendiri tidak menerima jika tangisan sanak kerabat

menjadi penyebab seorang mayit disiksa. Bahkan beliau

menegaskan bahwa menangisi mayit tidak menyebabkan

seseorang yang ditangisinya disiksa tapi mereka disiksa

karena amal perbuatan dosa dan maksiatnya bukan karena

tangisan sanak kerabatnya.

Kritikan atas Hadis

Jika kita melihat riwayat dengan teliti maka periwayat

hadis diatas “Menangisi mayit menjadi sebab disiksanya

mayit” hanya diriwayatkan oleh dua rawi yaitu Ibn Umar

dan Umar ibn Khatab ra. Bahkan Ibn Umar meriwayatkan dari

Umar Ibn Khatab sehingga kedudukan hadis menjadi sangat

lemah yaitu Hadis ahad (Hadis yang diriwayatkan dari satu

rawi). Selain keduanya, tidak ada dari kelompok sahabat

yang meriwayatkan hadis tersebut. Jika seandainya hadis

tersebut dari Rasulullah saww, maka sahabat yang lain

akan meriwayatkannya. Sebaliknya para sahabat tidak ada

yang menguatkan hadis ini, bahkan melemahkannya seperti

hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah ra.

Fatwa-Fatwa Ulama Ahlusunah Berkenaan dengan Menangisi

Mayit

Ahli fikih dari Ahlusunah berpendapat bahwa menangisi

mayit apabila tanpa ratapan diperbolehkan (Mubah) namun

jika menangis dengan ratapan mereka berbeda pendapat.

Mazhab Syafii dan Hambali memperbolehkan menangis dengan

ratapan namun mazhab Maliki dan Hanafi mereka beranggapan

menangis dengan ratapan adalah haram.

Abdurahman Jaziri berkata:

قال عبدالرحمان جزیرى: «یحرم البکاء على المیت برفع الصوت و الصیاح عند المالکیه والحنفیه، و قال الشافعیه و الحنابله انه مباح اما هطل

الدموع بدون صیاح فانه مباح باتفاق» (جزیری/400

“Menangis dengan ratapan dan teriakan di dalam pandangan

mazhab Maliki dan Hanafi adalah haram, namun mazhab

Syafii dan Hambali membolehkan. Adapun menangis tanpa

ratapan dan teriakan seluruh ulama sepakat membolehkan

hal tersebut.”

Abdurahman Jaziri menambahkan bahwa seluruh mazhab

Ahlusunah sepakat, apabila menangis dengan cara yang

tidak normal seperti menjambak-jambak rambut, merobek

baju atau berteriak histeris, maka hal tersebut adalah

haram. Sebagaimana yang diriwayatkan dalam Shahih Bukhari

dan Muslim. Tapi walaupun demikian, tangisan kerabat

mayit bukanlah merupakan sebab siksa atau azab bagi

mayit, kecuali jika sebelum wafat, mayit tidak berwasiat

dimana wasiat merupakan hal wajib dalam syariat. Ketika

kerabat menangis karena mayit tidak berwasiat sebelum

wafat, maka dia akan disiksa. Jadi siksaan bukan

dikarenakan tangisan, melainkan karena meninggalkan

wasiat.[8]

Penjelasan Ayat Alquran yang Bertentangan dengan Hadis

Jika kita kembali kepada Alquran, maka kita akan dapati

ayat ayat yang bertentangan dengan hadis yang

diriwayatkan oleh Umar ibn Khatab.

 1.   Allah swt berfirman:

لَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى[9]

Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang

lain

Jelas sekali riwayat terdahulu bertentangan dengan ayat

diatas, terlebih bahwa ayat tersebut diulang ulang

sebanyak lima kali dalam Alquran. Karena jika kita

meyakini bisa memikulkan dosa kita kepada orang lain,

maka itu bertentangan dengan keadilan Allah swt dan

rahmat rahimNya.

2.    Allah swt berfirman:

وَأَنْ لَيسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَي[10]

dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain

apa yang telah diusahakannya.

Allah swt akan memberikan pahala ataupun siksa dengan apa

yang diusahakan oleh manusia itu sendiri. Maka pahala

ataupun siksa berkaitan dengan personal masing-masing dan

tidak ada kaitannya dengan orang lain.

3.    Allah swt berfirman:

كُلُّ نَفْسٍ بِما كَسَبَت رهينة[11]

Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah

diperbuatnya

Ayat ini dengan jelas menerangkan bahwa segala perbuatan,

kitalah yang akan mempertanggung jawabkannya kelak

dihadapan Tuhan. Ataupun ayat-ayat lain yang bernada sama

seperti ayat-ayat diatas seperti, Thur:21, Ghafir:17,

Jastiyah:22. Atau kita melihat dalam surat Zilzal ayat:7

-8 bahwa amal perbuatan baik atau buruk sekecil apapun,

akan ada pembalasannya di hari Kiamat kelak.

Pelaku Dosa yang Menanggung Segala Perbuatannya

Seseorang yang melakukan dosa, dialah yang menanggung

akibatnya dan orang lain tidak ada sangkut pautnya dengan

siksa pelaku dosa tersebut.

Allah swt berfirman:

أَمْ لَمْ يُنَبَّأْ بِما في‏ صُحُفِ مُوسى وَ إِبْراهيمَ الَّذي وَفَّى أَلاَّ تَزِرُ وازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرى

“Ataukah belum diberitakan kepadanya apa yang ada dalam

lembaran-lembaran Musa dan Ibrahim yang selalu

menyempurnakan janji, bahwa seorang yang berdosa tidak

akan memikul dosa orang lain?”[12]

Ayat ini secara gamblang menjelaskan kepada kita bahwa

sebelum Rasulullah saww diutus menjadi Nabi, hukum

pendosa dialah yang memikul dosanya bukan orang lain.

Sunnah Allah ini ada jauh sebelum Syariat Islam

diturunkan yaitu pada zaman nabi-nabi sebelumnya. Dan

kita ketahui bahwa sunnah Allah swt tidak akan pernah

berubah.

Allah swt berfirman:

وَ لَنْ تَجِدَ لِسُنَّةِ اللَّهِ تَبْديلاً

“Dan kalian tidak pernah menemukan perubahan terhadap

sunnah Allah swt.”[13]

Sunah Nabi Terkait Menangisi Mayit

Selain dalil Al-Quran, kita juga akan dapati dalil dari

sunah Nabi Muhammad saww terkait menangisi mayit.

Sunah Nabi membolehkan bagi sanak kerabat untuk menangisi

orang yang ditinggal pergi ke haribaan Tuhannya. Bahkan

Nabi saww menekankan para sahabatnya untuk menangisi

orang-orang yang gugur di jalan Islam.

 1.   Tangisan Nabi saww untuk Najasyi

Imam Ali as meriwayatkan, ”Ketika Jibril turun memberi

kabar kepada Nabi saww atas wafatnya najasyi, beliau

menagis tersedu-sedu”.[14]

2.    Tangisan Nabi terhadap Putranya Ibrahim

Aisyah ra meriwayatkan, ”Ketika putra Rasulullah saww

Ibrahim wafat, seketika Rasulullah menangis hingga air

mata membasahi wajahnya. Setelah itu para sahabat

bertanya kepada Rasulullah saww, wahai Rasulullah saww

bukankah Anda melarang untuk menangis? lalu kenapa Anda

menangis tersedu-sedu? Rasulullah saww bersabda, ini

bukanlah tangisan melainkan rahmat dan kasih sayang. Lalu

beliau melanjutkan, “Barang siapa yang tidak berbelas

kasih kepada orang lain, maka orang lain tidak akan

berbelas kasih padanya.”[15]

3.    Tangisan Rasulullah saww dan Sahabat untuk Syuhada

Uhud khususnya Sayyidina Hamzah

Menukil hadis dari beberapa sumber Ahlusunah bahwa,

“Setelah berakhirnya perang Uhud, kaum muslimin kembali

ke Madinah. Kaum wanita yang ditinggal syahid sanak

kerabatnya mulai menangisi mereka satu persatu. Kabar

kaum wanita baik dari Muhajirin maupun Anshar menangisi

para syuhada terdengar oleh Rasulullah saww. Kemudian

beliau menangis seraya berkata, ”Oh..mereka menangisi

sanak kerabatnya sedangkan tak satupun dari mereka

menangisi pamanku Hamzah oh..pamanku yang malang

oh..pamanku yang malang. Ketika kabar ini terdengar oleh

para wanita Madinah, merekapun mulai menangisi paman Nabi

saww Hamzah setelah itu menangisi sanak kerabatnya.”[16]

4.    Tangisan Rasulullah saww untuk Bundanya Sayyidah

Aminah as

Dalam sejarah Islam baik dalam literatur Sunnah maupun

Syiah adalah hal yang tidak bisa dipungkiri bahwa setiap

saat, Rasulullah saww berziarah ke pemakaman Bunda Aminah

dan beliau selalu menangis untuk ibunya.[17]

5.    Saran Rasulullah saww untuk Menagisi Sayyid Ja’far

ibn Abi Thalib Al-Thayyar

Mashur dikalangan Ahlusunah kisah syahidnya Ja’far ibn

Abi Thalib ditangisi oleh Rasulullah saww dan beliau

memperintahkan orang untuk menangisi orang-orang seperti

Ja’far al-Thayyar.

Diriwayatkan, ”Ketika kabar syahidnya Ja’far ibn Abi

Thalib terdengar ke telinga suci Rasulullah, seketika itu

Rasulullah dan Sayyidah Fatimah menangis tersedu-sedu

seraya berkata, “Untuk orang-orang seperti Ja’far ibn Abi

Thalib maka selayaknya mata untuk menangisinya.”[18]

Pandangan Sahabat Nabi Terkait Menangisi Mayit

Selain Umar ibn Khatab dan anaknya semua sahabat

memandang bahwa menangisi mayit adalah hal positif. Ada

beberapa saksi hadis dan sejarah berkenaan dengan

pandangan para sahabat terkait menangisi mayit.

Pandangan Aisyah dan Ibn Abbas

Aisyah dan Ibn Abbas menceritakan bahwa pada zaman

Khalifah Umar ibn Khatab tidak ada satupun yang berani

untuk mengutarakan pandangan mereka tentang menangisi

mayit. Dari semua sahabat yang ada hanya Khalifah Pertama

yang pernah menjawab pandangan Umar ibn Khatab tentang

siksaan dan azab mayit karena ditangisi sanak kerabatnya,

lalu Umar menerima dalil argumentasi Khalifah pertama.

[19] Ketika Abu Bakar Khalifah pertama meninggal, Umar

melarang orang untuk menangisinya. Kemudian Aisyah

menentang Umar ibn Khatab terkait kenapa tidak boleh

menangisi ayahnya, lalu Umar mengancam akan menindak

dengan kekerasan apabila ada yang berani menangisi mayit

dari sanak keluarganya. Namun setelah Umar ibn Khatab

wafat barulah para sahabat memperlihatkan pandangan-

pandangan mereka terkait menangisi mayit tidak

menyebabkan azab dan siksa untuk mayit, diantaranya ialah

Aisyah dan Ibn Abbas.

Dinukil dari sebuah riwayat, ketika Umar ibn Khatab

wafat, Ibn Abbas berkata kepada Aisyah sesungguhnya Umar

telah wafat maka Aisyah Berkata,

“ Semoga Allah merahmati Umar, Demi Allah Rasulullah saww

tidak pernah mengatakan hal seperti itu (menangisi mayit

merupakan sebab mayit disiksa). Namun Rasulullah saww

bersabda: “Sesungguhnya seorang kafir akan disiksa

didalam kubur, ketika sanak kerabatnya menangis maka

siksaan dan azab kubur ditambahkan kepadanya. Kemudian

Aisyah menambahkan,” Cukup untuk kalian firman Allah swt

bahwa seseorang tidak memikul dosa orang lain.”[20]

Jika kita melihat riwayat dari Aisyah dan Ibn Abbas, kita

bisa mengambil kesimpulan bahwa merekapun tidak menerima

hadis yang dibawakan oleh Umar, bahkan menolaknya.

Pandangan Abu Hurairah

Abu Hurairah meriwayatkan,

“Telah wafat seseorang dari Bani Hasyim, kemudian wanita

dari mereka berkumpul dengan menangis tersedu sedu. Lalu

Umar ibn Khatab datang dan melarang mereka untuk

menangis. Rasulullah saww melihat kejadian itu langsung

berkata kepada Umar, wahai Umar, biarkan mereka menangis!

karena Allah menciptakan mata untuk menangis dan jiwa

(ketika terkena musibah) untuk bersedih. Sesungguhnya

janji Allah swt itu adalah pasti (Kematian-Kiamat)”[21]

Menangis Untuk Al-Husein

Menukil hadis dari Rasulullah saww bahwa seluruh kaum

mukminin akan terus menangis untuk Al-Husein as sampai

hari kiamat.

Rasulullah saww bersabda,

“Rasulullah saww menatap Al-Husein lalu membawanya dan

mendudukannya dihadapan beliau seraya berkata,

Sesungguhnya terbunuhnya Al-Husein akan selalu menjadi

bara api didalam jiwa kaum mu’minin dan tidak akan pernah

padam sampai hari kiamat. Sesungguhnya air mata akan

terus mengalir. Kemudian ada sahabat yang bertanya, “Apa

maksud dari air mata akan terus mengalir? lalu beliau

menjawab, “Tidaklah seorang mu’min mengenang tragedi

syahidnya Al-Husein kecuali mereka akan menangis.”[22]

Dan banyak lagi hadis lainnya yang berkenaan dengan

anjuran menangisi Al-Husein as. Salah satu hadis tekenal

ketika datang bulan Muharram dari para ahli mimbar ialah

: ”Barang siapa yang menangis, atau berpura pura

menangis, atau membuat orang menangis untuk Al-Husein as,

maka baginya Surga.”

Untuk itu kita bisa simpulkan bahwa secara fitrah

manusia, menangis adalah hal yang normal. Bahkan bayi

ketika datang ke dunia harus menangis karena berpisahnya

dia dengan alam sebelumnya. Perpisahan dari satu alam ke

alam yang lain pasti membuat para musafir alam ini

menangis. Innalillah wa Innailaihi rajiun.

 

CATATAN :

[1]QS: Al-An’am Ayat: 164

[2] Al-an’am:164, Al-Isra:15, Fathir: 18, AL-Zumar: 18,

Al-Najm:38

[3] Farahidi, Juz.5 hal.418

[4] Tharihi, juz.1 hal.59

[5]Raghib Isfahani hal.141

[6] Shahih Muslim juz.3 hal.41

[7] Shahih Bukhari, Juz.5 hal.9, Muslim dalam Shahihnya,

Juz.3 hal.44

[8] Al-jaziri hal.400

[9] Al-an’am:164, Al-Isra:15, Fathir: 18, AL-Zumar: 18,

Al-Najm:38

[10] Al-najm:39

[11] Mudastir:38

[12] Al-najm:36-37-38

[13] Al-Ahzab:62, Fathir:43, Fath:23

[14] Ibn Babawaih: juz.1 /279

[15] Shahih Bukhari, Juz.2 hal.80, Musnad Ahmad, juz.5

hal.204 Ibn hajar, juz.13 hal.303

[16] Musnad Ahmad ibn Hanbal, juz.2 hal.84, Ibn Hajar

juz.3 hal.129, Ibn Sa’ad juz.2 hal.44, Muttaqi al-Hindi

dalam Kanzul Ummal juz.1 hal.374

[17] Shahih Muslim, juz.3 hal.65, Hakim Naisyaburi juz.1

hal.374, Baihaqi juz.4 hal.70, Ibn Asakir, juz. 35 hal.

385

[18] Ibn Astir, Juz.1 hal.289, Baladzuri hal.43, Ya’qubi

hal.65-66

[19] Tafsir suyuthi ketika menafsirkan surat al-Imran

ayat.144 juz.2 hal.81, Tsa’labi juz.3 hal.187

[20] Shahih Muslim, Juz.3 hal.43-44, Ibn Hajar al-

Asqalani didalam talkhis al-Khabir, Juz.5 hal.272

[21] Ahmad ibn Hanbal, Juz.2 hal.444, Nasai Juz.2 hal.19,

Baihaqi, juz.4 hal.70, Ibn Hazm, juz.5 hal.16

[22] Al-Nuri, Juz.1 hal.318