Kesaksian “Ali Waliyullah” dalam adzan Syiah bukan   bid’ah
  • Judul: Kesaksian “Ali Waliyullah” dalam adzan Syiah bukan bid’ah
  • sang penulis:
  • Sumber: hauzah maya
  • Tanggal Rilis: 23:5:52 1-9-1403

Tidak ada yang meragukan bahwa syahadat ketiga dalam

adzan-adzan yang dikumandangkan orang-orang Syiah,

yakni “Aku bersaksi bahwa Ali wali Allah” memang di

jaman nabi tidak ada, lambat laun syahadat tersebut

ditambahkan kedalam adzan.

Detilnya tidak diketahui kapan syahadat ketiga itu

ditambahkan dalam adzan orang-orang Syiah. Dalam

sumber-sumber riwayat dan hadis Syiah pun tidak

ditemukan adanya anjuran dari para Imam-Imam Syiah

sendiri akan dikumandangkannya syahadat tersebut dalam

adzan. Namun meski demikian perlu diketahui bahwa hal

itu tidak termasuk bid’ah. Penjelasannya begini:

Dari jaman dahulu kala hingga saat ini juga, tidak ada

satu pun para marja’ (dan juga ulama) yang menganggap

syahadat tersebut sebagai bagian dari adzan. Malah

menurut mereka mengucapkan syahadat tersebut dengan

harapan pahala dan taqarrub tidak masalah.[1] Hal itu

sama halnya dengan mengucapkan kata “Jalla Jalaluhu”

(Betapa megah keagungan-Nya) setelah mengucap kata

Allah, dan juga “Shalallahu alaihi wa alihi wa sallam”

(Semoga Allah mencurahkan shalawat-Nya kepadanya dan

keluarganya) usai mengucap nama Muhammad, yang

terkadang diucapkan saat adzan, yang mana hal itu tidak

termasuk bid’ah.

Jelas menambahkan perkara mustahab (tidak wajib) dalam

adzan dan iqamah bukanlah bid’ah. Karena sesuatu bisa

disebut bid’ah ketika seseorang menambahkan “sesuatu”

yang bukan dari agama, juga tidak ada alasan dan

dalilnya, ke dalam agama dan menganggapnya bagian dari

agama. Menurut para pakar bahasa, bid’ah adalah:

“Menambahkan sesuatu yang baru, yang tidak ada akarnya

(dasarnya) dalam Al-Qur’an dan Sunnah.”[2] Sebagai

contoh, sesuatu yang bukan perkara wajib atau mustahab

(sunah) dalam Al-Qur’an dan Sunnah, dilakukan dengan

anggapan hal itu wajib atau sunah.

Dengan penjelasan yang lain lagi, bid’ah adalah suatu

bentuk ikut campur dalam agama dengan cara menambahkan

dan mengurangi syari’at. Perkara kesaksian bahwa Ali as

adalah wali Allah, hal itu diucapkan dalam adzan bukan

sebagai bagian dari adzan. Inti dari kesaksian terhadap

ke-wali-an Ali as pun adalah hal yang jelas-jelas

merupakan ajaran Rasulullah saw, beliau dan para Imam

menekankannya.

Bahkan Anda pasti heran jika melihat riwayat yang

dinukil oleh Ahlu Sunnah sendiri:

Disebutkan oleh Abdullah Muraghi Mishri, salah seorang

ulama Ahlu Sunnah, dalam sebuah kitab yang berjudul

“Al-Salaf fi Amril Khilaf”, dinukilkan: Seseorang tiba

mendatangi Rasulullah saw dan bertanya, “Ya Rasulullah,

aku mendengar sesuatu yang sebelumnya belum aku

dengar.” Rasulullah saw bertanya, “Apa yang kau

dengar?” Ia menjawab, “Salman Al-Farisi dalam adzannya

setelah bersaksi akan risalahmu dia bersaksi bahwa Ali

as wali Allah swt.” Kemudian nabi mengatakan, “Engkau

mendengar hal yang baik.” Di kitab tersebut juga ada

riwayat-riwayat lain serupa.[3]

Kesimpulannya, perihal bersaksi bahwa Ali as adalah

wali Allah, hal itu secara khusus merupakan hal yang

terpuji. Diriwayatkan dari Imam Shadiq as, beliau

berkata: “Saat kalian mengucapkan ‘aku bersaksi tiada

Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah’, maka

hendaknya ia juga mengucap ‘aku juga bersaksi bahwa Ali

as Amirul Mu’minin wali Allah’.”

Kesimpulan

Jadi, pertama, kesaksian bahwa Ali as bukanlah hal yang

batil, karena merupakan ajaran Islam secara umum dan

akidah Ahlul Bait as secara khusus; kedua, kesasian

tersebut diucapkan di sela-sela adzan bukanlah sebagi

bagian dari adzan. Dengan demikian hal itu tidak bisa

disebut dengan bid’ah. Coba Anda bandingkan dengan

kasus khalifah ke-2 memerintahkan umat Islam untuk

shalat sunah di malam bulan Ramadhan secara berjama’ah,

kemudian hal itu menjadi tradisi Islam. Padahal dalam

Islam sama sekali tidak ada syari’at shalat berjama’ah

untuk shalat sunah.

Jelas tidak bisa dibandingkan, hal yang kedua ini

merupakan ikut campur dalam urusan agama dengan

menambahkan “shalat jamaah dalam shalat sunah” yang

mana hal itu tidak diajarkan, yang hingga saat ini pun

shalat Terawih sudah dijadikan bagian dari agama oleh

kebanyakan saudara-saudar Ahlu Sunah. Sedang perkara

kesaksian bahwa Ali as wali Allah swt, Syiah secara

tegas tidak menganggapnya bagian adzan.

CATATAN :

[1] Bani Hasyemi, Sayid Muhammad Hasan, Tawdhih Masail

Maraji’, Daftar e Entesharat e Eslami, Qom, 1386, jil.

1, hal. 519.

[2] Majma’ul Bahrain, Thuraihi Fakhruddin, kata Bid’ah.

[3] Silahkan rujuk: Mar’asyi, Isma’il, Tahqiq Piramun e

Ahamiyat e Adzan va Eqame va Sevomin e Shahadat, cet.

Masjid Jamkaran, 1386 HS. Rujuk pula: Thabrasi, Ahmad

bin Ali, Al-Ihtijaj Ala Ahlil Lijaj, cet. Murtadha,

Mashhad, 1403, jil. 1, hal. 158.