Salah satu kritikan yang diutarakan kepada orang-orang
Syiah di bulan Ramadhan adalah, mengapa orang Syiah tidak
melakukan shalat terawih? Padahal madzhab-madzhab lainnya
sangat menekankan shalat Terawih sedangkan Syiah tidak
melaksanakan sunah tersebut? Aneh sekali!
Bagaimana sih shalat Terawih itu?
Pada hakikatnya, Terawih atau Tarawih adalah bentuk jamak
(plural)-nya kata Tarwihah, yang artinya adalah duduk
beristirahat usai melaksanakan empat rakaat dari shalat-
shalat mustahab di bulan Ramadhan.
Ahlu Sunnah mengerjakan shalat Terawih secara berjamaah,
padahal shalat itu sunah (tidak wajib). Pada dasarnya,
memang shalat-shalat sunah di bulan Ramadhan, selain
shalat nafilah malam, disunahkan untuk menambahkan 20
rakaat shalat sunah di 20 malam pertama dan 30 rakaat
shalat sunah di 10 malam terakhir; semua madzhab sepakat
dengan adanya shalat-shalat sunah itu, namun mengerjakan
shalat-shalat tersebut secara berjamaah-lah yang
bermasalah.
Syiah Imamiyah menganggap dilaksanakan ibadah tersebut
dengan cara demikian sebagai amalan di luar syariat,
bahkan bid’ah yang diciptakan oleh sebagian sahabat.
Bahkan dikenalnya Rasulullah saw tidak melaksanakan
shalat sunah seperti itu di masjid.
Abdullah bin Sa’ad bertanya pada Rasulullah saw: “Manakah
yang lebih baik, melaksanakan shalat sunah di masjid atau
di rumah?” Beliau menjawab: “Tidakkah engkau melihat
betapa dekat rumahku dengan masjid? Namun meski demikian
aku lebih suka mengerjakan shalat-shalatku di rumah,
kecuali shalat wajib.”[1]
Beliau juga bersabda: “Hendaknya kalian shalat di rumah-
rumah kalian; karena sebaik-baiknya shalat adalah shalat
yang dilaksanakan di rumah kecuali shalat-shalat
wajib.”[2]
Shalat Terawih bukan sunah Nabi
Disebutkan dalam sebuah riwayat di Shahih Bukhari secara
jelas bahwa melaksanakan shalat sunah di malam bulan
Ramadhan secara berjamaah adalah bid’ah khalifah kedua.
Diriwayatkan dari Ibnu Shahab dan dia menukil dari
Abdurrahman bin Abdul Qari: “Di salah satu malam-malam
bulan Ramadhan pergi ke masjid bersama Umar bin Khattab.
Aku melihat orang-orang bersebaran, sebagian orang shalat
sendiri-sendiri dan sebagian lain bersama kelompoknya
masing-masing. Kemudian Umar bin Khattab berkata:
“Menurutku alangkah baiknya jika mereka shalat di
belakang satu imam.” Lalu ia memerintahkan Ubai bin Ka’ab
untuk menjadi imam shalat. Di malam berikutnya aku datang
ke masjid lagi bersamanya dan kami melihat orang-orang
melakukan shalat sunah bulan Ramadhan secara berjamaah.
Umar bin Khattab berkata dengan bahagia: “Betapa bid’ah
yang baik.”[3]
Ibnu Abdul Barr dalam Al-Isti’ab berkata: “Dialah (Umar
bin Khattab) yang membuat bulan Ramadhan bercahaya dengan
adanya shalat sunah berjama’ah.”[4]
Pendapat Ahlul Bait as tentang shalat Terawih
Imam Shadiq as berkata: “Melaksanakan shalat Terawih
secara berjamaah tidak diperbolehkan.”[5]
Dalam riwayat lain disebutkan: Ketika Imam Ali as berada
di Kufah, orang-orang mendatangi beliau dan memintanya
untuk menjadi imam shalat Terawih berjamaah. Imam Ali as
menolak permintaan mereka dan mencegah mereka mengerjakan
shalat tersebut secara berjama’ah.[6]
Sulaim bin Qais juga pernah menukil dari Imam Ali as,
bahwa beliau berkata: “Sumpah demi Tuhan! Aku telah
memerintahkan semua orang untuk tidak melaksanakan shalat
berjama’ah kecuali untuk shalat wajib dan aku katakan
kepada mereka bahwa melakukan shalat nafilah berjama’ah
adalah bid’ah. Kemudian sebagian dari prajuritku
berteriak kesal: ‘Duhai penghuni agama Islam! Sunah Umar
telah dirubah! Ia mencegah kita melakukan shalat sunah di
bulan Ramadhan!’ Sampai aku khawatir saat itu terjadi
pertikaian di antara prajurit-prajuritku.”[7]
Ibadah malam-malam Ramadhan menurut Ahlul Bait as
Syaikh Thusi meriwayatkan dari Mas’adah bin Shadaqah dari
Imam Shadiq as, bahwa Imam berkata: “Cara Rasulullah saw
di malam Ramadhan (dalam beribadah) adalah sebagai
berikut: Beliau menambahkan jumlah rakaat shalat-shalat
nafilah (shalat sunah usai shalat) usai Maghrib dan
Isya’. Di 20 malam pertama Ramadhan 20 rakaat, yakni 8
rakaat usai Maghrib dan 12 rakaat usai Isya’. Kemudian di
sepuluh malam terakhir beliau melaksanakan 30 rakaat
shalat sunah, yakni 12 raka’at usai Maghrib dan 18
raka’at usai shalat Isya’. Beliau juga banyak berdoa dan
bertahajud. Di malam 21 beliau juga melaksanakan shalat
sunah 100 raka’at dan begitu juga di malam 23 menunaikan
shalat sunah 100 raka’at. Beliau selalu menghidupkan
malam-malam (tidak tidur karena beribadah).”[8]
CATATAN :
[1] Musnad Ahmad, jil. 4, hal. 342.
[2] Ibid, jil. 5, hal. 184.
[3] Shahih Bukhari, jil. 2, hal. 308, bab Kitab Shalat
Tarawih, h. 2010.
[4] Al-Isti’ab, jil. 3, hal. 1145.
[5] Biharul Anwar, jil. 10, hal. 363.
[6] Wasailus Syi’ah, jil. 8, hal. 47, h. 10066.
[7] Ibid, hal. 46, 10065.
[8] Al-Tadzhib, jil. 3, hal. 62, Al-Istibshar, jil. 1,
hal. 462, h. 1791, Wasailus Syi’ah, jil. 8, hal. 29, h.
2.