Shalat Terawih Syi’ah
  • Judul: Shalat Terawih Syi’ah
  • sang penulis:
  • Sumber: HAUZAH MAYA
  • Tanggal Rilis: 22:59:0 1-9-1403

Salah satu kritikan yang diutarakan kepada orang-orang

Syiah di bulan Ramadhan adalah, mengapa orang Syiah tidak

melakukan shalat terawih? Padahal madzhab-madzhab lainnya

sangat menekankan shalat Terawih sedangkan Syiah tidak

melaksanakan sunah tersebut? Aneh sekali!

Bagaimana sih shalat Terawih itu?

Pada hakikatnya, Terawih atau Tarawih adalah bentuk jamak

(plural)-nya kata Tarwihah, yang artinya adalah duduk

beristirahat usai melaksanakan empat rakaat dari shalat-

shalat mustahab di bulan Ramadhan.

Ahlu Sunnah mengerjakan shalat Terawih secara berjamaah,

padahal shalat itu sunah (tidak wajib). Pada dasarnya,

memang shalat-shalat sunah di bulan Ramadhan, selain

shalat nafilah malam, disunahkan untuk menambahkan 20

rakaat shalat sunah di 20 malam pertama dan 30 rakaat

shalat sunah di 10 malam terakhir; semua madzhab sepakat

dengan adanya shalat-shalat sunah itu, namun mengerjakan

shalat-shalat tersebut secara berjamaah-lah yang

bermasalah.

Syiah Imamiyah menganggap dilaksanakan ibadah tersebut

dengan cara demikian sebagai amalan di luar syariat,

bahkan bid’ah yang diciptakan oleh sebagian sahabat.

Bahkan dikenalnya Rasulullah saw tidak melaksanakan

shalat sunah seperti itu di masjid.

Abdullah bin Sa’ad bertanya pada Rasulullah saw: “Manakah

yang lebih baik, melaksanakan shalat sunah di masjid atau

di rumah?” Beliau menjawab: “Tidakkah engkau melihat

betapa dekat rumahku dengan masjid? Namun meski demikian

aku lebih suka mengerjakan shalat-shalatku di rumah,

kecuali shalat wajib.”[1]

Beliau juga bersabda: “Hendaknya kalian shalat di rumah-

rumah kalian; karena sebaik-baiknya shalat adalah shalat

yang dilaksanakan di rumah kecuali shalat-shalat

wajib.”[2]

Shalat Terawih bukan sunah Nabi

Disebutkan dalam sebuah riwayat di Shahih Bukhari secara

jelas bahwa melaksanakan shalat sunah di malam bulan

Ramadhan secara berjamaah adalah bid’ah khalifah kedua.

Diriwayatkan dari Ibnu Shahab dan dia menukil dari

Abdurrahman bin Abdul Qari: “Di salah satu malam-malam

bulan Ramadhan pergi ke masjid bersama Umar bin Khattab.

Aku melihat orang-orang bersebaran, sebagian orang shalat

sendiri-sendiri dan sebagian lain bersama kelompoknya

masing-masing. Kemudian Umar bin Khattab berkata:

“Menurutku alangkah baiknya jika mereka shalat di

belakang satu imam.” Lalu ia memerintahkan Ubai bin Ka’ab

untuk menjadi imam shalat. Di malam berikutnya aku datang

ke masjid lagi bersamanya dan kami melihat orang-orang

melakukan shalat sunah bulan Ramadhan secara berjamaah.

Umar bin Khattab berkata dengan bahagia: “Betapa bid’ah

yang baik.”[3]

Ibnu Abdul Barr dalam Al-Isti’ab berkata: “Dialah (Umar

bin Khattab) yang membuat bulan Ramadhan bercahaya dengan

adanya shalat sunah berjama’ah.”[4]

Pendapat Ahlul Bait as tentang shalat Terawih

Imam Shadiq as berkata: “Melaksanakan shalat Terawih

secara berjamaah tidak diperbolehkan.”[5]

Dalam riwayat lain disebutkan: Ketika Imam Ali as berada

di Kufah, orang-orang mendatangi beliau dan memintanya

untuk menjadi imam shalat Terawih berjamaah. Imam Ali as

menolak permintaan mereka dan mencegah mereka mengerjakan

shalat tersebut secara berjama’ah.[6]

Sulaim bin Qais juga pernah menukil dari Imam Ali as,

bahwa beliau berkata: “Sumpah demi Tuhan! Aku telah

memerintahkan semua orang untuk tidak melaksanakan shalat

berjama’ah kecuali untuk shalat wajib dan aku katakan

kepada mereka bahwa melakukan shalat nafilah berjama’ah

adalah bid’ah. Kemudian sebagian dari prajuritku

berteriak kesal: ‘Duhai penghuni agama Islam! Sunah Umar

telah dirubah! Ia mencegah kita melakukan shalat sunah di

bulan Ramadhan!’ Sampai aku khawatir saat itu terjadi

pertikaian di antara prajurit-prajuritku.”[7]

Ibadah malam-malam Ramadhan menurut Ahlul Bait as

Syaikh Thusi meriwayatkan dari Mas’adah bin Shadaqah dari

Imam Shadiq as, bahwa Imam berkata: “Cara Rasulullah saw

di malam Ramadhan (dalam beribadah) adalah sebagai

berikut: Beliau menambahkan jumlah rakaat shalat-shalat

nafilah (shalat sunah usai shalat) usai Maghrib dan

Isya’. Di 20 malam pertama Ramadhan 20 rakaat, yakni 8

rakaat usai Maghrib dan 12 rakaat usai Isya’. Kemudian di

sepuluh malam terakhir beliau melaksanakan 30 rakaat

shalat sunah,  yakni 12 raka’at usai Maghrib dan 18

raka’at usai shalat Isya’. Beliau juga banyak berdoa dan

bertahajud. Di malam 21 beliau juga melaksanakan shalat

sunah 100 raka’at dan begitu juga di malam 23 menunaikan

shalat sunah 100 raka’at. Beliau selalu menghidupkan

malam-malam (tidak tidur karena beribadah).”[8]

CATATAN :

[1] Musnad Ahmad, jil. 4, hal. 342.

[2] Ibid, jil. 5, hal. 184.

[3] Shahih Bukhari, jil. 2, hal. 308, bab Kitab Shalat

Tarawih, h. 2010.

[4] Al-Isti’ab, jil. 3, hal. 1145.

[5] Biharul Anwar, jil. 10, hal. 363.

[6] Wasailus Syi’ah, jil. 8, hal. 47, h. 10066.

[7] Ibid, hal. 46, 10065.

[8] Al-Tadzhib, jil. 3, hal. 62, Al-Istibshar, jil. 1,

hal. 462, h. 1791, Wasailus Syi’ah, jil. 8, hal. 29, h.

2.