Latar Sejarah Ijtihad dalam Madrasah Syiah
Oleh: A. Kamil
Dalam agama Islam, ijtihad merupakan salah satu tema penting dan memiliki latar belakang historis. Ibnu Sina dalam kitab Syifa menegaskan bahwa “Pelbagai kebutuhan yang diperlukan oleh umat manusia tidak terbatas. Asas Islam (baca: ushuluddin) bersifat tetap dan tidak berubah. Dan tidak hanya tidak berubah namun ia merupakan realitas-realitas yang harus menjadi dasar dan asas bagi kehidupan umat manusia. Namun yang bertalian dengan cabang (furu’uddin), tidak demikian. Hal-hal yang berkenaan dengan masalah cabang agama tidak berujung. Menurut Ibnu Sina, atas alasan inilah ijtihad merupakan sebuah perkara yang mesti dan harus ada di setiap zaman. Ijtihad, menyitir Iqbal, adalah kekuatan penggerak Islam. Dengan ijtihad roda kendaraan Islam akan senantiasa bergulir. Persoalan-persoalan kekinian yang dihadapi oleh umat manusia dapat ditelusuri jawabannya dari produk-produk ijtihad yang dihasilkan oleh para juris.
Dengan bermodalkan al-Qur’an, Sunnah, Ijma dan Akal, para mujtahid senantiasa berupaya untuk memecahkan pelbagai persoalan yang dihadapi umat manusia pada setiap masanya. Pada masa Rasulullah Saw, orang-orang memiliki jalur dan akses kepada Rasulullah dan menyelesaikan persoalan mereka. Demikian juga pada masa para Imam Maksum As. Pada masa hidup para Imam Maksum, sebagian orang yang memiliki potensi dan kapasitas intelektual yang memadai, menimba pengetahuan dan kaidah-kaidah umum sedemikian sehingga misalnya Imam Shadiq As bersabda, ‘alaina ilqâu al-ushûl wa ‘alaikum al-tafri’ (Tugas kami mengajarkan kaidah-kaidah pokok dan bagi kalian mencabangkannya).
Berangkat dari sabda Imam Shadiq As, para sahabat dan murid-murid imam meramifikasi pelbagai kaidah umum yang mereka gali dari madrasah Imam Shadiq As untuk menjawab persoalan-persolan umat di masanya. Demikian seterusnya, hingga masa kiwari sekarang ini. Ratusan kaidah rasional ushul dan fikih telah lahir dan mengalami ramifikasi bertitik tolak dari sabda Imam Shadiq As ini. Bukan tempatnya di sini untuk membicarakan kaidah apa saja yang telah lahir tersebut. Stressing tulisan ini pada latar sejarah ijtihad secara selintasan yang membentang semenjak masa Rasulullah hingga masa para Imam Maksum As. Adapun persoalan ijtihad pasca Imam Maksum As, khususnya pada masa ghaibat kubra hingga terbentuknya secara institusional marja taklid, insya Allah, menyusul segera.
Ijtihad pada Masa Nabi Saw
Dalam perspektif Syiah, ijtihad mulai berkembang pada masa para Imam Maksum As di kalangan para sahabat mereka. Semangat dan praktik ijtihad tersebut telah memunculkan banyak perubahan dan kemajuan dalam Syiah. Syiah menerima ijtihad yang bermakna inferensi (istinbath) hukum-hukum syariat dari nash-nash, lahiriyah al-Qur’an dan Sunnah. Jenis ijtihad semacam ini telah menyebar semenjak masa Imam Maksum As di kalangan para sahabat para imam. Bahkan pada masa Rasulullah Saw sendiri ijtiihad telah dipraktikan oleh sebagian sahabat Rasulullah Saw. Misalnya Rasulullah Saw mengutus sebagian sahabat seperti Mush’ab bin Umair dan Muadz bin Jabal untuk pergi ke daerah-daerah sekitar melakukan dakwah dan mengajarkan hukum-hukum agama. Rasulullah Saw bersabda, “Hindarilah mengeluarkan fatwa tanpa ilmu yang dapat mengundang laknat para malaikat (ke atas kalian).”[1]
Juga terdapat sebuah hadis yang popular diriwayatkan di kalangan Ahlusunah yang diriwayatkan dari Muadz bin Jabal. Hadis ini terkadang dijadikan sandaran justifikasi penetapan hukum dengan menggunakan pendapat sendiri (ijtihad bi al-ra’y). Hadis ini diriwayatkan dalam kitab Musnad Ahmad bin Hanbal dan Sunan al Darimi. Redaksi hadis tersebut adalah sebagai berikut, "Sesungguhnya Rasulullah Saw mengutus Muadz ke Yaman, beliau bersabda, " Bagaimana Anda nanti memberikan keputusan? "
"Aku memberi keputusan dengan kitabullah.”
"Bagaimana kalau tidak ada dalam kitabullah?"
"Maka dengan sunnah Rasulullah Saw"
"Bagaimana kalau tidak ada dalam sunnah Rasulullah Saw?"
"Aku berusaha dengan pendapatku dan aku tidak akan menyerah."
Lalu Rasulullah Saw menepuk dadanya dan bersabda, "Segala puji bagi Allah yang telah membimbing utusan Rasulullah."
Sejarawan dan ahli hadis Syiah, menukil dari Ibnu Hazm, memandang hadis di atas sebagai hadis majhul. Di sini kita tidak akan membahasnya secara jeluk. Stressingnya pada sejarah ijtihad yang dilakukan sebagian sahabat pada masa Rasulullah Saw.
Ijtihad pada Masa Para Imam Maksum
Sekarang tiba gilirannya latar sejarah ijtihad pada masa para Imam Maksum As. Saya tidak habis pikir atas dasar apa, penulis Dari Literatur Syiah ke Marjaiyyah, menulis bahwa ijtihad telah usai pasca masa Imam Shadiq As. Sementara kaidah universal yang diajarkan olehnya tetap dilanjutkan oleh murid-muridnya dan dikawal oleh para imam pasca Imam Shadiq As.
Sebagaimana yang dibeberkan di atas mengindikasikan bahwa memberikan fatwa dari mufti dan juris (fakih) dan konsekuensinya taklid dan mengikuti fatwa tersebut dari sisi masyarakat juga telah mengemuka pada masa Rasulullah Saw. Merujuk kepada fakih pasca wafatnya Rasulullah Saw terus berlanjut sebagaimana sebelumnya hingga mencapai zaman keemasannya dan bersemi pada masa Imam Baqir As dan Imam Shadiq As.
Tidak terbilang juris yang digembleng dan dididik pada madrasah dua imam besar ini.[2] Mereka menyebar di kota-kota dengan maksud menghidupkan dan mengjarkan hukum-hukum agama. Banyak masyarakat yang dahaga akan pengetahuan-pengetahuan dan hukum-hukum Ilahi yang bermukim di tempat yang jauh dari para Imam Maksum mendatangi murid-murid dua imam besar itu dan bertanya tentang masalah-masalah yang dihadapi kepada mereka. Dengan perantara murid-murid ini masyarakat melepaskan dahaganya dari samudera ilmu para Imam Maksum As yang tidak terbatas. Inilah yang disebut seabgai taklid dan dilakukan oleh masyarakat ketika itu. Berikut ini beberapa contoh dari praktik taklid dan ijtihad yang dilakukan masyarakat pada masa para Imam Maksum As:
1. Imam Baqir As bersabda kepada Aban bin Taghlab: “Duduklah di masjid Madinah dan berikanlah fatwa untuk masyarakat. Karena aku suka orang-orang sepertimu di kalangan Syiahku.”[3]
2. Muadz bin Muslim, salah seorang sahabat Imam Shadiq As, tanpa mendapatkan izin dari imam memberikan fatwa di masjid Jami’. Tatkala berita ini sampai kepada Imam Shadiq As, beliau memotivasi dan menyokongnya."[4]
3. Syu’aib ‘Aqrqauqi berkata, “Saya berkata kepada Imam Shadiq As: “Terkadang kami ingin bertanya dan memecahkan masalah agama yang kami hadapi (dan kami tidak memiliki akses kepada Anda karena kejauhan atau [Anda] berada dalam kondisi taqiyyah..) Katakanlah kepada siapa kami harus merujuk dan menerima ucapannya? Imam Shadiq As menjawab, “’Alaikum bil Asadi ya’ni Aba Bashir” (Engkau dapat merujuk kepada Abu Bashir).[5]
4. Hasan bin Ali Yaqtin berkata, “Aku berkata kepada Imam Ridha As, “Saya tidak dapat bertanya kepada Anda (secara langsung) ketika berhadapan dengan setiap persoalan agama yang saya hadapi. Apakah Yunus bin Abdurrahman itu orang tsiqah (dapat dipercaya) dan jujur dan saya dapat menerima jawaban terhadap masalah-masalah agama yang saya hadapi? Imam Ridha As bersabda, “Iya.”[6]
5. Imam Mahdi Ajf dalam tauqi’-nya (surat yang ditandatangi) yang terkenal itu menulis kepada Ishaq bin Ya’qub, sebagai sebuah kaidah umum, seperti ini: “Dalam pelbagai peristiwa yang terjadi maka merujuklah kepada para perawi hadis kami (para juris) mereka adalah hujjahku bagi kalian dan aku adalah hujjah Tuhan bagi mereka.”[7]
Ijtihad dan Taklid
Berdasarkan tauqi’ Imam Mahdi ini dan beberapa riwayat lainnya menguatkan masalah merujuk kepada juris (fakih) pada masa ghaibat kubra dan memunculkan dua terma “ijtihad” dan “taklid.” Ihwal dua terma teknis ini secara ringkas dapat disebutkan bahwa yang dimaksud dengan ijtihad adalah usaha yang sungguh-sunguh yang dilakukan para juris untuk menginferensi hukum-hukum syariat dari sumber-sumbernya. Adapun taklid secara teknis, meminjam definisi Imam Khomeini dalam Tahrir Wasilah, bab taklid, bermakna beramal mengikut fatwa mujtahid (marja).” Sebagaimana sejarah ijtihad bermula itu sejarah taklid juga sama nasibnya. Artinya ketika ada ijtihad maka konsekuensi logisnya ada orang yang membutuhkan produk ijtihad tersebut yang dalam bahasa teknis fikihnya disebut sebagai taklid. Mungkin pada lain kesempatan kita akan menguliti dua makna teknis ini berikut sejarah marjaiyyah dan institusi marjaiyyah dalam Syiah.
Para juris dan mujtahid jâmi’ al-syarâit (memiliki pelbagai persyaratan) memikul tanggung jawab untuk menjawab dan mengeluarkan fatwa bagi setiap persoalan kekinian yang dihadapi masyarakat dan mengisi kekosongan serta memberikan solusi atas persoalan tiadanya akses langsung masyarakat kepada para Imam Maksum As. Persoalan ini hingga kini terus berlanjut dan demikian seterusnya. Sebagaimana Syaikh Thusi berkata, “Aku mendapatkan Syiah Imamiyah semenjak masa Imam Ali As hingga kini (abad kelima Hijriah) senantiasa mendatangi para juris mereka dan bertanya tentang hukum-hukum dan ibadah kepada mereka. Para fukaha tersebut memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut dan dengan fatwa para fukaha menunjukkan jalan kepada mereka.”[8]
Demikianlah, ijtihad memiliki bentangan sejarah yang panjang semenjak dulu pada masa Imam Maksum As hingga kini di pelbagai Hauzah Ilmiah Syiah. Sebelum itu, masyarakat bertanya langsung kepada para Imam Maksum As terkait dengan pelbagai persoalan yang mereka hadapi. Para Imam Maksum As dalam menjelaskan hukum-hukum syariat kepada masyarakat menjelankan fungsinya sebagai imam. Demikian juga menjelaskan kaidah-kaidah umum dan menjawab pertanyaan-pertanyaan para sahabat dan mengajarkan ihwal bagaimana melakukan istinbath hukum-hukum khusus dari kaidah umum kepada mereka.[9]
Taklid kepada Para Maksum
Mungkin terlontar pertanyaan bahwa mujtahid sebelum mencapai derajat mujtahid mereka bertaklid kepada siapa? Jawabnya adalah bahwa para mujtahid sebelum menggondol derajat ijtihad mereka bertaklid kepada para Imam Maksum As. Pada masa-masa setelah itu, orang-orang yang telah belajar dan memiliki potensi itu memberikan jawaban kepada masyarakat atas masalah-masalah syariat dengan memanfaatkan ucapan-ucapan dan riwayat-riwayat para Imam Maksum As.
Demikianlah model permulaan ijtihad yang kemudian mengalami perkembangan dan kemajuan. Dan pada sebuah tingkatan pada masa ghaibat, ulama dengan memanfaatkan riwayat yang melimpah dan menerapkan kaidah-kaidah yang mereka pelajari dari para Imam Maksum dalam berhadapan dengan hukum-hukum syariat. Karena seluruh masalah yang dibutuhkan telah terrefleksi dalam riwayat-riwayat para maksum. Pada tingkatan selanjutnya, seiring dengan kemajuan ilmu dan luasnya kebutuhan-kebutuhan yang belum dijelaskan dalam riwayat dan para mujtahid memberdayakan masalah-masalh tersebut dari hal-hal umum dan bersifat mutlak dari ayat-ayat dan riwayat-riwayat. Secara perlahan perkembangan ijtihad hari-demi-hari semakin pelik. Dewasa ini ruang lingkup ijtihad sangat luas dan menjuntai sedemikian sehingga menuntut kecapakan dan ilmu yang lebih luas para juris untuk memberikan jawaban atas setiap persoalan kekinian yang dihadapi masyarakat. []
[1]. Wasâil al-Syiah, jil. 27, bab 4 dan 7.
[2]. Sejarawan menulis Imam Shadiq memiliki empat ribu murid yang datang dari pelbagai penjuru negeri untuk menimba ilmu dari Imam Shadiq As. Silahkan lihat, Haidar Asad, al-Imâm al-Shâdiq wa Madzâhib al-Arba’ah, jil. 1, hal. 69.
[3]. Wasâil al-Syiah, jil. 17, bab 11.
«اجلس ف? مسجد المد?نة و افت الناس فان? احب ان ار? ف? ش?عت? مثلک»
[4]. Wasâil al-Syiah, jil. 27, hal. 148.
[5]. Wasâil al-Syiah, jil. 27, hal. 142.
«ربما احتجنا ان نسأل عن الش? فمن نسأل»
[6]. Ibid.
«لا اکاد اصل ال?ک اسألک عن کل ما احتاج ال?ه من معالم د?ن?. اف?ونس بن عبد الرحمان ثقة آخذ منه ما احتاج ال?ه من معالم د?ن? فقال نعم»
[7]. Ibid.
«... و اما الحوادث الواقعة فارجعوا ف?ها ال? رواة حد?ثنا فانهم حجت? عل?کم و انا حجة الله عل?هم»
[8]. Syaikh Thusi, al-Iddat fi Ushûl al-Fiqh, hal. 731. Pursesy-ha wa Pasukha-ye Danesyjuyan, hal-hal. 42,43, 44.
[9]. Misalnya lihat, Syaikh Thusi, al-Istibshâr, jil. 1, hal. 77-78.