Pasal VI - Hal-hal Yang Dapat Menyucikan
  • Judul: Pasal VI - Hal-hal Yang Dapat Menyucikan
  • sang penulis: Ayatullah Al Uzhma Sistani
  • Sumber:
  • Tanggal Rilis: 20:24:31 1-9-1403



Oleh: Ayatullah Al Uzhma Sistani
Masalah 149: Ada dua belas hal yang dapat menyucikan najis dan kedua belas hal itu dinamakan muthahhirat (hal-hal yang dapat menyucikan): (1) air, (2) bumi, (3) matahari, (4) istihalah (perubahan substansi), (5) inqilab (perubahan air anggur menjadi cuka), (6) perpindahan (intiqal), (7) Islam, (8) taba‘iyah (mengikuti), (9) hilangnya benda najis, (10) istibra’ yang dilakukan atas binatang pemakan najis, (11) gaibnya seorang Muslim, dan (12) keluarnya darah dari dalam tubuh binatang sembelihan. Hukum-hukum berkenaan dengan kedua belas hal tersebut akan dijelaskan pada pembahasan-pembahasan berikut ini.


(1) Air
Masalah 150: Dengan empat syarat, air dapat menyucikan barang yang najis:

Pertama, air itu harus mutlak. Oleh karena itu, air mudhaf, seperti air perasan bunga dan air semangka tidak dapat menyucikan barang yang najis.

Kedua, air itu harus suci.

Ketiga, ketika kita mencuci barang najis tersebut, air itu tidak menjadi air mudhaf. Di samping itu, pada kali cucian terakhir di mana setelah itu tidak perlu kita mencucinya lagi, bau, warna, atau rasanya tidak berubah karena benda najis itu. Dan pada selain kali cucian ini, perubahan ini tidak ada masalah. Misal, kita ingin mencuci sebuah barang yang najis dengan menggunakan air kur atau air sedikit. Di sini kita harus mencucinya sebanyak dua kali. Jika kita mencucinya dan air tersebut berubah pada kali pertama, tetapi pada kali kedua, kita mencucinya dengan air yang tidak berubah, maka barang tersebut menjadi suci.

Keempat, setelah kita mencucinya, benda najis tidak tersisa di barang tersebut.

Kesucian sebuah barang yang najis dengan menggunakan air sedikit—yaitu, air yang berukuran kurang dari 1 kur—juga harus memenuhi syarat-syarat lain yang akan disebutkan pada pembahasan-pembahasan berikut ini.

Masalah 151: Jika kita mencuci bagian dalam bejana yang najis dengan air sedikit, maka kita harus mencucinya sebanyak tiga kali. Begitu juga halnya—berdasarkan ihtiyath wajib—(jika kita mencucinya) dengan menggunakan air kur dan air mengalir. Jika seekor anjing minum air atau benda cair lainnya di dalam bejana, pertama kali bejana itu harus diolesi dengan tanah yang suci. Setelah itu, kita membersihkan tanah tersebut darinya dan selanjutnya, mencuci bejana tersebut dengan air sebanyak dua kali, baik dengan menggunakan air sedikit, air kur, atau air mengalir. Begitu juga, apabila seekor anjing menjilat bejana dan terdapat bekas sesuatu (air liur atau sisa makanan) yang masih tersisa. Maka, sebelum mencucinya, kita harus mengolesinya dengan tanah terlebih dahulu. Jika air liur anjing jatuh ke dalam bejana atau sebagian badannya menyentuhnya, maka—berdasarkan ihtiyath wajib—kita harus mengolesinya dengan tanah terlebih dahulu dan setelah itu baru mencucinya dengan air sebanyak tiga kali.

Masalah 152: Jika mulut bejana yang telah dijilat oleh anjing sangat sempit (sehingga tidak mungkin bagi kita untuk mengolesinya dengan tanah), maka kita harus memasukkan tanah ke dalam bejana tersebut dan mengocoknya dengan kuat sehingga tanah itu menyentuh seluruh bagian dalam bejana itu. Setelah itu, kita harus mencucinya sesuai dengan cara yang telah disebutkan di atas.

Masalah 153: Jika seekor babi menjilat sebuah bejana atau meminum benda cair di dalamnya, atau tikus gurun pasir mati di dalamnya, maka bejana itu harus dicuci sebanyak tujuh kali, baik dengan menggunakan air sedikit, air kur, atau air mengalir, dan tidak wajib kita mengolesinya dengan tanah terlebih dahulu.

Masalah 154: Bejana yang najis karena minuman keras memiliki hukum bejana-bejana najis yang lain, seperti dijelaskan di atas. Dan berdasarkan ihtiyath mustahab, kita harus mencucinya sebanyak tujuh kali.

Masalah 155: Jika kita meletakkan kendi yang terbuat dari tanah yang najis atau air najis telah meresap ke seluruh pori-porinya di dalam air kur atau air mengalir, maka setiap bagiannya yang telah tersentuh oleh air adalah suci. Jika kita menginginkan bagian dalamnya juga suci, maka kendi itu harus dibiarkan di dalam air selama beberapa waktu sekiranya air itu meresap ke seluruh pori-porinya. Jika kendi tersebut terkena sebuah cairan yang dapat mencegah masuknya air ke bagian dalamnya, maka cairan itu harus dikeringkan terlebih dahulu dan setelah itu, baru diletakkan di dalam air kur atau air mengalir.

Masalah 156: Kita dapat mencuci bejana yang najis dengan menggunakan dua cara:

Pertama, kita memenuhinya dengan air, lalu menuangkannya. (Cara ini kita lakukan) sebanyak tiga kali.

Kedua, kita mengisinya dengan air sedikit saja, lalu memutarnya sekiranya air tersebut mengenai seluruh bagian yang najis. Setelah itu, kita menuangkannya. Kita lakukan cara ini juga sebanyak tiga kali.

Masalah 157: Jika bejana-bejana besar yang najis, seperti ketel besar, dipenuhi dengan air sedikit sebanyak tiga kali dan dituangkan untuk setiap kalinya, maka bejana itu menjadi suci. Begitu juga, (bejana-bejana itu menjadi suci) jika air itu disiramkan dari atas sebanyak tiga kali sekiranya mengenai seluruh bagiannya (yang najis) dan air yang terkumpul di bagian bawahnya dikuras. Dan berdasarkan ihtiyath mustahab, pada kali kedua dan ketiga, bejana lain yang telah digunakan untuk menguras air tersebut harus dicuci dengan air.

Masalah 158: Jika timah yang najis atau barang lain yang sejenis dengannya dicairkan dan lalu dicuci (setelah menjadi padat), maka hanya bagian luarnya saja yang menjadi suci.

Masalah 159: Jika kita menyiramkan air dari atas tanur yang najis karena terkena air kencing sebanyak satu kali sekiranya air tersebut mengenai seluruh bagiannya (yang terkena najis), maka tanur tersebut menjadi suci, dan berdasarkan ihtiyath mustahab, kita harus mengulangi tindakan ini sebanyak dua kali. Untuk benda najis selain air kencing dan setelah benda najisnya hilang, apabila kita menyiramkan air tersebut sebanyak sekali sesuai dengan cara yang telah dijelaskan tersebut, maka hal ini sudah cukup. Dan yang lebih baik adalah hendaknya kita membuat sebuah lubang di bagian bawah tanur sehingga air itu berkumpul di situ dan lalu mengurasnya. Setelah itu, kita penuhi lubang tersebut dengan tanah.

Masalah 160: Jika kita memasukkan barang yang najis ke dalam air kur atau air mengalir sebanyak sekali sekiranya air tersebut menyentuh seluruh bagian yang najis, maka barang itu menjadi suci. Apabila barang yang najis itu adalah karpet, pakaian, dan barang-barang yang sejenis, tidak wajib kita memerasnya atau melakukan tindakan sejenis dengannya, seperti menggerak-gerakkan atau menginjak-injaknya. Apabila tubuh atau pakaian kita yang najis karena terkena air kencing, maka kita harus mencucinya sebanyak dua kali, walaupun dengan menggunakan air kur.

Masalah 161: Jika kita ingin mencuci barang yang najis karena air kencing dengan air sedikit, maka barang itu akan suci ketika kita menuangkan air kepadanya sekali, lalu air itu terpisah darinya dan tidak ada air kencing yang tersisa lagi di barang tersebut, kecuali berkenaan dengan pakaian dan tubuh di mana kita harus mencucinya dengan air sebanyak dua kali untuk menjadi suci. Ala kulli hal, dalam mencuci pakaian, karpet, dan barang-barang yang sejenisnya, kita harus memerasnya sedemikian rupa sehingga ghusalah-nya keluar. (Ghusalah adalah air yang keluar dari sesuatu yang sudah dicuci, baik keluar dengan sendirinya maupun dengan diperas).

Masalah 162: Jika sebuah barang menjadi najis karena air kencing seorang bayi yang masih menyusu dan belum pernah memakan makanan lain, maka barang tersebut akan suci ketika kita menuangkan air kepadanya sekiranya mengenai seluruh bagian yang najis. Akan tetapi, berdasarkan ihtiyath mustahab kita harus menuangkan air sekali lagi kepadanya. Dalam hal ini, tidak wajib kita memeras pakaian, karpet, dan barang-barang yang sejenisnya.

Masalah 163: Jika sebuah barang terkena benda najis selain air kencing dan kita menuangkan air sedikit kepadanya sebanyak sekali sembari menghilangkan benda najisnya, serta air itu terpisah darinya, maka barang najis itu menjadi suci. Akan tetapi, bagaimanapun juga kita harus memeras pakaian dan barang-barang yang sejenis dengannya supaya ghusalah-nya keluar.

Masalah 164: Jika kita memasukkan tikar najis yang ditenun dengan benang ke dalam air kur atau air mengalir, maka tikar itu menjadi suci setelah benda najis itu hilang. Akan tetapi, apabila kita ingin mencuci tikar tersebut dengan menggunakan air sedikit, maka kita harus memerasnya bagaimanapun caranya—meskipun dengan cara menginjak-injaknya—supaya ghusalah-nya keluar.

Masalah 165: Jika bagian luar gandum, beras, sabun, dan benda-benda yang sejenis najis, maka semua benda itu akan menjadi suci dengan dimasukkan ke dalam air kur dan air mengalir. Dan jika bagian dalamnya najis dan air kur atau air mengalir itu dapat menyentuh bagian dalam tersebut dalam kondisi masih bersifat air mutlak, maka semua benda itu menjadi suci. Akan tetapi—sepertinya—air mutlak tidak akan pernah masuk ke dalam sabun dan benda-benda yang sejenis dengannya.

Masalah 166: Jika kita ragu apakah air najis telah meresap ke bagian dalam sabun atau belum, maka bagian dalam sabun itu adalah suci.

Masalah 167: Jika bagian luar beras, daging, dan benda-benda yang sejenis dengannya najis, lalu kita meletakkannya di dalam sebuah mangkok yang suci dan kita isi mangkok tersebut dengan air sebanyak sekali, kemudian kita tuang kembali, maka semua benda itu menjadi suci. Jika kita meletakkan benda-benda itu di dalam mangkok yang najis, maka kita harus melakukan tindakan tersebut sebanyak tiga kali. Dengan cara pencucian seperti ini, mangkok tersebut juga menjadi suci. Dan apabila kita ingin mencuci pakaian dan barang-barang lain sejenis yang harus diperas dengan meletakkannya di dalam sebuah ember, maka kita harus memerasnya untuk setiap kali kita mengisi air dan memiringkan ember tersebut supaya ghusalah yang terkumpul di situ keluar.

Masalah 168: Jika kita meletakkan pakaian najis yang sudah diwenter dengan (zat pewarna), seperti serbuk bunga Nile (blueing) dan zat-zat pewarna yang sejenis, di dalam air kur atau air mengalir dan air tersebut telah meresap ke seluruh bagiannya sebelum menjadi air mudhaf karena zat pewarna itu, maka pakaian itu menjadi suci. Jika kita mencucinya dengan menggunakan air sedikit dan ketika kita memerasnya, yang keluar bukanlah air mudhaf, maka pakaian tersebut adalah suci.

Masalah 169: Jika kita mencuci pakaian yang najis di dalam air kur atau air mengalir, lalu setelah itu kita menemukan lumut air melengket di pakaian tersebut, maka pakaian itu adalah suci apabila kita tidak memberikan kemungkinan bahwa lumut tersebut dapat mencegah sampainya air ke dalam pakaian itu.

Masalah 170: Jika kita menemukan segumpal tanah atau sabun di atas pakaian setelah mencucinya dengan air, pakaian itu adalah suci apabila kita tidak memberikan kemungkinan bahwa tanah atau sabun tersebut dapat mencegah meresapnya air (ke dalam pakaian itu). Akan tetapi, jika air najis telah meresap ke dalam tanah atau sabun tersebut, maka hanya bagian luar tanah dan sabun itu yang suci, sementara bagian dalamnya tetap najis.

Masalah 171: Sesuatu yang najis tidak akan pernah suci selama kita belum menghilangkan benda najisnya. Jika hanya bau atau warnanya yang tersisa, hal itu tidak isykal. Oleh karena itu, jika kita telah menghilangkan darah dari pakaian dan mencucinya, tetapi warnanya masih tersisa, maka pakaian tersebut adalah suci.

Masalah 172: Jika kita menghilangkan benda najis dari tubuh kita di dalam air kur atau air mengalir, maka tubuh kita menjadi suci, kecuali apabila tubuh kita itu menjadi najis karena terkena air kencing. Dalam kondisi seperti ini, tubuh kita tidak menjadi suci hanya dengan mencucinya sebanyak sekali. Akan tetapi, tidak wajib juga kita mengeluarkan tubuh dari dalam air dan kemudian memasukkannya kembali. Apabila kita mengusap bagian tubuh yang najis tersebut ketika masih berada di dalam air sehingga air menyentuhnya sebanyak dua kali, maka hal ini sudah cukup.

Masalah 173: Jika sisa makanan yang najis tersisa di sela-sela gigi dan kita berkumur-kumur dengan menggunakan air sehingga air itu menyentuh seluruh makanan yang najis tersebut, maka sisa makanan itu menjadi suci.

Masalah 174: Jika kita mencuci rambut dan jenggot yang tidak lebat dengan air sedikit, maka tidak harus kita “memerasnya” supaya ghusalah keluar, karena ghusalah itu akan keluar dengan sendirinya sesuai dengan kadar yang semestinya (muta‘araf).

Masalah 175: Jika kita mencuci bagian dari tubuh atau pakaian dengan air sedikit, bagian-bagian yang berada di sekitarnya dan pada umumnya akan terkena air tersebut pada saat mencucinya menjadi suci dengan sucinya bagian yang najis itu. Artinya, tidak wajib kita mencuci bagian-bagian tersebut secara independen. Karena bagian-bagian sekitar dan bagian yang najis itu akan menjadi suci secara bersamaan dengan mencucinya. Begitu juga halnya ketika kita meletakkan sesuatu yang suci di samping sesuatu yang najis dan menyiramkan air di atas keduanya. Atas dasar ini, jika kita menuangkan air ke seluruh jari-jari tangan untuk menyucikan satu jari yang najis dan air najis beserta air suci itu menyentuh seluruh jari-jari tersebut, maka dengan sucinya jari yang najis itu, seluruh jari-jari yang lain juga menjadi suci.

Masalah 176: Daging dan lemak yang najis juga bisa dicuci dengan air seperti layaknya benda-benda lainnya. Begitu juga halnya badan atau pakaian yang sedikit berlemak sekiranya tidak mencegah air meresap.

Masalah 177: Jika bejana atau badan kita najis dan setelah itu, terkena lemak sekiranya dapat mencegah masuknya air ke dalamnya, maka kita harus menghilangkan lemak itu terlebih dahulu jika kita ingin menyucikannya supaya air dapat masuk ke dalamnya.

Masalah 178: Air kran yang bersambung dengan air kur memiliki hukum air kur.

Masalah 179: Jika kita mencuci barang yang najis dan yakin bahwa ia telah suci, lalu kita ragu apakah kita telah menghilangkan benda najisnya atau belum, maka kita harus mencucinya untuk kali kedua kali sehingga kita yakin bahwa benda najis itu telah hilang.

Masalah 180: Jika tanah yang dapat menyerap air—seperti tanah yang dilapisi oleh pasir atau kerikil—menjadi najis, maka tanah itu dapat disucikan dengan menggunakan air sedikit.

Masalah 181: Apabila tanah yang dilapisi dengan bebatuan atau batu bata dan tanah keras yang tidak dapat menyerap air menjadi najis, tanah itu dapat disucikan dengan menggunakan air sedikit. Akan tetapi, kita harus menuangkan air di atasnya sedemikian rupa sehingga air tersebut mengalir. Jika air yang telah kita tuangkan di atas tanah itu tidak mengalir melalui sebuah lubang dan tergenang di sebuah tempat, maka—untuk menyucikan tempat yang tergenang air itu—kita harus mengeluarkan air tersebut dengan menggunakan kain atau timba.

Masalah 182: Jika bagian luar batu garam dan benda-benda yang sejenis menjadi najis, maka ia dapat disucikan dengan menggunakan air yang kurang dari 1 kur.

Masalah 183: Jika kita membuat gula batu dengan menggunakan gula pasir najis yang sudah mencair, maka gula batu itu tidak dapat menjadi suci meskipun kita telah meletakkannya di dalam air kur atau air mengalir.


(2) Bumi
Masalah 184: Dengan empat syarat, bumi dapat menyucikan telapak kaki dan bagian bawah sepatu:

Pertama, bumi itu harus suci.

Kedua, berdasarkan ihtiyath wajib, bumi itu harus kering.

Ketiga, berdasarkan ihtiyath wajib, benda najis (yang menempel ke telapak kaki dan bagian bawah sepatu itu) harus berasal dari bumi.

Keempat, jika benda najis seperti darah dan air kencing atau benda yang terkena najis seperti tanah yang najis terdapat di telapak kaki dan bagian bawah sepatu, semua itu harus hilang karena kita berjalan di atas bumi atau mengusapkannya ke atas bumi. Apabila benda najis (yang menempel di telapak kaki atau bagian bawah sepatu) telah hilang sebelumnya, maka berdasarkan ihtiyath wajib telapak kaki dan bagian bawah sepatu itu tidak menjadi suci dengan kita berjalan di atas bumi atau mengusapkannya di atas bumi. Di samping itu, bumi itu harus berbentuk tanah, bebatuan, tanah yang dilapisi oleh batu bata, dan lain sebagainya. Dengan berjalan di atas karpet, tikar, atau sayur-mayur, telapak kaki dan bagian bawah sepatu tidak menjadi suci.

Masalah 185: Kesucian telapak kaki dan bagian bawah sepatu yang najis dengan cara kita berjalan di atas jalan beraspal dan di atas bumi yang sudah dilapisi kayu adalah isykal.

Masalah 186: Untuk menyucikan telapak kaki dan bagian bawah sepatu sebaiknya kita berjalan sebanyak lima belas depa atau lebih, meskipun benda najis akan hilang dengan berjalan kurang dari lima belas depa atau dengan mengusapkan kaki ke tanah.

Masalah 187: Telapak kaki dan bagian bawah sepatu itu tidak harus basah. Dalam kondisi kering sekali pun, bagian itu dapat menjadi suci dengan cara kita berjalan (di atas tanah).

Masalah 188: Setelah telapak kaki atau bagian bawah sepatu menjadi suci dengan berjalan (di atas tanah), sebagian dari bagian pinggirnya yang biasanya juga terkena lumpur juga menjadi suci.

Masalah 189: Orang yang berjalan dengan menggunakan telapak tangan dan lutut, jika telapak tangan dan lutut tersebut menjadi najis, maka kesucian telapak tangan dan lutut itu dengan cara berjalan (di atas tanah) adalah isykal. Begitu juga halnya berkenaan dengan ujung tongkat, telapak kaki palsu, besi pelapis telapak kaki hewan (seperti kuda), roda mobil dan yang semisalnya.

Masalah 190: Jika setelah kita berjalan (di atas tanah) masih tersisa bau, warna, atau butiran-butiran kecil benda najis yang tak terlihat di telapak kaki dan bagian bawah sepatu, maka hal ini tidak isykal, merskipun berdasarkan ihtiyath mustahab kita harus berjalan sedemikian sehingga semua itu hilang.

Masalah 191: Bagian dalam sepatu tidak dapat menjadi suci dengan cara kita berjalan (di atas tanah). Kesucian telapak kaos kaki dengan cara berjalan (di atas tanah) tersebut juga isykal, kecuali jika telapak kaos kaki tersebut terbuat dari kulit atau benda-benda yang semisal dan berjalan dengan menggunakan kaos kaki semacam itu juga suatu hal yang lumrah.


(3) Matahari
Masalah 192: Dengan lima syarat berikut ini, matahari dapat menyucikan bumi, bangunan, dan tembok:

Pertama, bagian yang terkena najis harus basah sedemikian rupa sekiranya sebuah benda menyentuh bagian tersebut, kebasahannya akan berpindah ke benda tersebut. Oleh karena itu, jika bagian itu kering, maka kita harus membasahinya supaya matahari mengeringkannya kembali.

Kedua, jika masih terdapat benda najis di tempat itu, kita harus menghilangkannya terlebih dahulu sebelum dikeringkan oleh sinar matahari.

Ketiga, tidak boleh ada penghalang yang menghalangi sinar matahari (sampai kepada bagian yang najis tersebut). Dengan demikian, jika matahari menyinarinya dari balik hordeng, awan, dan lain sebagainya dan bagian yang najis itu menjadi kering, maka bagian yang najis tersebut belum suci. Akan tetapi, jika awan tersebut sangat tipis sehingga tidak dapat menghalangi sinar matahari, maka hal itu tidak isykal.

Keempat, hanya matahari yang mengeringkan (bagian yang najis tersebut). Dengan ini, jika bagian itu kering dengan perantara matahari dan angin, maka ia belum suci. Akan tetapi, jika angin tersebut sangat sedikit sehingga tidak dapat dikatakan bahwa ia memiliki andil dalam mengeringkannya, maka hal itu tidak isykal.

Kelima, matahari harus mengeringkan bangunan dan bagian dalamnya yang terkena najis secara bersamaan. Dengan demikian, jika pertama kali ia menyinari bumi dan bangunan dan hanya mengeringkan bagian atasnya, lalu pada kali kedua ia mengeringkan bagian dalamnya, maka hanya bagian atasnya saja yang dapat menjadi suci. Sementara itu, bagian dalamnya masih tetap najis.

Masalah 193: Matahari dapat menyucikan reng (yang terbuat dari penjalin atau kayu dan biasanya diletakkan di depan rumah sebagai penghalang masuknya sinar matahari). Akan tetapi, jika reng ini ditenun dengan benang, kesucian benang-benangnya adalah isykal. Begitu juga, kesucian pepohonan, tumbuh-tumbuhan, pintu, dan jendela dengan menggunakan sinar matahari adalah isykal.

Masalah 194: Jika kita ragu setelah proses penyucian dengan sinar matahari usai apakah tanah tersebut basah ketika matahari menyinarinya atau kering, apakah tanah basah itu kering karena matahari atau karena sesuatu yang lain, maka tanah itu masih najis. Begitu juga halnya apabila kita ragu apakah benda najis sudah hilang atau belum sebelum matahari menyinarinya dan apakah ada penghalang yang menghalangi sinar matahari atau tidak.

Masalah 195: Jika matahari menyinari satu sisi tembok yang najis, dan dengan ini, sisi tembok yang tidak disinari olehnya juga kering, maka tidak jauh kedua sisi tembok itu adalah suci. Akan tetapi, jika matahari mengeringkan bagian luar tembok atau bagian atas bumi pada suatu hari dan lalu mengeringkan bagian dalamnya pada hari yang lain, maka hanya bagian luar tembok dan bumi itu yang menjadi suci.


(4) Istihalah (Perubahan Substansi)
Masalah 196: Jika substansi suatu benda yang najis berubah menjadi substansi benda lain yang suci, maka benda itu menjadi suci. Contoh, kayu yang najis dibakar sehingga menjadi abu atau anjing tenggelam ke dalam lautan garam dan ia berubah menjadi garam. Akan tetapi, jika substansinya tidak berubah, seperti gandum yang najis dijadikan tepung atau dimasak menjadi roti, maka gandum itu tidak menjadi suci.

Masalah 197: Kendi tanah yang terbuat dari tanah yang najis adalah najis. Dan arang yang terbuat dari kayu yang najis adalah suci asalkan arang ini sudah tidak memiliki satu pun hakikat yang dimiliki oleh kayu itu.

Masalah 198: Benda najis yang belum diketahui secara pasti apakah sudah mengalami perubahan substansi atau belum adalah najis.


(5) Inqilab (Perubahan Air Anggur Menjadi Cuka)
Masalah 199: Jika minuman keras berubah menjadi cuka, baik berubah dengan sendirinya atau dicampur dengan cuka dan garam, maka minuman keras itu menjadi suci.

Masalah 200: Minuman keras yang terbuat dari anggur yang najis atau bahan lainnya yang najis, atau kejatuhan benda najis lain tidak menjadi suci ketika berubah menjadi cuka.

Masalah 201: Cuka yang terbuat dari anggur, kismis, dan kurma yang najis adalah najis.

Masalah 202: Jika serat-serat anggur atau kurma yang sangat halus terdapat di dalamnya dan dicampur dengan cuka, maka hal itu tidak masalah. Bahkan, tidak isykal kita mencampur timun, terong, dan benda-benda lain yang sejenis dengan (perasan) anggur dan kurma tersebut, meskipun sebelum anggur dan kurma itu menjadi cuka, kecuali apabila anggur dan kurma itu telah memabukkan sebelum menjadi cuka.

Masalah 203: Air anggur yang mendidih dengan dimasak di atas api atau dengan sendirinya adalah haram. Jika air anggur ini terus dididihkan hingga dua pertiga bagiannya menguap dan hanya tinggal sepertiga bagian, maka air anggur ini menjadi halal. Pada masalah 114 telah dijelaskan bahwa air anggur tidak menjadi najis dengan mendidih.

Masalah 204: Jika dua pertiga bagian air anggur menguap tanpa mendidih dan lalu sisanya mendidih, dalam hal ini apabila sisa air anggur yang telah mendidih itu masih dinamakan air anggur secara ‘urf, bukan sari anggur, maka sisa air anggur itu—berdasarkan ihtiyath wajib—adalah haram.

Masalah 205: Air anggur yang tidak diketahui apakah sudah mendidih atau belum adalah halal. Akan tetapi, jika air anggur sudah mendidih, maka selama dua pertiga bagiannya belum menguap, air anggur itu tidak halal.

Masalah 206: Jika dalam setangkai buah anggur muda yang masih mentah dan kecut rasanya (green grape) terdapat satu-dua butir anggur yang sudah matang, dalam hal ini apabila perasan air buah yang berasal dari setangkai anggur mudah tidak dinamakan air anggur dan mendidih, maka perasan air buah itu halal dimakan.

Masalah 207: Jika sebiji anggur jatuh ke dalam masakan yang sedang mendidih di atas api dan anggur itu ikut mendidih, tetapi tidak pecah sehingga tidak bercampur dengan seluruh masakan itu, maka yang haram hanyalah memakan biji anggur tersebut.

Masalah 208: Jika kita ingin memasak sari anggur/kurma dalam beberapa ketel, maka diperbolehkan kita meletakkan saringan yang telah diletakkan di dalam ketel yang telah mendidih di dalam ketel lain yang belum mendidih.

Masalah 209: Buah yang tidak diketahui (substansinya) apakah anggur muda (green grape) atau anggur yang sudah matang adalah halal, meskipun ia sudah mendidih.


(6) Perpindahan (Intiqal)
Masalah 210: Jika darah manusia atau binatang yang berdarah memancar—yaitu binatang yang darahnya memancar ketika uratnya dipotong—diisap oleh binatang lain yang—menurut pandangan ‘urf—tidak memiliki darah memancar dan darah itu memang sudah berfungsi untuk menjadi bagian tubuhnya, seperti nyamuk mengisap darah manusia, maka darah itu adalah suci. Hal ini dinamakan intiqal (perpindahan). Akan tetapi, darah manusia yang diisap oleh lintah dalam rangka untuk melakukan pengobatan adalah najis, karena darah itu tidak berfungsi untuk menjadi bagian tubuhnya dan masih dinamakan darah manusia.

Masalah 211: Jika kita membunuh seekor nyamuk yang hinggap di badan kita dan darah yang telah diisapnya dari tubuh kita keluar dari nyamuk tersebut, maka darah tersebut adalah suci, meskipun jarak antara pengisapan darah dan pembunuhan nyamuk itu sangatlah sedikit. Hal itu lantaran darah itu telah berfungsi sebagai makanan nyamuk tersebut. Akan tetapi, berdasarkan ihtiyath mustahab, kita hendaknya menjauhi darah tersebut pada kondisi ini.


(7) Islam
Masalah 212: Jika seorang kafir membaca dua kalimat syahadat, yaitu bersaksi atas keesaan Allah dan kenabian pamungkas para nabi—dengan menggunakan bahasa apapun, maka ia menjadi seorang muslim. Apabila sebelum (menjadi muslim) ia dihukumi najis, maka setelah menjadi seorang muslim, sekujur tubuh, air ludah, ingus, dan keringatnya menjadi suci. Akan tetapi, ketika masih ada benda najis (yang melekat) di badannya pada saat ia menjadi seorang muslim, maka ia harus menghilangkan dan mencucinya dengan air. Bahkan, jika benda najis itu telah hilang sebelum ia menjadi muslim, maka ihtiyath wajib adalah ia mencucinya dengan air.

Masalah 213: Jika pakaiannya—dalam kondisi basah—telah menyentuh tubuhnya ketika ia masih kafir, maka berdasarkan ihtiyath wajib ia harus menjauhinya (baca: mencucinya dengan air), baik ia mengenakan pakaian itu pada saat menjadi muslim maupun tidak memakainya.

Masalah 214: Jika seorang kafir membaca dua kalimat syahadat, dan kita tidak mengetahui apakah ia telah masuk Islam dengan sepenuh hati atau tidak, maka ia menjadi suci. Begitu juga halnya apabila kita tahu bahwa ia tidak memeluk Islam dengan sepenuh hati, asalkan ia tidak melakukan suatu tindakan yang bertentangan dengan (kandungan) dua kalimat syahadat tersebut.


(8) Taba‘iyah (Mengikuti)
Masalah 215: Taba‘iyah adalah sucinya suatu benda yang najis karena sucinya suatu benda najis yang lain.

Masalah 216: Jika minuman keras menjadi cuka, maka bejana (yang digunakan sebagai wadahnya) juga menjadi suci sampai batas di mana minuman keras itu menyentuhnya ketika mendidih. Tutup dan kain penyekatnya juga menjadi suci jika keduanya menjadi najis karena minuman keras tersebut. Akan tetapi, jika bagian luar bejana itu juga terkena minuman keras tersebut (ketika meluap ke luar), maka berdasarkan ihtiyath wajib kita harus menjauhi bagian luar bejana ini setelah minuman keras itu menjadi cuka.

Masalah 217: Seorang anak kecil yang kafir dapat menjadi suci lantaran taba‘iyah dalam dua kondisi berikut ini:

a. Ayahnya menjadi muslim. Begitu juga halnya apabila ibu, kakek, atau nenek anak kecil itu menjadi muslim. Hanya saja, anak itu dihukumi suci pada kondisi ini dengan syarat ia hidup bersama dengan orang yang baru masuk Islam itu dan berada di bawah tanggungannya. Begitu juga, orang kafir lain yang memiliki hubungan darah yang lebih dekat dengan anak tersebut tidak hidup bersamanya.

b. Ia menjadi tawanan seorang muslim dan ayah atau salah satu kakek dan neneknya tidak bersamanya.

Pada kedua kondisi ini, kesucian anak kecil itu dapat berlaku dengan syarat ia tidak menampakkan kekafiran apabila pada waktu itu ia telah mencapai usia mumayiz.

Masalah 218: Ranjang atau batu yang digunakan untuk memandikan mayat di atasnya, kain yang digunakan untuk menutupi auratnya, tangan orang yang memandikannya, dan segala sesuatu yang dicuci bersama mayit tersebut menjadi suci setelah ritual memandikan mayit itu usai.

Masalah 219: Jika kita mencuci suatu (barang yang najis), maka tangan kita—yang juga tercuci bersama barang tersebut—menjadi suci setelah barang najis itu menjadi suci.

Masalah 220: Jika kita mencuci pakaian dan barang-barang yang sejenis dan telah memerasnya sedemikian rupa sehingga air yang terdapat di dalamnya terpisah, maka air yang masih tersisa di dalam pakaian itu adalah suci.

Masalah 221: Jika kita mencuci sebuah bejana yang najis dengan air sedikit, setelah terpisahnya air (tuangan terakhir) yang digunakan untuk menyucikannya, maka sedikit air yang masih tersisa di dalam bejana tersebut adalah suci.


(9) Hilangnya Benda Najis
Masalah 222: Jika tubuh seekor binatang terkena benda najis, seperti darah atau barang yang najis, seperti air yang najis, maka tubuh binatang tersebut menjadi suci ketika benda dan barang najis itu hilang. Begitu juga halnya berkenaan dengan bagian dalam tubuh manusia, seperti mulut dan hidung yang menjadi najis karena tersentuh benda najis yang berasal dari luar. Dengan hilangnya benda najis itu, bagian dalam tubuh itu menjadi suci. Akan tetapi, benda najis yang berasal dari dalam tubuh, seperti darah yang keluar dari sela-sela gigi tidak dapat menyebabkan kenajisan bagian dalam tubuh. Bagitu juga, jika sebuah benda yang berasal dari luar tubuh menyentuh benda najis—yang berasal dari dalam tubuh—di dalam tubuh, maka persentuhan ini tidak dapat menyebabkan kenajisan benda tersebut. Oleh karena itu, jika gigi pasangan menyentuh darah yang keluar dari sela-sela gigi di dalam mulut, maka tidak wajib kita mencucinya dengan air. Akan tetapi, jika gigi pasangan ini menyentuh makanan yang najis, maka kita wajib mencucinya dengan air.

Masalah 223: Jika ada sisa makanan yang tersisa di sela-sela gigi dan darah keluar di dalam mulut kita, maka sisa makanan itu tidak menjadi najis dengan menyentuh darah itu.

Masalah 224: Bagian mulut dan kelopak mata yang tertutup ketika kita menutup mata dan mulut memiliki hukum bagian dalam tubuh kita. Oleh karena itu, jika bagian itu menyentuh benda najis yang berasal dari luar tubuh, maka tidak wajib kita mencucinya dengan air. Akan tetapi, jika kita tidak mengetahui apakah satu bagian tubuh termasuk bagian dalam tubuh atau bagian luar dan ia menyentuh benda najis yang berasal dari luar tubuh, maka wajib kita mencucinya dengan air.

Masalah 225: Jika debu dan tanah yang najis menempel di atas pakaian, karpet, dan barang-barang sejenis yang kering, lalu kita menggerak-gerakkannya sedemikian rupa sehingga debu dan tanah najis itu terpisah dalam kadar yang meyakinkan (bahwa debu dan tanah itu sudah terpisah), maka pakaian dan karpet itu adalah suci dan tidak perlu dicuci.


(10) Istibra’ yang Dilakukan atas Binatang Pemakan Najis
Masalah 226: Air kencing dan kotoran binatang yang sudah terbiasa memakan kotoran manusia adalah najis. Jika kita menginginkan air kencing dan kotorannya menjadi suci, maka kita harus melakukan istibra’ atas binatang tersebut. Yaitu, kita mencegahnya memakan benda najis itu dan memberikan makanan-makanan yang suci kepadanya selama masa tertentu sehingga setelah masa itu berlalu, binatang tersebut tidak dianggap lagi sebagai binatang pemakan najis. Berdasarkan ihtiyath mustahab, untuk unta pemakan najis, kita harus melakukan istibra’ atasnya selama 40 hari, untuk sapi 20 hari, untuk kambing 10 hari, untuk itik 7 atau 5 hari, dan untuk ayam rumah 3 hari, meskipun binatang-binatang itu sudah tidak dinamakan binatang pemakan najis sebelum masa-masa (yang telah ditentukan) itu berlalu.


(11) Gaibnya Seorang Muslim
Masalah 227: Jika badan dan pakaian atau barang-barang lain, seperti bejana dan karpet yang berada dalam kekuasaan seorang muslim yang sudah mencapai usia balig atau dapat membedakan najis dan suci menjadi najis dan orang muslim itu gaib dari pandangan kita (baca: berpisah dengan kita), serta kita memberikan kemungkinan bahwa ia telah mencucinya dengan air, maka seluruh barang itu adalah suci. Akan tetapi, berdasarkan ihtiyath mustahab, kita jangan menganggap barang itu suci kecuali dengan terpenuhinya beberapa syarat di bawah ini:

a. Ia meyakini bahwa benda najis yang telah menajiskan tubuh atau pakaiannya adalah najis. Atas dasar ini, jika pakaiannya menyentuh tubuh orang kafir dalam kondisi basah dan ia tidak meyakini bahwa tubuh orang kafir itu adalah najis, maka kita tidak boleh menganggap bahwa pakaian itu adalah suci setelah ia gaib dari pandangan kita.

b. Ia mengetahui bahwa tubuh atau pakaiannya telah menyentuh najis.

c. Kita melihat ia menggunakannya dalam sebuah amalan yang disyaratkan bersuci. Seperti kita melihat ia mengerjakan shalat dengan menggunakan pakaian tersebut.

d. Kita memberi kemungkinan orang muslim tersebut mengetahui bahwa pekerjaan yang sedang dikerjakan dengan menggunakan pakaian tersebut harus memiliki syarat kesucian. Oleh karena itu, jika ia tidak tahu bahwa pakaian mushalli harus suci dan ia mengerjakan shalat dengan pakaian yang telah terkena najis tersebut, maka kita tidak boleh menganggap bahwa pakaian tersebut adalah suci.

e. Kenajisan dan kesucian harus memiliki perbedaan dalam pandangannya. Oleh karena itu, jika ia tidak memiliki kepedulian tentang masalah suci dan najis, maka kita tidak boleh menganggap bahwa pakaian atau tubuhnya adalah suci.

Masalah 228: Jika kita yakin atau mantap hati bahwa suatu benda yang najis sebelumnya telah menjadi suci atau dua orang adil memberikan kesaksian atas kesuciannya dan kesaksian mereka ini berkenaan dengan sebab kesucian (benda tersebut), seperti ia bersaksi bahwa pakaian yang telah terkena air kencing itu telah dicuci sebanyak dua kali, maka benda tersebut adalah suci. Begitu juga halnya jika seseorang yang memiliki kekuasaan atas suatu benda yang najis mengatakan bahwa barang itu telah suci dan ia bukan orang yang tertuduh atau seorang muslim telah mencucinya dengan air—meskipun tidak diketahui apakah ia telah mencucinya dengan benar atau tidak.

Masalah 229: Jika seseorang menjadi wakil untuk mencuci pakaian kita dan ia berkata, “Aku telah mencucinya,” serta kita mendapatkan kemantapan hati dari ucapannya itu, maka pakaian tersebut adalah suci.

Masalah 230: Jika seseorang memiliki sebuah kondisi kejiwaan di mana ia tidak akan pernah mendapatkan keyakinan dalam menyucikan sebuah barang yang najis dan ia telah bertindak sebagaimana orang-orang normal mencuci barang yang najis, maka hal ini sudah cukup.


(12) Keluarnya Darah dari Tubuh Binatang Sembelihan Secara Normal
Masalah 231: Darah yang tersisa di dalam tubuh binatang sembelihan yang telah disembelih sesuai dengan tuntunan syariat Islam adalah suci, asalkan darahnya telah keluar dari tubuhnya sesuai dengan kadar yang normal (muta‘araf)—sebagaimana telah dipaparkan pada masalah 98.

Masalah 232: Berdasarkan ihtiyath wajib, hukum di atas hanya khusus untuk binatang-binatang yang berdaging halal dan tidak berlaku untuk hewan-hewan yang berdaging haram.