HAJI : RITUAL YANG SARAT MAKNA
  • Judul: HAJI : RITUAL YANG SARAT MAKNA
  • sang penulis: Muhammad Jawodiy
  • Sumber:
  • Tanggal Rilis: 19:47:13 1-9-1403



Oleh : Muhammad Jawodiy
Dari sekian banyak ibadah, haji adalah puncak ibadah ritual yang sangat didambakan bisa dilakukan setiap Muslim. Selain karena pahalanya yang sangat besar, orang-orang yang berhaji akan dianggap oleh Allah sebagai tamu-tamu-Nya. “Orang yang beribadah haji dan umrah adalah tamu-tamu Allah serta mengaruniakan mereka ampunan.” Demikian kata sebuah hadis. Karena itu dalam tulisan ini akan diuraikan beberapa hal berkaitan dengan ibadah ritual yang sarat makna ini.


Sekilas Sejarah Haji
Haji, secara harfiah mempunyai arti ‘keluar menuju sesuatu’. Dalam ajaran Islam, istilah ini menandakan ibadah tahunan ke Makkah dengan niat menunaikan ritual tertentu sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Allah SWT telah mewajibkan haji atas semua umat Islam yang mampu, untuk mengerjakannya, paling tidak sekali seumur hidupnya.

Sejarah permulaan ibadah haji di Baitullah al-Haram bermula ketika Nabi Adam as, dikirim Allah ke bumi. Kemudian Adam as diperintah untuk mendirikan sebuah bangunan yang seakan-akan sama dengan Baitul Makmur di langit. Bangunan berbentuk empat segi ini kemudian dinamakan Kabah, yakni “Rumah Allah”. Menurut riwayat Ibnu Abbas ra, Rasulullah pernah bersabda bahwa Makkah telah dipilih sebagai tempat Kabah karena posisinya yang selaras dengan kedudukan Baitul Makmur di alam Malaikat.

Seiring penyempurnaan Kabah, Allah memerintahkan Nabi Adam as serta keluarganya untuk mengerjakan ibadah thawaf sebagaimana yang dikerjakan oleh para malaikat di Baitul Makmur. Baitullah al-Haram, selain menjadi tempat beribadah umat manusia dan jin, turut menjadi tempat thawaf para malaikat yang ditugaskan di bumi.

Setelah Nabi Adam as wafat, bangunan Kabah berangsur rapuh. Selanjutnya Allah memerintahkan Nabi Syits as, salah satu putra Adam untuk membangun Kabah kembali di tempat yang sama. Namun, pada masa Nabi Nuh as, banjir besar turut meruntuhkan bangunan Kabah. Allah kemudian mengutus Nabi Ibrahim as untuk membangun Kabah kembali.

Mematuhi perintah Allah, dengan dibantu oleh anaknya Nabi Ismail as, Nabi Ibrahim as membangun Kabah di atas timbunan batu dan tanah liat dari tujuh bukit yang terletak di sekitar kawasan kota Makkah. Setelah menyempurnakan bangunan tersebut, Nabi Ibrahim as dan keluarganya diperintahkan pula untuk mengerjakan ibadah thawaf di Kabah sebagai bagian dari ibadah haji. Allah berfirman, “Dan (ingatlah), ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di tempat Baitullah (dengan mengatakan): Janganlah kamu memperserikatkan sesuatupun dengan Aku dan sucikanlah rumah-Ku ini bagi orang-orang yang thawaf, dan orang-orang yang beribadat dan orang-orang yang ruku’ dan sujud.” (QS.Al-Hajj : 26).

Selesai mendirikan Kabah, Nabi Ibrahim as diperintahkan agar memanggil semua umat manusia untuk mengerjakan haji. Setelah pembangunan Kabah, Ibrahim as datang ke Makkah untuk melakukan haji setiap tahun. Setelah wafat, praktik ini diteruskan oleh anaknya. Namun seiring perjalanan waktu, bentuk dan tujuan haji mengalami perubahan dan penyimpangan. Penyembahan dan penempatan berhala marak di dalam dan sekitar Kabah. Namun, setelah periode yang panjang, tiba saatnya doa Nabi Ibrahim as dijawab: “Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka seorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan al-Hikmah serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (QS.2 : 129).

Doa Nabi Ibrahim as terkabul dengan kelahiran Muhammad bin Abdullah. Selama 23 tahun Nabi Muhammad SAW menyampaikan pesan monoteisme sejati, yang telah disampaikan sebelumnya oleh Nabi Ibrahim as dan semua nabi lainnya, serta menegakkan hukum Allah di atas muka bumi. Beliau melakukan penghapusan berbagai bentuk kepalsuan, meruntuhkan berbagai berhala dan mengembailkan Kabah ke dalam fungsi awalnya sebagai pusat semesta penghambaan kepada Tuhan Yang Mahaesa.


Haji dan Refleksi Nilai-Nilai Kemanusiaan
Makna kemanusiaan dan pengamalan nilai-nilainya tak hanya terbatas pada persamaan nilai antar perseorangan dengan yang lain, tapi mengandung makna yang jauh lebih dalam dari sekedar persamaan tersebut. Ia mencakup seperangkat nilai-nilai luhur yang seharusnya menghiasi jiwa pemiliknya. Kemanusiaan menjadikan makhluk ini memiliki moral serta berkemampuan memimpin makhluk-makhluk lain mencapai tujuan penciptaan. Kemanusiaan mengantarnya menyadari bahwa ia adalah makhluk dwi dimensi yang harus melanjutkan evolusinya hingga mencapai titik akhir. Kemanusiaan mengantarnya sadar bahwa ia adalah makhluk sosial yang tak dapat hidup sendirian dan harus bertenggang rasa dalam berinteraksi.

Makna-makna tersebut dipraktekkan dalam pelaksanaan ibadah haji, dalam acara ritual atau dalam tuntunan non ritualnya, dalam bentuk kewajiban atau larangan, dalam bentuk nyata atau simbolik, yang kesemuanya pada akhirnya mengantar jamaah haji hidup dengan pengamalan dan pengalaman kemanusiaan universal.

Professor Quraish Shihab, dalam sebuah artikelnya mencoba merefleksikan nilai-nilai kemanusiaan dari pelaksanaan ibadah haji antara lain: Pertama, ibadah haji dimulai dengan niat sambil menanggalkan pakaian biasa dan mengenakan pakaian ihram. Tak dapat disangkal bahwa pakaian menurut kenyataannya berfungsi sebagai pembeda antara seseorang atau sekelompok dengan lainnya. Pembedaan tersebut dapat mengantar kepada perbedaan status sosial, ekonomi atau profesi. Tetapi di Miqat, saat dimana ritual ibadah haji dimulai, perbedaan dan pembedaan tersebut harus ditanggalkan. Semua harus memakai pakaian yang sama. Pengaruh-pengaruh psikologis dari pakaian harus dilepaskan, hingga semua merasa dalam satu kesatuan dan persamaan. Kedua, dengan dikenakannya pakaian ihram, maka sejumlah larangan harus diindahkan oleh pelaku ibadah haji. Seperti jangan menyakiti binatang, jangan membunuh, jangan menumpahkan darah, jangan mencabut pepohonan. Mengapa? Karena manusia berfungsi memelihara makhluk-makhluk Tuhan itu, dan memberinya kesempatan seluas mungkin mencapai tujuan penciptaannya. Ketiga, Kabah yang dikunjungi mengandung pelajaran yang amat berharga, karena disanalah Ismail putra Ibrahim, pembangun Kabah ini pernah berada dalam pangkuan Ibunya yang bernama Hajar, seorang wanita hitam, miskin bahkan budak, yang konon kuburannya pun di tempat itu. Namun demikian, budak wanita ini ditempatkan Tuhan di sana atau peninggalannya diabadikan Tuhan, untuk menjadi pelajaran bahwa Allah SWT memberi kedudukan untuk seseorang bukan karena keturunan atau status sosialnya, tapi karena kedekatannya kepada Allah SWT dan usahanya untuk menjadi Hajar atau berhijrah dari kejahatan menuju kebaikan, dari keterbelakangan menuju peradaban. Keempat, kalau thawaf menggambarkan larutnya dan meleburnya manusia dalam hadirat Ilahi, atau dalam istilah kaum sufi al-fana fi Allah maka sa’i menggambarkan usaha manusia mencari hidup yang melambangkan bahwa kehidupan dunia dan akhirat merupakan suatu kesatuan dan keterpaduan. Dengan thawaf disadarilah tujuan hid
up manusia. setengah kesadaran itu dimulai pada sa’i yang menggambarkan,tugas manusia adalah berupaya semaksimal mungkin. Dan hasil usaha pasti akan diperoleh baik melalui usahanya maupun melalui anugerah Tuhan, seperti yang dialami Hajar bersama putranya Ismail dengan ditemukannya air Zamzam itu. Kelima, di Arafah, di sanalah mereka seharusnya menemukan makrifat pengetahuan sejati tentang jati dirinya, akhir perjalanan hidupnya, serta di sana pula ia menyadari langkah-langkahnya selama ini, sebagaimana ia menyadari pula betapa besar dan agung Tuhan yang kepada-Nya bersimpuh seluruh makhluk. Kesadaran-kesadaran itulah yang mengantarkannya di padang Arafah untuk menjadi arif atau sadar dan mengetahui. Keenam, dari Arafah para jamaah ke Musdalifah mengumpulkan senjata menghadapi musuh utama yaitu setan, kemudian melanjutkan perjalanan ke Mina untuk merefleksikan kebencian dan kemarahan mereka masing-masing terhadap musuh yang selama ini menjadi penyebab segala kegetiran yang dialaminya.

Demikianlah ibadah haji merupakan kumpulan simbol-simbol yang sangat indah, apabila dihayati dan diamalkan secara baik dan benar, maka pasti akan mengantarkan setiap pelakunya dalam lingkungan kemanusiaan yang benar sebagaimana dikehendaki Allah.


Haji, Ritual Yang Berdimensi Politik
Menurut Al-Quran, ibadah haji diperintahkan agar mereka menyaksikan berbagai manfaat buat mereka dan berzikir (menyebut nama Allah) pada hari-hari yang ditentukan (QS.22 : 28). Menurut para mufassir, ayat ini menyebutkan dua dimensi haji: dimensi manfaat dan dimensi zikir. Al-Thabari, dalam tafsirnya, menyebut manfaat itu meliputi dunia dan akhirat. Mahmud Syaltut, Syeikh Al-Azhar, menyebut dimensi-dimensi ipoleksosbud sebagai kandungan makna “manfaat”. Pada waktu hajilah, kata Syaltut, bertemu para pemikir dan ilmuwan, ahli-ahli pendidikan dan kebudayaan, para negarawan dan ahli pemerintahan, ahli-ahli ekonomi, para ulama dan juga para ahli militer kaum Muslim. Inilah kongres atau muktamar umat manusia yang terbesar. Hal inilah yang dimaksudkan sebagai ritual yang berdimensi politik. Haji, Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha serta juga Shalat Jumat, menurut hemat saya adalah bagian dari ibadah-ibadah yang mengandung unsur politik di dalamnya. Oleh karena ibadah jenis seperti itulah yang dapat menunjukkan kebersamaan dan persatuan kaum muslimin sekaligus kekuatan umat Islam. Sekiranya perspektif seperti itu yang digunakan dalam melihat ritual haji ini, maka bisa dibayangkan bagaimana kekuatan kaum muslimin yang berhimpun di suatu tempat dan berasal dari berbagai daerah di seluruh penjuru dunia ini, lalu menyatukan persepsi dan pandangannya serta langkah-langkah yang akan diambil dalam menghadapi kezaliman musuh-musuh Islam di berbagai belahan dunia, maka efeknya tentu saja akan sangat besar. Kalau saja hal itu bisa terwujud, maka tentara-tentara penindas seperti Israel tidak akan mungkin berani melakukan agresi dan penindasan di Palestina seperti yang berlangsung sekarang ini. Kekuatan Islam akan sangat diperhitungkan dalam percaturan dunia. Tapi, tengoklah apa yang terjadi saat ini. Islam dan kaum muslimin tidak begitu diperhitungkan oleh kekuatan musuh-musuh Islam. Negara-negara Islam atau yang mayoritas penduduknya muslim, dengan mudah dipermainkan dan dipolitisir, bahkan terkadang dengan gampang di adu domba
diantara sesama kaum muslimin. Lihatlah, betapa seringnya kita saksikan dan dengarkan, satu kelompok muslim dengan mudah menganggap sesat dan kafir kelompok lainnya , hanya karena adanya perbedaan pandangan dan tafsiran terhadap sesuatu hal. Mereka yang berlaku seperti itu biasanya lebih mengikuti prasangka dan hawa nafsunya, mereka menganggap kelompoknya saja yang paling benar dan yang lainnya salah. Padahal seluruh tuduhan dan tudingannya didasarkan pada informasi yang bersifat fitnah dan tidak dapat dipertanggungjawabkan, bahkan boleh jadi bersumber dari musuh-musuh Islam. Penyebab dari semua itu, karena kaum muslimin melupakan pesan Nabi SAW dan tidak bertekad untuk mengimplementasikan dimensi politik dari ritual haji untuk membangun dan menciptakan kebersamaan, kesatuan dan persatuan di kalangan kaum muslimin agar tetap menjadi kuat dan solid.

Apa pesan penting dari Nabi kita Muhammad SAW pada tanggal 10 Dzulhijjah tahun 10 Hijriah di Haji Wada’ atau Haji Perpisahan? Dalam khutbahnya Nabi berkata: “Wahai manusia, dengarkan pembicaraanku, karena barangkali aku tidak akan berjumpa lagi dengan kalian setelah tahun ini. Yang hadir sekarang ini hendaknya menyampaikan kepada yang tidak hadir. Hai hadirin, tahukah kamu hari apakah ini?” “Hari yang suci,” jawab yang hadir.

“Bulan apakah ini?” “Bulan yang suci.” “Negeri apakah ini?” “Negeri yang suci.” “Sesungguhnya darah kalian, harta kalian, kehormatan kalian, sama sucinya seperti hari ini pada bulan ini di negeri ini. Sesungguhnya kaum Mukmin itu bersaudara. Tidak boleh ditumpahkan darahnya, tidak boleh dirampas hartanya, dan tidak boleh dicemarkan kehormatannya.”

Itulah pesan sakral dari ibadah haji yang sering dilupakan kaum muslimin. Padahal pesan tersebut tidak hanya berlaku bagi mereka yang telah menunaikan haji, tetapi berlaku umum kepada seluruh umat Islam.

Sebelum menutup tulisan ini, saya ingin mengutip Dr. Ali Syariati dalam bukunya tentang ‘Makna Haji’ yang mengungkapkan, “Wahai Haji, ke mana engkau akan pergi kini? Kembali ke kehidupanmu dan ke duniamu? Jangan! Jangan! Engkau memainkan ‘peran Ibrahim’ dalam pertunjukan simbolis ini. Aktor yang baik adalah orang yang kepribadiannya sangat diwarnai oleh karakter dari individu yang sedang diperankannya. Engkau bagaikan Ibrahim, dan dalam sejarah umat manusia ia adalah seorang pejuang besar yang menentang penyembahan berhala. Ia adalah pendiri tauhid di dunia ini dan bertanggung jawab untuk memimpin umatnya. Ia adalah seorang pemimpin yang suka memberontak dan jiwanya menderita, hatinya mencinta, pikirannya menerangi. Engkau bagaikan Ibrahim! Padamkanlah api penindasan dan kebodohan itu agar engkau dapat menyelamatkan kaummu. Api itu berada dalam nasib setiap individu yang bertanggung jawab. Kewajibanmulah untuk membimbing dan menyelamatkan manusia. tetapi, Allah menjadikan tungku pembakaran Namrud dan pengikutnya serasa bagaikan sebuah taman bunga untuk Ibrahim dan pengikutnya. Engkau tidak akan terbakar oleh apinya ataupun kembali menjadi debu. Inilah pelajaran bagimu agar engkau siap terjun ke dalam api demi menegakkan jihad (perjuangan), dan agar engkau membiarkan dirimu masuk ke dalam api sehingga tidak ada orang lain yang terbakar, dan mencapai tahap syahadat yang lebih berat. Kini engkau sedang berdiri di maqam Ibrahim dan akan berperan sebagai dia, hidup seperti dia, menjadi arsitek Kabah keyakinanmu. Selamatkanlah umatmu dari rawa-rawa kehidupan mereka. Hembuskan kembali nafas kehidupan ke dalam tubuh mereka yang kaku dan mati karena menderita penindasan dan gelapnya kebodohan. Doronglah mereka untuk berdiri di atas kakinya dan berilah mereka pengarahan. serulah mereka untuk beribadah haji dan berthawaf. Setelah mengikuti thawaf, membuang sifat suka mementingkan diri sendiri dan mensucikan diri dengan meniru sifat-sifat Ibrahim, maka berarti engkau telah berjanji kepada Tuhan untuk mengikuti jalan Ibrahim
. Allah menjadi saksi bagimu.”

Akhirnya, istiqamahlah engkau atas perjanjianmu dengan-Nya di saat hajimu. Peliharalah ikrarmu yang kau ucapkan di hadapan Tuhanmu di saat hajimu, niscaya Dia akan wajibkan apa yang Dia janjikan untukmu kelak di hari kiamat. Semoga Allah memberkahi perjalanan semua tamu-tamu Allah yang berangkat ke tanah suci di tahun ini dari belahan dunia manapun mereka berasal. Semoga Allah memelihara perjalanan mereka dan menjadikan haji mereka haji yang mabrur. Amin.