Pasal III - Hukum-hukum Ber-takhalli
  • Judul: Pasal III - Hukum-hukum Ber-takhalli
  • sang penulis: Ayatullah Al Uzhma Sistani
  • Sumber:
  • Tanggal Rilis: 19:12:20 1-9-1403



Oleh: Ayatullah Al Uzhma Sistani
Masalah 57: Pada saat takhalli (buang air besar dan kecil) dan pada waktu-waktu yang lain, wajib kita menutupi aurat dari (pandangan) orang-orang yang sudah mukallaf, meskipun mereka adalah muhrim kita, seperti ibu, saudara laki-laki, dan saudara perempuan. Begitu juga dari (pandangan) orang gila dan anak kecil apabila mereka sudah mumayiz; yaitu, mereka dapat memahami yang baik dan yang buruk. Akan tetapi, tidak wajib suami-istri menutupi aurat mereka dari (pandangan) masing-masing.

Masalah 58: Tidak harus kita menutupi aurat dengan sebuah penutup khusus. Jika kita menutupinya dengan tangan misalnya, hal itu sudah cukup.

Masalah 59: Pada saat ber-takhalli, tidak diperbolehkan bagian depan badan kita, yaitu perut dan dada menghadap ke arah Kiblat atau membelakanginya.

Masalah 60: Jika pada saat takhalli bagian depan badan kita menghadap ke arah Kiblat atau membelakanginya, akan tetapi kita mengarahkan aurat ke selain arah Kiblat, maka hal itu tidak mencukupi (baca: tidak diperbolehkan). Dan jika bagian depan badan kita tidak menghadap ke arah Kiblat atau membelakanginya, berdasarkan ihtiyath mustahab kita jangan mengarahkan aurat kita ke suatu arah sehingga menghadap atau membelakangi Kiblat.

Masalah 61: Berdasarkan ihtiyath mustahab, pada saat istibra’—seperti akan dijelaskan hukum-hukumnya setelah ini—dan menyucikan tempat keluarnya air besar dan kecil, hendaknya bagian depan tubuh kita juga tidak menghadap atau membelakangi Kiblat.

Masalah 62: Jika kita terpaksa harus menghadap atau membelakangi Kiblat supaya orang yang bukan muhrim tidak melihat kita (pada saat ber-takhalli), maka berdasarkan ihtiyath wajib kita harus duduk dengan membelakangi Kiblat.

Masalah 63: Berdasarkan ihtiyath mustahab, tidak boleh kita mendudukkan anak kecil dengan menghadap atau membelakangi Kiblat ketika ia ber-takhalli. Akan tetapi, jika ia sendiri yang duduk (dengan menghadap atau membelakangi Kiblat), maka tidak wajib kita mencegahnya.

Masalah 64: Di empat tempat (berikut ini) ber-takhalli adalah haram:

Pertama, di gang-gang buntu jika orang-orang yang tinggal di situ tidak mengizinkan. Begitu juga di gang-gang dan jalan-jalan umum apabila menyebabkan orang-orang yang lewat di situ terganggu.

Kedua, di tanah milik orang lain yang tidak memberi izin (untuk itu).

Ketiga, di tempat yang telah diwakafkan untuk golongan tertentu, seperti sebagian sekolah.

Keempat, di atas kuburan mukminin jika hal itu adalah suatu penghinaan bagi mereka. Begitu juga, ber-takhalli di suatu tempat yang dapat menghinakan salah satu nilai-nilai kultus agama atau mazhab.

Masalah 65: Dalam tiga kondisi (berikut ini) tempat keluarnya air besar hanya dapat disucikan dengan menggunakan air:

Pertama, ada najis lain seperti darah yang keluar bersama air besar.

Kedua, ada benda najis lain dari luar yang terciprat ke tempat keluarnya air besar.

Ketiga, air besar keluar sedemikian rupa sehingga melebihi batas normal tempat keluarnya, (seperti orang yang sedang mencret).

Di selain tiga kondisi ini, tempat keluar air besar dapat dicuci dengan menggunakan air atau dengan kain, batu, dan bahan-bahan lain yang sejenis—sesuai dengan cara yang akan dijelaskan nanti, sekalipun menyucikannya dengan menggunakan air adalah lebih baik.

Masalah 66: Saluran air kencing tidak bisa suci dengan selain air, dan cukup kita mencucinya sekali saja.

Masalah 67: Jika kita mencuci tempat keluarnya air besar dengan menggunakan air, maka tidak boleh ada sisa air besar yang tersisa di tempat itu. Akan tetapi, jika hanya warna dan baunya saja yang masih tersisa, maka hal ini tidak ada masalah. Jika pada kali pertama mencuci sudah tidak ada air besar yang tersisa (di tempat keluarnya), mencuci untuk kedua kalinya tidaklah wajib.

Masalah 68: Jika batu, tanah, kain, dan barang-barang yang sejenis adalah kering, maka kita dapat menyucikan tempat keluarnya air besar dengan menggunakan barang-barang tersebut. Dan apabila barang-barang tersebut sedikit basah dan tidak membasahi tempat keluarnya air besar tersebut, maka hal ini tidak isykal.

Masalah 69: Jika kita dapat membersihkan tempat keluarnya air besar dengan menggunakan batu, tanah, atau kain dengan sekali (usapan), maka hal ini sudah cukup. Akan tetapi, yang lebih baik adalah hendaknya kita membersihkannya dengan menggunakan salah satu barang tersebut sebanyak tidak tiga kali (usapan). Bahkan, jika kita menyucikan tempat keluarnya air besar tersebut dengan menggunakan tiga biji (batu, misalnya) dan tempat itu belum bersih, maka kita harus mengulanginya lagi sehingga tempat itu betul-betul bersih. Akan tetapi, tidak isykal jika masih tersisa butiran-butiran air besar yang kecil dan tidak dapat dilihat.

Masalah 70: Haram kita menyucikan tempat keluarnya air besar dengan menggunakan segala sesuatu yang harus dihormati, seperti secarik kertas yang bertuliskan nama Allah dan para nabi. Dan tidak isykal kita menyucikan tempat tersebut dengan menggunakan tulang dan kotoran binatang.

Masalah 71: Jika kita ragu apakah kita sudah menyucikan tempat keluarnya air besar atau belum, maka kita harus menyucikannya, meskipun kebiasaan kita setiap selesai buang air kecil atau besar adalah langsung bersuci.

Masalah 72: Jika kita ragu setelah mengerjakan shalat apakah kita sudah menyucikan tempat keluarnya air kencing atau air besar, maka shalat yang telah kita kerjakan adalah sah. Akan tetapi, untuk mengerjakan shalat-shalat berikutnya, kita harus menyucikannya.


Istibra’
Masalah 73: Istibra’ adalah sebuah amalan sunah yang dilakukan oleh kaum lelaki setelah selesai buang air kecil supaya mereka yakin sudah tidak ada air kencing yang tersisa di dalam saluran kencing. Istibra’ ini memiliki beberapa cara. Dan cara yang terbaik adalah setelah selesai kencing, kita mencuci tempat keluarnya air besar terlebih jika tempat ini najis. Setelah itu, kita mengurut saluran air kencing dimulai dari tempat keluarnya air besar hingga pangkal kemaluan dengan menggunakan jari tengah tangan kiri sebanyak tiga kali. Kemudian, kita meletakkan ibu jari di atas kemaluan dan jari telunjuk di bawah kemaluan, lalu mengurutnya hingga batas khitan sebanyak tiga kali. Setelah itu, kita menekan ujung kemaluan sebanyak tiga kali.

Masalah 74: Cairan yang biasanya keluar dari seseorang setelah “bercanda” dengan istri (foreplay) yang dinamakan madzi adalah suci. Bagitu juga cairan yang kadang-kadang keluar setelah air sperma keluar yang dinamakan wadzi adalah suci. Dan cairan yang kadang-kadang keluar setelah buang air kencing yang dinamakan wadi adalah suci asalkan air kencing tidak menyentuhnya. Oleh karena itu, jika kita melakukan istibra’ setelah buang air kecil, lalu setetes cairan keluar dan kita ragu apakah cairan itu adalah air kencing atau salah satu dari tiga cairan di atas, maka cairan itu adalah suci.

Masalah 75: Jika kita ragu apakah sudah melakukan istibra’ atau belum dan setetes cairan yang tidak kita ketahui apakah cairan itu adalah suci atau najis keluar dari (saluran kencing) kita, maka cairan itu adalah najis. Dan seandainya kita telah berwudhu sebelumnya, maka wudhu kita adalah batal. Akan tetapi, jika kita ragu apakah istibra’ yang telah kita lakukan itu adalah betul atau salah dan cairan yang tidak kita ketahui apakah cairan itu adalah cairan suci atau najis keluar dari (saluran kencing kita), maka cairan itu adalah suci dan tidak membatalkan wudhu tersebut.

Masalah 76: Jika kita tidak melakukan istibra’ dan kita yakin bahwa setelah beberapa waktu berlalu dari kita buang air kecil tidak ada air kencing yang tersisa di saluran kencing, lalu kita menemukan setetes cairan dan ragu apakah cairan itu adalah suci atau tidak, maka cairan tersebut adalah suci dan tidak membatalkan wudhu.

Masalah 77: Jika kita melakukan istibra’ dan berwudhu setelah buang air kecil, lalu setelah berwudhu kita menemukan setetes cairan yang kita yakini sebagai air kencing atau mani, maka—secara ihtiyath—kita melakukan mandi dan berwudhu. Akan tetapi, jika kita belum berwudhu, maka cukup kita berwudhu saja.

Masalah 78: Kaum wanita tidak perlu melakukan istibra’. Dan jika mereka menemukan setetes cairan dan ragu apakah suci atau najis, maka cairan itu adalah suci dan tidak membatalkan wudhu dan mandinya.


Hal-hal yang Sunah dan Makruh Pada Saat Takhalli
Masalah 79: Pada saat ber-takhalli, disunahkan kita duduk di sebuah tempat yang sekiranya orang lain tidak melihat kita. Ketika hendak masuk ke tampat takhalli, hendaknya kita mendahulukan kaki kiri dan ketika keluar dari tempat itu hendaknya kita mendahulukan kaki kanan. Begitu juga, pada saat takhalli, disunahkan kita menutup kepala dan membebankan berat badan kita ke atas kaki kiri.

Masalah 80: Pada saat ber-takhalli, dimakruhkan kita duduk menghadap matahari dan bulan. Akan tetapi, jika kita menutupi aurat kita dengan sebuah penutup, maka hal itu tidak makruh. Begitu juga, ketika bertakhalli dimakruhkan kita duduk menantang angin, membuang hajat di gang-gang, jalan raya, di pintu rumah, di bawah pohon yang sedang berbuah, sambil makan, diam sangat lama (di tempat takhalli), dan membersihkan (tempat keluarnya air besar dan kecil) dengan tangan kanan. Begitu juga, berbicara di saat bertakhalli. Akan tetapi, jika kita terpaksa harus berbicara atau berzikir kepada Allah, maka hal ini tidak ada masalah.

Masalah 81: Kencing dalam keadaan berdiri, di atas tanah yang keras, di sarang binatang, dan di air, khususnya air yang tergenang adalah makruh.

Masalah 82: Menahan buang air kencing dan air besar adalah makruh. Jika hal itu berbahaya bagi tubuh kita secara keseluruhan, maka tindakan tersebut adalah haram.

Masalah 83: Disunahkan kita buang air kecil sebelum mengerjakan shalat, tidur, dan melakukan hubungan suami-istri, serta setelah keluar air sperma.