Pasal II - Hukum-hukum Air
Oleh: Ayatullah Al Uzhma Sistani
Masalah 47: Air mudhaf—yang maknanya telah dijelaskan pada masalah 15—tidak dapat menyucikan barang yang najis. Berwudhu dan mandi dengan menggunakan air tersebut adalah batal.
Masalah 48: Jika sebutir benda najis jatuh ke dalam air mudhaf, maka air itu adalah najis, meskipun air mudhaf tersebut berukuran 1 kur. Akan tetapi, jika air itu dituangkan ke atas barang yang terkena benda najis dengan tekanan, hanyalah bagian air mudhaf yang menyentuh barang najis itu yang dihukumi najis dan bagian air mudhaf yang belum menyentuh barang najis tersebut tidak najis. Contoh, jika kita menuangkan air bunga di atas tangan yang najis dengan menggunakan ceret, maka hanya air bunga yang menyentuh tangan itu adalah najis. Sementara, air bunga yang belum menyentuh tangan adalah suci.
Masalah 49: Jika air mudhaf yang najis bercampur dengan air kur atau mengalir sedemikian rupa sehingga tidak dikatakan lagi sebagai air mudhaf, maka air tersebut menjadi suci.
Masalah 50: Air yang sebelumnya adalah air mutlak dan tidak diketahui apakah sudah berubah menjadi air mudhaf atau tidak, air tersebut adalah seperti air mutlak. Artinya, ia dapat menyucikan barang yang terkena benda najis dan disahkan untuk berwudhu dan mandi dengan menggunakannya. Dan air yang sebelumnya adalah air mudhaf dan tidak diketahui apakah sudah berubah menjadi air mutlak atau tidak, air tersebut adalah seperti air mudhaf. Artinya, air itu tidak dapat menyucikan barang yang terkena benda najis dan batal berwudhu dan mandi dengan menggunakannya.
Masalah 51: Air yang tidak diketahui (substansinya)—apakah ia adalah air mutlak atau air mudhaf, dan juga tidak diketahui apakah sebelumnya adalah air mutlak atau air mudhaf—tidak dapat menyucikan barang najis dan juga batal berwudhu dan mandi dengan menggunakannya. Apabila sebuah benda najis jatuh ke dalamnya dan air tersebut berukuran kurang dari 1 kur, maka air tersebut adalah najis, dan jika air tersebut berukuran 1 kur atau lebih, maka berdasarkan ihtiyath wajib, air tersebut adalah juga najis.
Masalah 52: Air yang kejatuhan benda najis, seperti darah atau air kencing dan benda najis itu merubah bau, warna, atau rasanya, maka air tersebut adalah najis meskipun ia berukuran 1 kur atau air mengalir. Bahkan, jika bau, warna, atau rasanya berubah disebabkan oleh benda najis yang berada di luar air, seperti sepotong bangkai terhempas di pinggirnya dan merubah baunya, maka berdasarkan ihtiyath wajib, air tersebut adalah najis.
Masalah 53: Jika air yang kejatuhan benda najis, seperti darah atau air kencing dan bau, warna, atau rasanya berubah karena benda najis tersebut bersambung dengan air kur atau air mengalir, air hujan turun menimpanya, angin mengarahkan air hujan tersebut kepadanya, atau air hujan mengalir kepadanya melalui saluran air (sebuah rumah) ketika sedang turun dan perubahan air itu sirna, maka air itu menjadi suci. Akan tetapi, berdasarkan pendapat yang paling kuat (aqwa), air hujan, air kur, dan air mengalir tersebut harus bercampur dengannya, (bukan sekadar bersambung).
Masalah 54: Jika kita mencuci barang yang terkena benda najis di dalam air kur atau air mengalir dan telah sampai pada kali pencucian yang dapat menyucikannya, maka air yang menetes dari barang tersebut setelah kita mengeluarkannya (dari tempat pencucian) adalah suci.
Masalah 55: Air yang sebelumnya suci dan tidak diketahui apakah sudah menjadi najis atau belum adalah suci. Dan air yang sebelumnya najis dan tidak diketahui apakah sudah menjadi suci atau belum adalah najis.
Masalah 56: Sisa air minum anjing, babi, dan orang kafir non-ahlulkitab adalah najis dan haram untuk diminum, apabila air tersebut menyentuh tubuh salah satu dari ketiga obyek tersebut. Dan berdasarkan ihtiyath mustahab, sisa air minum orang kafir ahlulkitab pun juga harus dihindari (baca: tidak diminum). Sementara itu, sisa air minum binatang-binatang yang haram dimakan adalah suci dan—berkenaan dengan sisa air minum selain kucing—makruh untuk diminum.