Sujud di Atas Tanah[1]
Oleh: Marzuqi Amin
"Apabila kita mengkaji dan mengamati ucapan–ucapan para ahli bahasa dalam kitab-kitab mereka yang beragam tentang makna sujud, akan kita dapati bahwa mereka hampir sepakat bahwa arti sujud adalah al-khudû', tunduk dan merendahkan diri. Dan setiap orang yang merendahkan diri dan menundukkan kepalanya ke tanah, maka ia berarti telah melakukan sujud. Oleh karena itu, setiap orang yang menundukkan kepalanya ke tanah dan merendahkan dirinya disebut sebagai orang yang sujud."
Makna Sujud menurut Ahli Bahasa
Apabila kita mengkaji dan mengamati ucapan–ucapan para ahli bahasa dalam kitab-kitab mereka yang beragam tentang makna sujud, akan kita dapati bahwa mereka hampir sepakat bahwa arti sujud adalah al-khudû', tunduk dan merendahkan diri. Dan setiap orang yang merendahkan diri dan menundukkan kepalanya ke tanah, maka ia berarti telah melakukan sujud. Oleh karena itu, setiap orang yang menundukkan kepalanya ke tanah dan merendahkan dirinya disebut sebagai orang yang sujud.
Demikianlah ahli bahasa mendefinisikan makna sujud. Bagi anda yang ingin mengetahui makna sujud lebih luas lagi, maka anda dipersilahkan untuk merujuk ke kitab-kitab mereka. Mereka telah bersepakat tentang makna sujud yang hakiki yaitu tunduk dan merendahkan diri. Adapun makna sujud di dalam salât adalah makna majazi bukan bermakna secara hakiki, karena meletakkan dahi di atas tanah itu menandakan adanya kerendahan dan ketundukan yang sempurna.
Makna Sujud dalam Syariat Islâm
Setelah kita mengenal dan mengetahui makna sujud menurut para ahli bahasa, marilah kita telaah lebih jauh makna sujud menurut pandangan para ulama dan kaum muslimin. Pada hakikatnya, apabila kita mengkaji dan melihat teks-teks para ulama dan fuqaha, akan kita temukan bahwa arti sujud dalam syari'at, sebenarnya tidak jauh berbeda dengan apa yang telah didefinisikan oleh para ahli bahasa. Hanya saja para ulama dan fuqaha menambahkan tentang arti sujud dengan tata cara yang khusus. Termasuk di dalamnya kewajiban-kewajiban dan syarat-syarat sahnya sujud tersebut sesuai dengan ijtihad dan istinbât (menyimpulkan sebuah hukum) mereka dari Al-Qur'ân, al-Hadits dan dari kitab-kitab yang lain.
Bahkan pendapat para ulama Ahli Sunah wal Jamaah sama sekali tidak jauh berbeda dengan pendapat para ulama Syi'ah Imâmiyah tentang makna sujud tersebut. Hanya saja para pengikut ulama Ahli Sunah wal Jamaah tidak mempraktikkan apa yang dimaksudkan oleh hadits-hadits Rasulullâh Saw yang juga terdapat di dalam kitab-kitab mereka. Mereka memilih mengamalkan hasil ijtihad para ulama mereka, disadari ataupun tidak. Apabila kita mau meluangkan waktu untuk mengkaji teks-teks serta pandangan-pandangan fuqaha dan ulama Ahli Sunah wal Jamaah, yaitu: Imâm Hânâfî, Mâlikî, Syafi'î maupun Hanbâlî, maka kita akan sampai pada suatu kesimpulan bahwa makna sujud adalah meletakkan dahi di atas tanah dengan penuh ketundukan dan kekhusyu'an.
Ibnu Quddâmah – salah seorang 'ulama Hanbâlî - dalam kitabnya Al-Mughnî mengatakan bahwa sempurnanya sujud diatas tanah adalah dengan meletakkan seluruh bagian telapak tangan di atas tanah dan mengangkat kedua siku-sikunya.[1]
. Imâm Ahli Sunnah yang lainnya yaitu Muhammad bin Idris yang lebih dikenal dengan nama Imâm Syâfi'î di dalam kitabnya yang terkenal yaitu al-Umm, beliau mengatakan bahwa, " apabila seseorang sujud dan dahinya sama sekali tidak menyentuh tanah, maka sujudnya dianggap tidak sah. Tetapi jika seseorang sujud dan bagian dahinya menyentuh tanah, maka sujudnya dianggap cukup dan sah, Insya Allâh"[2].
Ucapan mereka tidak lain menjelaskan tentang hakikat orang yang sujud, yaitu si-Mûsallî (orang yang melaksanakan salât) hendaknya meletakkan dahinya di atas tanah tanpa adanya penghalang antara dahinya dengan tanah. Demikianlah di antara ucapan fuqaha dan ulama madzhab Ahlus Sunnah wal Jama'ah secara singkat. Apabila anda ingin mengetahui secara lebih jeluk, silahkan anda merujuk pada kitab-kitab mereka.
Berikut ini kami akan singgung ucapan ulama dan fuqaha Syi'ah Imâmiyah tentang sujud di atas turbah.
Pandangan-pandangan, pendapat-pendapat serta ucapan-ucapan para Ulama Syi'ah Imâmiyah, baik dahulu maupun sekarang, tidak ada perbedaan pendapat sedikit pun dalam masalah ini. Dan mereka senantiasa mengamalkan dan mempraktikkan pandangan–pandangan dan pendapat-pendapat serta ucapan-ucapan tersebut di dalam sujud mereka ketika mereka melakukan salât sehari semalam. Sejak keluarnya perintah sujud di atas tanah hingga hari ini, tidak ada seorangpun yang berbeda pendapat tentang masalah ini. Mereka – para ulama dan para pengikut madzhab Ahlul Baît As – senantiasa mempraktikkan segala sesuatu yang dipraktikkan oleh Rasulullâh Saw dan mempraktikkan ucapan-ucapan dan perintah-perintah para Imâm Ma'sumîn setelah wafat Rasulullâh Saw dari masa ke masa.
Seorang ulama Syi'ah tersohor yang dikenal dengan nama Al-Muhâddits Al-Bahrânî, menulis dalam kitabnya bahwa sujud menurut bahasa adalah tunduk dan merendah. Sedangkan sujud menurut syar'i adalah meletakkan dahi di atas tanah atau segala sesuatu yang tumbuh di atas tanah yang tidak dimakan atau tidak dipakai. Dan sujud itu berarti tunduk dan kerendahan secara khusus[3].
Imâmul Ummah, pemimpin umat, Pelopor Revolusi Islâm Iran dan Reformer abad ini, di dalam kitabnya yang masyhur yang diberi nama Tahrir al-Wasilah, Al-Imâm Ruhullâh Musâwî Khomeînî mengatakan bahwa wajib hukumnya dalam setiap raka'at melakukan dua kali sujud. Dua sujud tersebut hukumnya rukun, dan salât akan menjadi batal apabila ditambahkan atau dikurangi pada rakâ'at pertama baik dengan sengaja atau karena lupa. Akan tetapi apabila ia mengurangi atau lupa satu sujud saja, maka tidak sampai membatalkan salât-nya. Di dalam sujud diharuskan merendahkan dan meletakkan dahi sehingga bisa dinamakan sujud. [4]
Al-Imâm Ruhullâh Musâwî Khomeini pada halaman yang lainnya -sehubungan dengan masalah ini- mengatakan, bahwa tempat sujud (tempat meletakkan dahi) disyaratkan harus suci, sebagaimana juga disyaratkan harus berbentuk tanah atau tumbuh-tumbuhan yang tidak dimakan atau kertas. Dan yang lebih utama adalah Turbah Husaîniyah yang di antara fungsinya adalah dapat membakar dan menyingkap hijab-hijab yang tujuh dan menyinari bumi yang tujuh sebagaimana yang tercantum di dalam hadits.
Tidak sah hukumnya sujud di atas segala sesuatu yang tidak termasuk tanah atau tidak dikategorikan sebagai tanah. Misalnya sujud di atas barang tambang seperti emas, perak, kaca dan lain-lain. Begitu pula tidak sah hukumnya sujud di atas segala sesuatu yang tidak termasuk tumbuh-tumbuhan seperti sujud di atas abu. Dan -menurut beliau- hukumnya boleh sujud di atas genteng, kapur atau bata walaupun setelah dimasak. Begitu pula sujud diatas arang. Kemudian beliau melanjutkan bahwa bolehnya sujud di atas tumbuh- tumbuhan dengan syarat tumbuh-tumbuhan tersebut tidak dimakan (tidak dijadikan sebagai sayuran atau lalapan) dan tidak dipakai atau tidak dijadikan bahan pakaian. Oleh karena itu tidak boleh sujud di atas segala sesuatu yang berada pada manusia yang berupa makanan dan pakaian, seperti sujud di atas roti, kue, biji-bijian yang bisa dimakan, gandum, beras dan sebagainya. Termasuk pula buah-buahan, lalapan, dan sayuran yang dimakan. Adapun sujud di atas kulit buah-buahan setelah terpisah dari isinya dan kulit tersebut tidak dimakan, maka hukumnya boleh kecuali di atas kulit apel, timun dan kulit buah-buahan lainnya yang dimakan walaupun mengikuti isinya.
Demikian juga -secara ahwat wujubi (sikap hati-hati yang bersifat wajib) tidak dibolehkan sujud di atas kulit biji-bijian yang biasanya dimakan isinya.[5] Demikian penjelasan yang agak rinci yang ditulis oleh Al-Imâm Ruhullâh Mûsawî Khomeini Ra.
Al-Ustâdz Ayatullâh as-Syaîkh Nâsir Makârim Syirâzi berkata, sesungguhnya kami selaku pengikut madzhab Syi'ah Imâmiyah berkeyakinan bahwa ketika salat hukumnya wajib melakukan sujud di atas tanah atau di atas segala sesuatu yang tumbuh di atas tanah seperti dedaunan, dahan pohon dan semua tumbuh-tumbuhan yang biasanya tidak dimakan dan tidak dijadikan pakaian. Dengan dasar inilah ajaran kami tidak membenarkan seseorang melakukan sujud di atas sajadah. Selain itu pula, kami lebih memilih dan mengutamakan sujud di atas tanah daripada sujud di atas yang lainnya walau pun dibolehkan. Oleh karena itu, agar lebih mudah, banyak pengikut ajaran Syi'ah Imamiah yang selalu membawa-bawa sekeping tanah yang suci yang sudah dikeringkan yang dinamakan "turbah" untuk mereka gunakan sebagai alas sujud dalam salât.
Sedang dalil yang kami jadikan sebagai dasar pandangan dan keyakinan kami ini adalah hadits Nabi Saw, yaitu:
"Bumi ini telah Allah ciptakan untukku sebagai tempat sujud dan pensuci".[6]
Terminologi "masjid" di dalam hadits ini, maksudnya adalah tempat sujud dan bukan tempat salât. Hadits ini tercantum di dalam kitab-kitab sahih Ahli Sunnah seperti kitab Sahih al-Bukhâri dan lainnya. Syaikh Mahdî 'Abbâs al-Bahrâni mengatakan : " Arti sujud dalam hadits tersebut maksudnya adalah sujud di atas sesuatu yang dikategorikan sebagai tanah menurut bahasa, 'urf dan syari'at.
Mungkin anda akan mengatakan bahwa kata "masjid" di dalam hadits ini bukanlah berarti tempat sujud, melainkan tempat salât, artinya dibolehkan melakukan salât di mana saja di muka bumi ini dan dibolehkan pula melakukan sujud di atas apa saja, tidak terbatas pada tempat-tempat tertentu saja. Akan tetapi yang benar adalah kata "masjid" di sini berarti tempat sujud, karena jelas bahwa di dalam hadits tersebut terdapat kata "tahûr" yang berarti tanah tayammum. Dengan demikian hadits tersebut bermakna: "Sesungguhnya tanah bumi ini bisa dijadikan sebagai alat bersuci dan juga sebagai tempat sujud dalam shalat". Di samping itu pula banyak sekali hadis-hadis lainnya yang datang dari Ahlul Bait as yang menyinggung masalah sujud ini dan menegaskan bahwa tempat sujud harus berupa tanah, batu-batuan dan yang sejenisnya".[7]
Di samping itu, anda dapat merujuk ke kitab-kitab fiqih yang ditulis oleh para 'Ulama Syi'ah Imâmiyah yang dikenal dengan Risalah 'Amalîyah.
Dengan penjelasan tersebut, teranglah bahwa penjelasan-penjelasan dan pandangan-pandangan para fuqaha dan 'ulama madzhab fiqih Islâm, bahwa sesungguhnya yang dituntut dalam sujud adalah terealisasinya peletakan dahi di atas tanah atau sujud di atas sesuatu yang lainnya yang dianggap sah dengan penuh kekhusyukan. Dan apabila tidak demikian, maka tidak dapat dinamakan sebagai sujud secara syar'i.
Sujud Pada Masa Rasulullâh Saw
Ketika Rasulullâh tiba di kota Kuba, Madinah Al Munawarah pada tanggal 12 Rabiul Awal, beliau berjumpa dengan Imâm Alî As pada bulan tersebut.[8] Hari masuknya Rasulullâh Saw ke kota tersebut adalah hari yang sangat mulia dan agung. Ketika itu, Bani Amr bin Auf telah berkumpul mengelilingi Rasulullâh Saw dan memaksa beliau untuk singgah di kota Kuba sedangkan suku Aus dan Khazraj berusaha mengambil unta Rasulullâh Saw. Mereka juga memaksa Rasulullâh Saw untuk singgah di rumah mereka. Ketika itu, Rasulullâh Saw memberikan jawaban : " Biarkanlah unta itu berjalan, sesungguhnya dia diperintahkan."[9] Ketika itu, unta Rasulullâh Saw berhenti di tanah yang cukup luas milik dua orang anak yatim suku Khazraj yang bernama Sahl dan Suhail. Kedua anak itu berada dalam asuhan As'ad bin Zurarah. Kemudian Rasulullâh Saw membangun masjidnya di atas tanah di tempat unta beliau berhenti. Bangunan masjid itu dibangun dengan sangat bersahaja. Temboknya dibuat dari tanah liat, ukuran tingginya sama dengan ukuran tinggi manusia, tiang-tiangnya dibuat dari pohon kurma dan hamparannya masih dalam bentuk tanah murni, tidak disemen.[10]
Rasulullâh Saw bersama para sahabatnya melaksanakan salât di masjid itu. Mereka sujud di dalam salât mereka sehari-hari di atas tanah murni tanpa adanya penghalang sedikitpun antara dahi-dahi mereka dengan tanah. Sampai suatu saat datanglah kebatilan yang merubah hak tersebut dan menyebar bid'ah setelah wafatnya Rasulullâh Saw.
Sebagian Bukti tentang Masjid Nabi Saw
Masjid Nabâwi tetap dalam bentuknya yang asli, yang dibangun oleh Rasulullâh Saw dan para sahabatnya. Masjid itu didirikan dengan bersahaja, temboknya dibuat dari tanah liat, tiangnya dibuat dari pohon kurma, atapnya dibuat dari pelepah dan dedaunan kurma dan hamparannya masih dalam bentuk tanah yang murni.
Sepanjang sejarah, Rasulullâh Saw dan para sahabatnya setelah wafatnya Rasulullâh Saw tetap melaksanakan salât sehari semalam di dalam masjid yang mulia tersebut dan sujud di atas tanah yang murni tanpa adanya alas apapun baik itu sajadah, karpet ataupun yang lainnya, hingga suatu saat muncullah bid'ah setelah wafatnya Rasulullâh Saw.
Berikut ini akan kita temukan bukti-bukti dari beberapa orang yang telah merubah masjid mulia tersebut, yang mana semenjak saat itu mereka tidak lagi sujud di atas tanah yang murni.
Sebelumnya kami akan tunjukkan beberapa bukti tentang keberadaan Masjid Nabawi dalam keadaannya yang murni pada zaman Rasulullâh Saw.
Bukti – bukti tersebut antara lain:
1. Al Bukhârî di dalam Sahih-nya mengatakan dalam bab Manâqibu 'Alî bin Abî Tâlîb dengan sanad Abî Hazm, bahwa seorang laki-laki datang menjumpai Sahl bin Sa'ad. Ia berkata: " Inilah fulan – pemimpin Madinah – ia memanggil Imâm 'Alî As di atas mimbar ". Ia menjawab: " Apa yang ia katakan?" Ia berkata: " Ia mengatakan Abu Turâb" . Kemudian ia tertawa dan berkata " Demi Allâh Swt, tiada yang memberikan julukan kepada 'Alî selain Rasulullâh Saw dan tidak ada julukan yang lebih beliau cintai dari pada julukan itu, yaitu Abû Turâb". Kemudian aku berkata: " Wahai Abû Abbâs bagaimana kisah ini? " . Abû Abbâs berkata : " Suatu hari seseorang datang menjumpaiku yaitu 'Alî bin Abî Tâlîb As dan Fâtimah Az Zahrâ kemudian keluarlah 'Alî As dan dia berbaring di atas masjid. Kemudian Rasulullâh Saw bertanya kepada Fâtimah Az-Zahrâ, mana anak pamanmu? Az-Zahrâ menjawab : " Ia di dalam masjid. Kemudian Rasulullâh bertanya kepada 'Alî As, beliau mendapatinya bahwa selendangnya telah jatuh dari pundaknya dan bagian pundaknya terkena debu. Kemudian Rasulullâh Saw mengusap debu itu dari pundak 'Alî As dan berkata: "Duduklah Wahai Abu Turab."[11]
2. Riwayat yang dikeluarkan oleh Muslim dalam kitabnya dengan sanad yang berasal dari 'Umar bin Khattâb. Dia berkata : " Ketika Nabi Muhammad Saw meninggalkan istri-istri beliau, beliau masuk ke dalam masjid. Ketika itu, orang-orang yang ada di dalam masjid sedang melempar kerikil-kerikil (bermain-main dengan kerikil itu)".[12]
3. Ibnu an-Najjâr telah menyebutkan dalam kitabnya Addurr al-Tsamînah (mutiara yang berharga), sebuah hadits yaitu bahwa Masjid Nabawi asy-Syarîf dimasa Rasulullâh Saw, Abu Bakar dan 'Umar disirami air dan orang-orang ketika itu membuang riak dan air ludah mereka ke dalam masjid itu. Sehingga setelah disirami, kembali menjadi bersih. [13]
Sujud di atas batu-batu kerikil bermula pada masa Khalîfah 'Umar bin Khattâb
Sampai di sini telah kita buktikan bahwa Rasulullâh Saw bersama orang-orang yang beriman ketika itu melaksanakan salât di masjid beliau di atas tanah yang murni tanpa adanya tikar atau karpet.
Berikut ini kita ingin mengungkap sejak kapan kaum muslimin mulai melaksanakan salât di dalam masjid Nabi tersebut dan sujud di atas sesuatu yang tidak pernah dilaksanakan oleh Rasulullâh Saw dan para sahabatnya, yakni mereka sujud di atas batu kerikil.
Beberapa bukti berikut ini yang menegaskan pernyataan di atas :
1. Al-Bukhârî mengeluarkan riwayat di dalam kitab Sahih-nya dengan sanad Ibnu 'Umar yaitu 'Abdullâh bin 'Umar. Dia berkata bahwa sesungguhnya masjid pada masa Rasulullâh Saw telah dibangun dengan labin – semacam bata – sedangkan atapnya dari pelepah kurma dan tiangnya dari pohon kurma dan Abû Bakar ketika itu tidak menambahkan apapun pada masjid itu. Dan pada masa 'Umar ditambahkan sedikit dan dibangun sebagai tambahan bangunan pada zaman Rasulullâh Saw. Pada zaman Khalîfah 'Umar, dia menambahkan bangunan itu sedikit dan tetap menggunakan tiangnya dari kayu. Kemudian 'Utsmân merubahnya lagi dan menambahkan yang lebih banyak serta membuat temboknya dari batu-batu yang diukir dan berikut tiang-tiangnya. Sedangkan atapnya dibuat dari saj(nama jenis kayu) .[14]
2. As-Samhûdî di dalam kitab Wafâul Wafâ menyebutkan sebuah hadits bahwa 'Umar bin Khattâb ketika membangun kembali masjid Rasulullâh Saw, ia bertanya : " kami tidak tahu dengan apakah kami harus hampari masjid ini? Seseorang berkata padanya : " Hamparilah dengan batu-batu kerikil ". Umar berkata : " Ini adalah wadî atau lembah yang penuh berkah dan aku mendengar bahwa Rasulullâh Saw bersabda: " Batu-batu kerikil adalah batu yang penuh berkah.[15]
3. As-Samhûdî – menukil dari Ibnû Zubâlah – menyebutkan tentang terjadinya penghamparan tempat sujud itu dengan batu-batu kerikil. Sufyân bin 'Abdullâh Ats-Tsaqâfî telah datang mengunjungi 'Umar bin Khattâb. Dan ketika itu masjid Nabi Saw belum dihampari dengan batu kerikil. Ia berkata kepada 'Umar : " Bukankah anda mempunyai wadi atau lembah (yang banyak terdapat batu-batu) ? " Umar menjawab : " Ya " . Ia berkata lagi : " Hamparilah masjid ini dengan al-aqiq yang penuh berkah itu."[16]
4. As-Samhûdî pada bukti sebelumnya juga menukil dari Ibnu Sa'ad. Ia berkata bahwa 'Umar bin Khattâb menghampari dan meletakkan batu-batu kerikil di dalam masjid Rasulullâh Saw. Dan sebelum masjid itu dihampari dengan batu-batu, orang-orang ketika melaksanakan salât mengangkat kepala-kepala mereka dari sujud, mengusapkan debu-debu di dahi mereka dengan tangan- tangannya. Kemudian setelah itu 'Umar bin Khattâb memerintahkan untuk menghampari masjid itu dengan batu-batu. Maka didatangkanlah batu-batu itu untuk dijadikan sebagai hamparan masjid tersebut. [17]
5. Al-Baihaqî di dalam kitabnya As-Sunanul Kubrâ telah mengeluarkan satu riwayat yang sanadnya dari Urwah bin Zubair. Ia berkata : " Sesungguhnya orang yang pertama kali menghampari masjid Rasulullâh Saw dengan batu-batu adalah Umar bin Khattâb. Ia pernah berkata kepada orang-orang : "Hamparilah masjid ini dengan wadi atau batu-batu yang penuh berkah yakni al aqiq" . [18]
6. As-Samhûdî berkata : " Dapatlah ditarik kesimpulan dari ucapan-ucapan sejarawan bahwa sesungguhnya penghamparan masjid Nabi Saw (Masjid Nabawi) itu terjadi pada masa Khalîfah 'Umar bin Khattâb.
Dengan demikian telah jelaslah buat kita dengan pemaparan bukti-bukti di atas bahwa tanah di dalam Masjid Nabawi Asy-Syarîf itu tidak pernah dihampari dengan batu-batu dan kerikil-kerikil hingga pada masa 'Umar bin Khattâb. Dialah orang yang pertama kali yang merubah masjid tersebut dan menghamparinya dengan batu-batu aqiq. [19]
Sementara pada masa Khalîfah 'Utsmân bin 'Affân, ruangan masjid nabi ketika itu tidak berubah sama sekali artinya tetap dihampari batu-batu sebagaimana perintah Khalifâh 'Umar atas saran seseorang.
Berikut ini kita akan tunjukkan beberapa bukti yang menopang pernyataan di atas :
1. Asy-Syâtibî dalam kitabnya Al-I'tisâm telah mengeluarkan satu riwayat dari Hasan Al-Basrî. Ia berkata : " Pada suatu hari 'Utsmân bin 'Affân keluar dan berkhutbah di hadapan kami. Kemudian orang-orang memotong khutbahnya tersebut dan melemparinya dengan batu".[20]
2. As-Sakhâwî menyebutkan suatu bukti yang lainnya dengan merujuk pada kitab At-Tuhfatul Latîfah. Ia berkata : " Hari terakhir di mana ''Utsmân keluar yaitu pada hari Jum'at. Ketika dia telah menaiki mimbar (Masjid Rasulullâh Saw), orang-orang melemparinya dengan batu. Sehingga dengan lemparan batu menyebabkan ia tidak dapat Imâm Jama'ah, kemudian Abû Umâmah As'ad bin Sahl bin Hanîf al-Ansârî maju ke depan menggantikannya menjadi Imâm. [21]
3. Pernah suatu saat 'Utsmân melakukan tidur qailulah (tidur selama beberapa menit sebelum tibanya salat zuhur) di dalam Masjid Nabawi. Ketika itu 'Utsmân telah menjadi khalîfah. Hal ini sebagaimana telah dikeluarkan satu riwayat oleh Al-Baihaqî di dalam As-Sunanul Kubrâ dengan sanad dari Hasan Al Basrî, yaitu ketika dia ditanya oleh seseorang tentang hukum tidur qailulah di dalam masjid. Ia menjawab : " Sesungguhnya aku melihat 'Utsmân bin 'Affân ketika itu dia telah memangku jabatan sebagai khalîfah , dia melakukan tidur qailulah di dalam masjid, kemudian ia bangun dan di bagian samping badannya terdapat bekas-bekas batu ". [22]
Wahai pembaca yang budiman, dengan teks-teks, bukti-bukti dan dalil-dalil yang telah kami sebutkan di atas, teranglah bahwa Masjid Nabi Asy-Syarîf tidak pernah dihampari dengan apapun. Hingga pada masa Khalifâh 'Umar bin Khattâb, kemudian masjid itu dihampari dengan batu-batu dari lembah. Kaum muslimin melakukan salat dan mereka bersujud di atas batu-batu hingga pada masa Khalifâh 'Utsmân pun batu-batu itu tetap ada. Sedangkan sebelum dihampari dengan batu-batu oleh Khalifâh 'Umar, kaum muslimin melaksanakan salât di masjid tersebut dan melakukan sujud di atas tanah tanpa batu satu pun (di atas tanah, red-).
Awal Munculnya Bid'ah
Sebelumnya kita telah mengkaji teks-teks, dalil-dalil dan bukti-bukti di atas bahwa Rasululllah Saw dan kaum muslimin yang melaksanakan salât bersama Rasulullâh Saw di dalam masjid tersebut. Ketika itu mereka melakukan sujud di atas tanah yang masih murni. Hingga pada masa 'Umar bin Khattâb, dialah orang yang pertama kali menghampari lantai masjid itu dengan batu-batu yang berasal dari lembah. Sejak saat itu kaum muslimin melaksanakan salât di masjid tersebut dan mereka melakukan sujud di atas batu-batu yang membuat penghalang antara dahi-dahi mereka dengan tanah. Kemudian datanglah Hajjâj bin Yusuf. Ia adalah gubernur yang dilantik oleh 'Abdul Mâlik bin Marwân pada masa Khalifâh Banî Umayyah untuk memerangi Ibnu Zubaîr. Ketika itu penduduk Haramain – Mekah dan Madinah – tertimpa kesengsaraan dan kesusahan akibat terjadinya peperangan. Dialah – Hajjâj bin Yusuf – yang melempari Ka'bah dengan manjaniq (alat perang semacam ketapel yang berukuran besar) dan telah membunuh lebih dari 100.000 orang di luar medan peperangan dan 30.000 kaum muslimat, 16.000 dari mereka itu hidup dalam keadaan telanjang di penjara.[23] Laki-laki fasiq, durjana dan kejam ini adalah orang yang pertama kali menghampari masjid Nabawi itu dengan tikar setelah mengangkat batu -batu dan debu-debu di dalam masjid itu keluar.
Berikut ini beberapa bukti atas pernyataan tersebut :
1. Al-Ghazâlî dalam kitabnya Ihyâ 'Ulumûddîn berkata : " Sesungguhnya ketika itu perbuatan menghampari masjid Nabawi dengan bawari atau tikar dianggap sebagai perbuatan bid'ah dan ada yang mengatakan bahwa hal itu dilakukan oleh Hajjâj bin Yusuf. Sebelum itu orang-orang tidak menempatkan sesuatu penghalang antara dahi-dahi mereka dengan tanah ketika mereka sujud.[24]
2. Qatâdah berkata bahwa ia melakukan sujud kemudian kedua matanya tertusuk oleh bagian tikar itu hingga ia menjadi buta, ia berkata : " Semoga Allâh melaknat Hajjâj. Ia telah membuat bid'ah dengan menghampari masjid ini dengan Bawari (sejenis tikar).[25]
3. 'Umar bin 'Abdul 'Azîz pernah menulis surat kepada 'Udaî bin Artâh. Ia berkata : " Telah sampai berita kepadaku bahwa engkau telah mengerjakan sunnahnya Hajjâj. Aku nasihatkan janganlah engkau mengerjakan sunnah tersebut karena sesungguhnya ia salât tidak pada waktunya. Ia pun mengambil zakât bukan dari orang yang berhaq diambil zakâtnya dan ketika ia melakukan hal itu, ia telah membuat kerusakan.[26]
Awal Munculnya Sajadah
Dengan membaca dan mengkaji riwayat-riwayat dan kitab-kitab sejarah tentang keadaan dan perkembangan masjid pada masa Rasulullâh Saw dan khalîfah yang empat, dapatlah kita ketahui dengan jelas dan pasti bahwa masjid-masjid ketika itu lantainya tidak dihampari dengan karpet, permadani, ataupun sajadah, bahkan juga tidak dihampari dengan tikar yang terbuat dari daun-daun dan pelepah korma atau dedaunan pohon-pohon lainnya walaupun dibolehkan sujud di atasnya. Apakah ini berarti ketika itu belum ada permadani, karpet atau sajadah? Tidak demikian. Karena sejarah menjelaskan baik secara langsung ataupun tidak bahwa kain-kain tebal dan permadani sudah ada sejak sebelum lahir Rasulullâh Saw. Masjid-masjid pada zaman khalîfah yang empat tetap tidak dihampari dengan permadani, bukan pula karena mereka tidak punya ide dan keinginan untuk itu. Akan tetapi karena hal itu dilarang oleh syari'at Islâm dan tidak boleh sujud ketika salat kecuali di atas tanah secara langsung. Dan demi menjaga syariat Islâm serta menganggap bahwa sujud di atas karpet atau permadani itu adalah termasuk bid'ah. Oleh karena itu, ketika terik panas para sahabat Nabi Saw - sebagaimana dalam riwayat-riwayat – menggengam batu-batu kecil agar menjadi dingin dan mereka jadikan sebagai alas sujud. As-Sakhâwi berkata " Sesungguhnya masjid-masjid sampai pada tahun 131 Hijriah atau 132 Hijriah masih tetap menggunakan tanah atau batu-batu kecil."*
Sehubungan dengan masalah sajadah dapat kita ketahui secara jelas dengan merujuk pada ensiklopedia Islâm (di dalam kitab itu disebutkan bahwa : " Istilah sajadah tidak ditemukan di dalam kitab suci Al-Qur'ân dan hadits-hadits yang sahih. Kata sajadah ini dapat dijumpai satu abad setelah penulisan hadits-hadits tersebut ".[27]
Ibnu Batutah mengatakan di dalam kitabnya Rihlah Ibnu Batutah berkata : " Orang-orang pinggiran kota Kairo Mesir telah terbiasa keluar rumah mereka untuk pergi melakukan salât Jum'at. Para pembantu mereka biasanya membawakan sajadah dan menghamparinya untuk keperluan salât mereka. Sajadah mereka itu terbuat dari pelepah-pelepah daun korma". Dia menambahkan " penduduk kota Mekkah pada masa ini (pada masanya Ibnu Batutah, red-) melakukan salat di Masjid Jâmi' dengan menggunakan sajadah. Kaum muslimin yang pulang haji banyak membawa sajadah buatan Eropa yang bergambar (ada yang bergambar salib) dan mereka tidak memperhatikan gambar tersebut. Sajadah masuk ke Mesir dengan jalan impor dari Asia untuk dipakai salat oleh orang-orang kaya, di dalam sajadah itu terdapat gambar mihrab yang mengarah ke kiblat.[28]
Syaikh Murtadâ Az-Zubaîdî di dalam kitabnya Ittihaful Muttaqin berkata : " Musallî hendaknya tidak melakukan salat di atas sajadah atau permadani yang bergambar dan dihiasi dengan beragam gambar yang menarik. Karena hal itu membuat si musâlli tidak khusyu' di dalam salatnya, karena perhatiannya akan tertuju pada warna-warni sajadah itu. Kita telah tertimpa bencana dengan permadani-permadani Romawi itu yang kini digelar di masjid-masjid dan rumah-rumah yang dipakai untuk salât, sehingga kebiasaan bid'ah itu telah membuat orang yang melakukan salat di tempat lainnya dianggap tidak sah dan kurang sopan. Lâ Hawla wa lâ Quwwata îllâ Billâh. Aku menduga kuat bahwa semua ini adalah akibat ulah dan perbuatan orang-orang Barat – semoga Allah mengutuk mereka – yang telah memasukkan sesuatu ke dalam kalangan kaum muslimin sedang mereka lalai dan lengah dari tipu daya musuh-musuh tersebut. Lebih aneh lagi, aku pernah melihat di sebuah masjid yang berhamparkan permadani, namun permadani itu memiliki gambar salib. Hal inilah yang membuatku semakin terkejut. Aku yakin bahwa semua ini adalah perbuatan dan tipu-daya orang-orang Nasrani. "[29]
Sujudnya Rasulullâh Saw selain di Masjid Nabawi
Sampai di sini dapat kita pahami bahwa sujudnya Rasulullâh Saw dan para sahabatnya di Masjid Nabawi Asy-Syarif di atas tanah yang murni tanpa adanya penghalang apa pun antara dahi dan tanah.
Kemudian kita bertanya-tanya; Bagaiamana sujudnya Rasulullâh dan para sahabat beliau, dalam salat mereka selain di Masjid Nabawi. Apakah ketika mereka bersujud melakukannya di atas tanah sebagaimana yang mereka lakukan di Masjid Nabawi atau tidak?. Marilah kita mengkaji beberapa riwayat yang menunjukkan bahwa Rasullulâh dan para sahabatnya melakukan sujud di tempat-tempat yang berbeda selain di Masjid Nabawi.
1. Al-Wâil bin Hajar berkata: " Aku melihat Rasulullâh Saw, apabila beliau bersujud, beliau meletakkan dahi dan hidungnya di atas tanah.[30]
2. Ibnu 'Abbâs berkata: " Sesungguhnya Nabi Saw pernah melakukan sujud di atas batu.[31]
3. 'A^isya berkata : " Aku tidak pernah melihat Rasulullâh Saw menyandarkan wajahnya (dahinya) ketika salât dengan sesuatu apa pun, selain di atas batu atau tanah, ketika beliau melakukan sujud.[32]
Dengan riwayat ketiga ini, jelaslah bagi kita dengan kesaksian istri beliau sendiri bahwa sesungguhnya beliau melakukan sujud di atas tanah dan menyandarkan dahi beliau yang mulia di atas tanah.
4. Abû Sa'îd al-Khudrî berkata: " Aku melihat Rasulullâh Saw pada dahinya terdapat bekas-bekas tanah dan air.[33]
5. Abu Hurairah berkata: " Aku melihat Rasullah Saw melakukan sujud pada hari turun hujan dan pada dahi beliau terdapat bekas-bekas tanah.[34]
Bukti ke 4 dan ke 5 ini menegaskan kepada kita bahwa Rasulullâh Saw mengutamakan sujud di atas tanah walaupun turun hujan. Sehingga para sahabat beliau dapat dengan jelas menyaksikan bekas-bekas tanah pada dahi beliau yang mulia.
6. Ibnu 'Abbâs berkata: " Aku melihat Rasulullâh Saw melakukan salât dengan kisâ (sejenis kain) yang berwarna putih pada waktu subuh yang sangat dingin. Untuk menghindar dari dingin, beliau menghamparkan kisâ itu pada tangan dan kaki beliau.[35]
7. Pada bagian lainnya Ibnu 'Abbâs berkata: " Aku melihat Rasulullâh Saw pada hari turun hujan, beliau menghamparkan kisâ tersebut di atas tanah untuk kedua tangan beliau ketika melakukan sujud.[36]
8. 'Abdullâh bin 'Abdurrahman berkata: " Rasulullâh Saw datang menjumpai kami, kemudian beliau salât bersama kami di dalam masjid Banî 'Abdil Asyhal. Ketika itu aku melihat beliau meletakkan kedua tangannya diatas bajunya ketika sujud ".[37]
Riwayat-riwayat ini menunjukkan dan menjelaskan bahwa Rasulullâh Saw beralaskan kisâ dan aba'ah-nya di atas tanah yang memisahkan antara kedua tangan dan kaki beliau. Hal ini menunjukkan keadaan darurat atau keterpaksaan ketika turun hujan. Akan tetapi walaupun beliau meletakkan alas untuk tangan dan kaki beliau, beliau tidak meletakkan secarik kain apapun yang menjadi perantara antara dahi beliau dan tanah sehingga dalam situasi hujan dan cuaca yang sangat dingin itu, dahi beliau menjadi basah dan terdapat bekas-bekas tanah.
Setelah kita melewati beberapa riwayat, hadits-hadits dari kitab-kitab Ahlus Sunnah wal Jama'ah dengan jelas, kita dapat memahami dan mengambil kesimpulan bahwa Rasulullâh Saw melakukan sujud ketika beliau melaksanakan salât di atas tanah baik itu masih berupa tanah yang murni maupun berupa batu-batuan.
Berikut ini kami ajak anda untuk menyimak hadits-hadits, riwayat-riwayat yang menceriterakan tentang sujudnya Rasulullâh Saw di atas bagian sesuatu yang tumbuh di atas tanah. Sebagaimana hal ini dicatat oleh para ahli hadits dari madzhab Ahlus Sunnah wal Jama'ah di dalam kitab-kitab mereka yang berupa hadits-hadits mu'tabarah atau diakui keabsahannya.
Sujudnya Rasulullâh Saw di atas sesuatu yang tumbuh di atas bumi
Kaum muslimin dan 'ulama mereka telah bersepakat tentang bolehnya melakukan sujud di atas sesuatu yang tumbuh di atas tanah. Hanya saja, yang mereka ikhtilaf-kan adalah tentang bolehnya sujud di atas segala sesuatu yang bisa dimakan dan bisa dipakai. Sebagian dari mereka membolehkan hal tersebut sesuai dengan ijtihad dan istinbât mereka. Akan tetapi sebagian yang lainnya tidak membolehkan hal tersebut karena mengikuti Imâm Ma'sum mereka.
'Ala kulli hal, tanpa diragukan lagi bahwa kaum muslimin dari pengikut Ahlus Sunnah wal Jama'ah tidak pernah menyangkal keabsahan sujudnya seorang muslim Syi'ah Imâmiyah di atas segala sesuatu yang ditumbuhkan oleh bumi yang tidak dimakan dan tidak dipakai. Dan yang masyhur menurut madzhab Syi'ah Imâmiyah adalah tidak boleh melaksanakan sujud dalam keadaan ikhtiar, yakni tidak dalam keadaan terpaksa kecuali di atas tanah atau di atas sesuatu yang ditumbuhkan oleh bumi dengan syarat tidak dimakan dan tidak dipakai.
Pernah terjadi perbincangan antara penulis dengan sebagian kaum muslimin tentang sujudnya orang Syi'ah Imâmiyah di atas tanah atau turbah. Pertama kali penulis tanyakan kepada mereka adalah apakah anda menganggap sah sujudnya orang-orang Syi'ah di atas tanah atau turbah itu sesuai dengan madzhab anda atau tidak. Mereka menjawab : " Ya, sujud semacam itu hukumnya sah, hatta menurut madzhab kami. Kemudian kami katakan kepada mereka : " Apabila sujud mereka (orang-orang Syi'ah) sujudu di atas tanah itu sah dan benar menurut madzhab anda, lalu mengapa anda memprotes perbuatan mereka itu. Sesungguhnya orang-orang Syi'ah tidak pernah memprotes dan menyangkal apa yang anda lakukan ketika kalian salât, tetapi kenapa kalian menyangkal orang-orang Syi'ah " ?
Yang ke dua, yang perlu anda ketahui adalah bahwa sesungguhnya orang-orang Syi'ah sama sekali tidak mengamalkan dan mempraktikkan kecuali apa yang telah diamalkan dan yang telah dipraktikkan oleh para Imâm Ma'sum dan mereka sama sekali tidak mengambil urusan yang berhubungan dengan ibadah mereka kecuali dari para Ma'sumîn tersebut. Juga mereka tidak mengikuti dan mentaati kecuali kepada orang-orang yang telah mendapatkan restu, izin serta ridâ dari Allâh Swt, dan Allâh Swt sendiri telah memerintahkan mereka dan begitu pun Rasulullâh Saw untuk melakukan hal itu. Maka bagi anda laksanakanlah 'amal ibadah anda dan biarkan mereka melaksanakan 'amal ibadah mereka. Hindarilah memprotes mereka tanpa dasar dan argumen karena sesungguhnya apa yang dilakukan oleh orang Syi'ah itu bersandar pada sanad dan dalil yang kuat dan dapat ditemukan dalam kitab-kitab utama anda.
Wahai saudara-saudaraku kaum muslimin yang berpegang teguh pada Madzhab Ahlus Sunnah wal Jama'ah, ketahuilah bahwa sesungguhnya apabila anda malaksanakan sujud di dalam salât-salât anda di atas turbah atau tanah sesuai dengan apa yang telah biasa dilakukan oleh orang-orang Syi'ah di dalam salât-salât mereka, maka sesungguhnya para 'ulama dan para imâm anda menganggap dan menilai perbuatan tersebut sah dan diterima tanpa adanya keraguan dan isykal(masalah) sedikit pun. Dan sesungguhnya Rasulullâh Saw serta keluarganya yang mulai dan suci beliau serta seluruh sahabat beliau akan menerima dan meridâi hal tersebut tanpa adanya keraguan sedikitpun. Akan tetapi apabila anda melakukan sujud di dalam salât-salât kalian di atas sesuatu yang tidak dipakai oleh orang-orang Syi'ah misalnya di atas sajadah atau di atas karpet maka bisa jadi 'ulama anda akan menerima dan menganggapnya sah. Akan tetapi sudah pasti bahwa para Imâm Ma'sum dan para 'Ulama Syi'ah tidak dapat menerima hal itu dan mereka tidak akan pernah mengangapnya sah.
Dan apabila sujud dalam salât tersebut tidak dianggap sah, maka salâtnya pun dianggap batal atau tidak sah. Dan tentunya apabila anda melakukan hal itu, yaitu melakukan sujud diatas selain apa-apa yang dipakai oleh orang-orang Syi'ah dan para Ma'sumîn mereka, padahal anda telah membaca hadits-hadits dan riwayat-riwayat Rasulullâh Saw ini, maka andapun boleh jadi ragu terhadap apa yang telah anda lakukan itu. Orang yang berakal sehat tidak akan memilih suatu perbuatan yang hanya diterima dan direstui oleh sebagian 'ulama saja tanpa diakui oleh 'ulama yang lainnya, apalagi para Ma'sumîn As. Orang yang berakal pasti akan memilih suatu perbuatan yang ia yakini berdasarkan argumen- argumen yang kuat yang diterima oleh seluruh 'ulama, para Imâm Ma'sûm serta Rasulullâh Saw. Silahkan anda menyimak riwayat-riwayat dan hadits-hadits berikut ini tentang sujudnya Rasulullâh Saw. Setelah itu renungkan dan pikirkanlah, semoga anda mendapat petunjuk dari Allâh Swt. Atau kalau tidak lakukanlah apa yang anda kehendaki tapi ingatlah sesungguhnya anda mas'ul, kelak dimintai tanggung jawab atas segala perbuatan anda pada hari pembalasan nanti.
Dalam surat At-Taubah disebutkan : " Berbuatlah kalian, sesungguhnya Allâh Swt dan Rasulnya serta orang- orang yang beriman, (yaitu para Imâm Ma'sûm) akan melihat amal perbuatan kalian dan kalian akan dikembalikan kepada Yang Maha Mengetahui segala yang ghâîb dan yang terang dan kalian akan diberitahukan tentang apa- apa yang kalian lakukan.( Qs. At-Taubah : 105 ).
Adapun riwayat-riwayat yang menjelaskan tentang sujudnya Rasulullâh Saw adalah sebagai berikut :
1. Abî Sa'îd al-Khudrî berkata : " Aku masuk menjumpai Rasulullâh Saw. Ketika itu beliau sujud di atas hasîr, yaitu tikar yang terbuat dari daun ".[38]
2. Anas bin Mâlik dan Ibnu 'Abbâs dan sebagian istri – istri Rasulullâh Saw seperti 'A^isya, Ummu Salamah dan Maîmunah – meriwayatkan suatu hadits yaitu : Adalah Rasulullâh Saw biasa melakukan salât di atas humrah yaitu sejenis tikar yang ditenun dari daun kurma ".[39]
3. Abî Sa'îd al-Khudrî meriwayatkan : " Aku melihat Rasulullâh Saw salât di atas tikar dan beliau sujud di atas tikar tersebut ".[40]
4. 'A^isya berkata : " Bahwa Rasulullâh Saw mempunyai tikar dan beliau biasa menggelar dan salât di atasnya ".[41]
5. Anas bin Mâlik meriwayatkan dan ia berkata : " Rasulullâh Saw salât di atas humrah dan sujud di atas humrah tersebut ".[42]
6. Anas juga meriwayatkan dan berkata " Rasulullâh Saw adalah insan yang mempunyai akhlak yang paripurna. Pernah suatu ketika datang waktu salat beliau berada di rumah kami. Ketika itu di rumah kami ada sebuah tikar kemudian beliau menyapu dan membersihkan tikar itu dan mengimami salât, lalu kami pun salât di belakang beliau dan tikar yang dipakai itu terbuat dari pelepah kurma ".[43]
7. Bukhârî, Muslim dan Ahmad meriwayatkan sebuah hadits dari Anas. Mereka berkata : " Maka kemudian aku berdiri menuju ke tikar yang sudah menghitam karena sudah lamanya dipakai. Kemudian kami bersihkan tikar itu dengan air. Kemudian Rasulullâh Saw berdiri dan melakukan salât berjamaah bersama kami ".[44]
8. Abî Sa'îd al-Khudrî bahwa dia pernah masuk menjumpai Rasulullâh Saw dan menemukan Rasulullâlh Saw sedang salât di atas tikar dan beliau salât di atasnya.[45]
9. Anas bin Mâlik meriwayatkan satu hadits, ia berkata : " Pernah Rasulullâh Saw mengunjungi rumah Ummu Sulaîm ketika tiba waktu salât, beliau melakukan salât di atas tikar yang kami miliki. Tikar itu beliau bersihkan dengan air ".[46]
Pembaca yang budiman, setelah mengkaji dan membaca hadits-hadits dan riwayat-riwayat yang menjelaskan tentang perbuatan dan amalan-amalan Rasulullâh Saw dalam sujud beliau maka jelaslah bagi kita bahwa beliau senantiasa melakukan sujud di atas tanah dan sesuatu yang tumbuh di atas tanah seperti tikar yang terbuat dari pelepah pohon kurma. Dan kami sama sekali, hingga kini, belum pernah melihat dan menemukan riwayat – riwayat bahwa Rasulullâh Saw sujud di atas sesuatu yang dimakan dan dipakai. Dan yang perlu anda ketahui adalah bahwa hadits-hadits yang kami paparkan di atas adalah hadits-hadits yang bersumber dari kitab-kitab Ahlus Sunnah wal Jama'ah sesuai dengan risalah ini. Kalau pun benar ada sebuah riwayat dan hadits yang menunjukkan sujudnya Rasulullâh Saw dan sebagian sahabat beliau di atas baju atau diatas kain dan sebagainya. Akan tetapi riwayat-riwayat yang menjelaskan bahwa Rasulullâh Saw dan sebagian sahabat-sahabat beliau salat di atas kain itu menjelaskan sebuah keadaan darurat seperti ketika musim dingin, dibawah derajat dan musim panas yang menyengat. Sedangkan kaum muslimin dan ulama seluruhnya telah bersepakat bahwa keadaan darurat itu menjadikan sesuatu yang sebelumnya dilarang menjadi boleh dilakukan.
Wahai kaum muslimin, khususnya anda para pengikut setia madzhab Ahlus Sunnah wal Jama'ah dan terlebih khusus lagi para pengikut madzhab Wahâbî ketahuilah bahwa para pengikut Syi'ah Imâmiyah, adalah mereka yang mengamalkan dan mempraktikkan hadits-hadits dan riwayat-riwayat tersebut ketika mereka melakukan salât itu sejak pada masa Rasulullâh Saw hingga saat ini. Dan kitab-kitab mereka yaitu kitab-kitab 'Ulama Syi'ah sarat dengan riwayat-riwayat semacam ini.
Orang-orang Syi'ah Imâmiyah mempunyai keyakinan bahwa sunnah dan sirah Rasulullâh Saw yang penuh berkah dan rahamt itu merupakan petunjuk, penuntun, pembimbing dan berkedudukan sebagai marja' atau tempat rujukan bagi seluruh kaum muslimin setelah kitab suci al-Qur'ân al-Karîm.
Wahai pengikut madzhab Ahlus Sunnah wal Jama'ah mengapa anda tidak mempraktikkan riwayat- riwayat tersebut dan tidak menjalankan perintah- perintah Rasulullâh Saw. Akan tetapi kalian malah menyalahkan dan melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hal tersebut di dalam sujud kalian. Bukankan anda membaca Al-Qur'an yang menyatakan :
" Wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian mendahului Allâh dan Rasul-Nya. Dan bertaqwalah kepada Allâh sesungguhnya Allâh Mahamendengar lagi Mahamengetahui." (Qs. Al-Hujurât : 1)
Para mufassirun dalam menjelaskan tentang asbabun nuzul (sebab-sebab turunnya ayat tersebut), mengatakan bahwa ketika Rasulullâh Saw hendak pergi ke medan Khaibar, beliau meninggalkan seseorang yang telah beliau tunjuk yang menempati tempatnya di Madinah al-Munawarah dan mengangkat orang itu sebagai Khalîfah dan pengganti beliau. Ketika itu 'Umar bin Khattâb memberikan usulan lain. Ia mengusulkan orang lain yang menjadi khalîfah Rasulullâh Saw di Madinah, bukan orang yang telah ditunjuk Rasulullâh Saw. Berkenaan dengan sikap 'Umar ini, turunlah ayat tersebut yang menjelaskan agar 'Umar bin Khattâb tidak mendahului segala yang telah ditetapkan Allâh dan Rasul-Nya.[47]
Dan perlu dijelaskan bahwa tidak bolehnya mendahului Allâh dan Rasul-Nya Saw itu berarti tidak boleh memberikan usulan atau ide tentang apa yang telah ditetapkan oleh Allâh dan Rasul-Nya tentang suatu urusan atau tidak boleh tergesa-gesa dalam menetapkan apa yang telah diputuskan oleh Allâh dan Rasul-Nya. Dan sudah tentu bahwa ayat tersebut mempunyai penafsiran dan pemahaman yang sangat luas yang mencakup dan meliputi seluruh tindakan dan perbuatan atas segala ketetapan dan ketentuan Allâh dan Rasul-Nya.[48]
Jelas bahwa apa yang anda lakukan, yaitu sujud di atas segala sesuatu yang tidak disyariatkan oleh Allâh dan Rasulnya itu merupakan misdâq dan bukti akan adanya mendahului ketetapan Allâh dan Rasul-Nya. Bahkan hal itu pun merupakan bukti dan misdâq dari ayat :
" Demi Tuhanmu, sungguh mereka tidak beriman sehingga mereka bertahkim kepadamu, wahai Muhammad tentang sesuatu yang mereka ributkan dan mereka ihtilafkan diantara mereka kemudian setelah itu mereka tidak mendapatkan kesempitan di dalam diri mereka terhadap apa yang telah engkau putuskan dan mereka menerima dengan sepenuhnya." (Qs. An-Nisâ : 65)
Setelah membaca penjelasan dan keterangan- keterangan ini, yaitu tentang sujudnya Rasulullâh Saw dan para sahabatnya, maka cobalah anda merujuk dan melihat hati sanubari anda. Perhatikanlah baik-baik apakah nurani anda mendapatkan kesempitan dan kesesakan setelah melihat dengan jelas risalah dan apa yang telah diputuskan oleh Rasulullâh Saw ataukah kalian akan menerimanya dengan sepenuh hati. Maka dari sini mengemuka sebuah pertanyaan, Sudahkah anda termasuk orang-orang yang beriman secara hakiki ataukah belum? Karena salah satu tanda-tanda dan sifat-sifat orang mukmin adalah bahwa dia tidak mempunyai pilihan sama sekali tantang suatu perkara selain apa yang telah ditetapkan oleh Allâh dan Rasul-Nya sebagaimana sesuai dengan firman Allâh Swt :
" Dan tidak sepatutnya bagi seorang mukmin laki-laki dan perempuan, apabila Allâh dan Rasulnya telah menetapkan suatu perkara atau suatu hukum, mereka mempunyai pilihan lain atas pilihan mereka dan barang siapa yang bermaksiat atau menentang Allâh dan Rasul-Nya, maka sungguh dia telah berada dalam kesesatan yang nyata." (Qs.Al-Ahzâb: 36 ).
Perhatikan, pikirkan dan renungkanlah ayat ini dengan cermat.
Wahai para pengikut setia Madzhab Ahlus Sunnah wal Jama'ah inilah, Nabi kita Rasulullâh Saw, Nabi yang penyayang dan yang penuh welas-asih terhadap seluruh umat manusia dan kaum muslimin. Sungguh beliau telah menjadi uswah dan suri teladan dalam segala urusan dan perkara bagi kita semua. Bukankah kaum muslimin telah bersepakat bahwa Rasulullâh Saw merupakan suri teladan pada setiap masa dan setiap keadaan? Dan sesungguhnya sîrah dan perilaku beliau merupakan cahaya terang benderang yang menerangi jalan-jalan mereka dalam seluruh sisi kehidupan? Dan bahkan dalam masalah sujud dalam salât pun diwajibkan untuk mengikuti dan meneladani beliau serta mengikuti sunah-sunah beliau.
Bukankah anda telah membaca ayat :
" Sungguh adalah Rasulullâh Saw merupakan suri teladan yang baik untuk kalian semua yaitu bagi orang-orang yang mengharapkan perjumpaan dengan Allâh dan hari akhirat dan mengingat Allâh sebanyak- banyaknya." (Qs. Al-Ahzâb : 21)
Sesungguhnya Rasulullâh Saw adalah merupakan suri teladan yang baik bagi anda, tidak hanya dalam masalah ini saja, bahkan di dalam seluruh aspek kehidupan dikarenakan sisi ma'nawiyah beliau yang sangat tinggi dan agung, kesabaran, istiqâmah dan keteguhan hati, kecerdasan, keikhlasan dan seluruh sifat beliau merupakan suri teladan bagi kita semua. Juga penguasaan beliau terhadap berbagai macam peristiwa, ketegaran beliau saat menghadapi berbagai kesulitan. Dan singkatnya, dalam segala hal beliau merupakan suri teladan yang paripurna bagi seluruh kaum muslimin.[49]
Dari uraian-uraian di atas kesimpulan yang dapat kita ambil dalam masalah sujud secara syar'i adalah meletakkan dahi di atas tanah secara langsung dan tanpa penghalang apapun, baik tempat sujud itu berupa tanah ataupun batu-batuan. Oleh karena itu, apabila seorang musallî – orang yang melaksanakan salât - ia melakukan sujud tanpa memenuhi syarat-syarat tersebut, misalnya ia dalam sujudnya meletakkan dahinya di atas sajadah, karpet, kain dan lain sebagainya, maka menurut pandangan syar'i sujudnya tidak dianggap sah dan salâtnya pun ikut batal.
Teranglah bahwa dalam madzhab Syi'ah Imâmiyah, hukumnya wajib meletakkan dahi di atas tanah, termasuk batu-batu, pasir dan tumbuh-tumbuhan yang tidak dimakan dan tidak dijadikan sebagai bahan untuk membuat pakaian. Sementara menurut 'ulama dan mujtahid Ahli Sunnah pun sebenarnya wajib pula hukumnya seperti pendapat Madzhab Syi'ah Imâmiyah bahkan menurut mereka, nampaknya lebih luas lagi hukum tersebut, yaitu menurut sebagian mereka sujud itu tidak sempurna kecuali dengan meletakkan anggota tubuh yang dalam salât wajib melakukan sujud. Anggota tubuh yang dimaksud itu berjumlah tujuh bagian yaitu : dua telapak tangan, dua dua kaki, dua lutut dan juga hidung kecuali di atas tanah. Sedangkan menurut Madzhab Syi'ah Imâmiyah yang diwajibkan menyentuh tanah hanyalah bagian dahi saja. Sedangkan dua telapak tangan, dua kaki, dua lutut dan juga hidung tidak diwajibkan untuk menyentuh tanah secara langsung.
Dan bahkan sebagian 'Ulama Ahlus Sunnah mensyaratkan adanya sentuhan dahi ke tanah tersebut, artinya sebagian besar dahi harus menyentuh tanah. Sementara di dalam madzhab Syi'ah Imâmiyyah, apabila dahi tersebut sudah menyentuh tanah sebesar uang logam saja, atau sebesar kuku ibu jari kita, itu dianggap sudah sah. Jadi kalau anda melakukan sujud di atas tanah atau turbah yang hanya sebesar kuku ibu jari saja, maka menurut madzhab Syi'ah Imâmiyah sujud anda sudah dianggap sah.
Dengan uraian di atas dapatlah kita pahami bahwa menyentuhkan dahi ke atas tanah bukanlah suatu hukum biasa tetapi merupakan ketetapan Allâh dan Rasul-Nya serta perilaku para sahabat dan para tabi'in.
Jadi sama sekali bukan sesuatu yang dibuat-buat oleh orang Syi'ah. Bahkan lebih jauh dari itu, bukanlah suatu kemusyrikan, sebagaimana yang dituduhkan sebagian kaum muslimin bahwa orang-orang Syi'ah telah menyembah batu atau tanah sujudnya mereka di atas tanah yang besarnya sebesar korek api itu. Janganlah anda begitu mudahnya menilai orang lain telah berbuat musyrik sedangkan argumen-argument anda telah cocok dan sesuai dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang Syi'ah Imâmiyah.
Jelaslah bahwa meletakkan dahi di atas tanah ketika salat merupakan kewajiban yang tidak bisa ditawar-tawar ketika tidak ada halangan. Dan sujud di dalam syari'at Islâm tidaklah sah dan tidak dapat dinamakan sujud apabila dahinya itu tidak menyentuh bagian tanah secara langsung. Adapun adanya hadits-hadits dan riwayat -riwayat yang menceriterakan bahwa Rasulullâh saw serta para sahabatnya pernah melakukan sujud di atas kain, hal ini mereka lakukan dalam keadaaan darurat dan terpaksa seperti dalam keadaan yang sangat panas, sangat dingin atau sehabis turun hujan. Dengan demikian, bahwa hukum asal atau hukm awwalî sujud dalam salât adalah wajib meletakkan dahi di atas tanah. Sedangkan hukm tsanawî ataau hukum ke dua yaitu ketika dalam keadaan darurat, - dalam pembahasan kita ini – maka dibolehkan meletakkan dahi di atas kain.
Hadits-hadits berikut ini menjelaskan bahwa Rasulullâh Saw dan sebagian dari sahabatnya melakukan sujud di atas kain atau baju ketika berada dalam keadaan darurat.
1. Ibnu 'Abbâs berkata : " Aku melihat Rasulullâh Saw melakukan salât di atas baju yang berwarna putih ketika Salât Subuh. Saat itu udara sangat dingin. Beliau menggunakan kain itu untuk menghindar dari rasa dingin di bagian tangan dan kakinya ".[50]
2. Ibnu 'Abbâs berkata : " Aku pernah melihat Rasulullâh Saw pada musim hujan beliau menghindari lumpur ketika melakukan sujud dengan meletakkan baju beliau pada tangannya ".[51]
3. 'Abdullâh bin 'Abdurahman berkata : " Rasulullâh Saw datang kepada kami dan melakukan salât berjamaah bersama kami di masjid Banî 'Abdul Ashal. Aku melihat beliau meletakkan tangannya di atas bajunya, ketika Beliau melakukan sujud.[52]
4. Tsâbit bin Samîd berkata : " Sesungguhnya Rasulullâh Saw pernah salât bersama kami di Masjid 'Abdul Ashal sementara beliau memakai baju yang berlipat yang beliau jadikan alas tangannya untuk menghindari dinginnya batu-batu.[53]
5. Anas berkata : " Apabila kami melakukan salât dibelakang Rasulullâh Saw pada siang hari yang panasnya sangat menyengat. Kami melakukan sujud di atas baju kami untuk menghindari terik panas matahari.[54]
Dengan riwayat-riwayat di atas dapat kita pahami bahwa seseorang dibolehkan melandasi anggota sujudnya dengan baju ketika berhalangan atau dalam keadaan darurat. Misalnya, ketika udara sangat panas atau sangat dingin, atau tanah berlumpur.
Dalam mencermati riwayat-riwayat yang menjelaskan sujud dalam keadaan darurat atau keadaan terpaksa, kita melihat bahwa Rasulullâh Saw dan para sahabatnya sujud diatas kain walau dalam keadaan darurat.
Kita tidak mendapatkan adanya riwayat yang menjelaskan bahwa Rasulullâh Saw dan para sahabat pernah sujud atau sajadah di atas karpet meskipun dalam keadaan darurat.
Oleh karena itu, salah seorang ulama Sunni yaitu Asy-Syaukâni dalam kitabnya Nairul Autâr ia berkata : " Hadits-hadits diatas yaitu sujud ketika berhalangan menegaskan bolehnya sujud di atas baju ketika berada dalam keadaan darurat, hal ini menunjukkan bahwa hukum asalnya adalah menyentuh tanah secara langsung karena didalam riwayat-riwayat tersebut diterangkan bahwa meletakkan baju itu dapat dilakukan hanya ketika berhalangan. Dan demikian juga sebagian orang berdalil dengan hadits-hadits tersebut bahwa dibolehkannya melandaskan baju itu hanyalah baju yang dipakai. Bukan dengan sajadah, karpet dan lainnya yang tidak digunakan untuk salât.[55]
Dalam hal ini pula An-Nawawi berkata bahwa Abu Hânifâh memberikan hukum seperti ini yaitu melandaskan dengan baju yang dipakai ketika sujud. Demikianlah pendapat jumhur atau umumnya fuqaha dalam madzhab Ahli Sunnah wal Jama'ah.
Bahkan Al-Bukhârî dalam Sahih-nya memberikan judul sebagai berikut : Sujud di atas baju ketika udara dan batu-batu sangat panas menyengat. Hadits-hadits di atas menegaskan tentang tidak bolehnya sujud di atas batu kecuali benar-benar berhalangan.[56]
Bukan tempatnya di sini untuk menyebutkan seluruh hadits-hadits dan riwayat-riwayat yang ada berkenaan dengan perintah Rasulullâh Saw untuk sujud di atas tanah. Beberapa hadits dan riwayat yang telah kami sebutkan di atas sudah memadai untuk menegaskan kepada kita bahwa Rasulullâh Saw senantiasa memerintahkan para sahabatnya untuk sujud dalam salâtnya dengan meletakkan dahi secara langsung di atas tanah. Dan bahkan ada beberapa riwayat dan hadits-hadits yang mengkisahkan pelarangan Rasulullâh Saw kepada sahabatnya untuk melandasi dahinya yang akan menghalangi antara dahinya dan tanah. Diantara hadits-hadits larangan Rasulullâh Saw itu, yang bisa juga dikatakan sebagai dalil bahwa sujudnya beliau dan para sahabat beliau dalam keadaan darurat adalah :
1. Saleh As-Sabaî berkata bahwa pernah Rasulullâh Saw melihat seseorang melakukan sujud dan di sampingnya terdapat surbannya yang menghalangi. Lalu Rasulullâh Saw menyingkap surbannya itu dari dahinya.[57]
2. Ayat bin Abdullah berkata : Pernah Rasulullâh Saw melihat seseorang melakukan sujud di atas surbannya. Lalu beliau memberi isyarat kepada orang tersebut dengan tangan beliau supaya orang itu mengankat surbannya dan beliau memberikan isyarat kepada dahi beliau, yang maksudnya supaya orang tersebut menyentuhkan dahinya di atas tanah.[58]
Masih banyak lagi hadits-hadits dan riwayat-riwayat yang menjelaskan bahwa Rasulullâh Saw senantiasa memerintahkan sahabat-sahabatnya untuk melakukan sujud ketika salât agar meletakkan dahi di atas tanah secara langsung. Mengingat terbatasnya tempat dan waktu, tidak mungkin untuk menuangkan semua hadits-hadits yang berkenaan dengan hal tersebut - dalam risalah ini.
Apabila kita telaah dan kaji riwayat-riwayat di atas, dengan hati yang tulus dan ikhlas, tidaklah sulit bagi kita untuk memahami bahkan untuk mengikuti segala apa yang telah dilakukan dan dicontohkan oleh Rasulullâh Saw dan para sahabat beliau.
Sujudnya Para Tabi'in
Kami memandang perlu untuk menghadirkan bukti-bukti lainnya yang disandarkan kepada Tabi'in, generasi setelah Rasulullâh Saw dan sahabat. Bukti-bukti yang kami hadirkan ini adalah sebagai penopang dan sandaran atas bukti-bukti yang telah kami hadirkan sebelumnya.
Dalam pembahasan kita tentang sujud di atas tanah menurut riwayat Ahli Sunnah wal Jama'ah juga didukung oleh para tabi'in yang merupakan generasi pertama setelah wafatnya Rasulullâh Saw. Sebagian dari tabiin itu bahkan membawa alas sujud berupa bata mentah di dalam setiap perjalanan mereka untuk digunakan sebagai tempat bersujud dalam salât.
Bukti-bukti tersebut antara lain :
1. Umar bin 'Abdul 'Azis diceriterakan bahwa ia tidak hanya merasa cukup dengan tikar yang dibuat dari pelepah kurma saja, bahkan ia juga meletakkan debu di atas tikar tersebut untuk ia jadikan sebagai alas sujud.[59]
2. Urwah bin az-Zubair dikisahkan bahwa ia tidak suka melakukan salât kecuali di atas tanah.[60]
3. Masruk bin al-Ajdâ dikatakan bahwa ketika ia melakukan perjalanan dengan perahu ia selalu membawa bata mentah untuk ia jadikan sebagai alas sujud.[61]
4. Alî bin 'Abdullâh bin 'Abbâs bahwa Razin berkata : " Pernah 'Alî bin 'Abdullâh bin 'Abbâs mengirimkan surat kepadaku. Ia berkata: " Kirimkanlah kepadaku lempengan batu dari Gunung Marwah (nama sebuah gunung yang ada di kota Mekah) untuk aku jadikan sebagai alas sujudku " .[62]
5. Atâ bin Abî Rabah berkata : " Tidak dibenarkan melakukan salât kecuali di atas tanah atau batu-batu kecil.[63]
6. bin Az-Zubair. Ia sama sekali tidak suka melakukan sujud dalam salâtnya kecuali di atas tanah.[64].
7. Ibrahîm an-Naha'i. Ia melakukan sujud di atas tikar dari daun burdi dan ia melakukan sujud di atas tanah.[65]
8. Muhammad bin Muslim Az-Zuhrî bahwa Muammar pernah sujud kepadanya tentang sujud di atas tinfasah (tikar yang dibuat dari pelepah pohon kurma). Ia menjawab : " Hukumnya tidak apa-apa yaitu boleh. Karena Rasulullâh Saw pernah melakukan salât diatas tikar yang dibuat dari pelepah pohon kurma.[66]
9. Makhul. Ia senantiasa melakukan salât di atas tikar yang terbuat dari daun burdi dan ia melakukan salât di atas tikar tersebut.[67]
10. Muhammad bin Sirîn. Ia senantiasa membawa bata mentah untuk ia jadikan sebagai alat sujud ketika ia bepergian dengan perahu.[68]
11.Jabir bin Zaid. Ia tidak suka melakukan salât di atas apapun yang terbuat dari binatang dan ia selalu menyentuhkan dahinya ketika ia melaksanakan salât di atas tumbuhan.[69]
12. Hasan al-Basrî. Ia selalu meletakkan batu-batu kecil di tempat ia melaksanakan sujudnya.[70]
Riwayat-riwayat yang kami utarakan kepada anda di atas hanyalah sebagian riwayat-riwayat yang menjelaskan perilaku salat dan sujudnya para Tabi'in yang dapat ditulis oleh para perawi dan diabadikan dalam kitab-kitab sejarah. Yang perlu anda ketahui adalah seluruh riwayat tersebut adalah riwayat yang bersumber dari Ahlus Sunah wal Jama' ah yang tersebut di dalam kitab-kitab utama mereka.
Dengan demikian jelaslah bahwa sujud di atas tanah, lempengan batu yang bisa dibawa ke mana-mana, batu tanah atau turbah bukanlah merupakan ulah dan perbuatan orang-orang Syi'ah. Sujud di atas tanah bukan suatu pekerjaan yang dibuat-buat dan main-main belaka, akan tetapi ia merupakan ajaran Islâm yang telah disampaikan oleh Rasulullâh Saw kepada sahabat-sahabat beliau dan diikuti oleh para tabi'in yang pada dasarnya adalah bahwa sujud itu wajib hukumnya untuk dilakukan diatas tanah atau tumbuh-tumbuhan yang tidak dimakan dan tidak dipakai, baik tanahnya itu dibuat dan dipadatkan atau batunya dibuat sedemikian rupa sehingga bisa dibawa atau dengan tanah apapun. Dengan syarat batu atau tanah tersebut bersih dari najis dan kotoran yang lainnya.
Sekali lagi kami ingatkan bahwa sujud di atas tanah, di atas batu ataupun di atas tumbuhan yang tidak dipakai ataupun tidak dimakan bukanlah berarti sujud kepada tanah itu. Anda harus bisa menbedakan antara sujud di atas tanah dengan sujud kepada tanah. Sehingga jelaslah bahwa apa yang dituduhkan oleh orang-orang Wahâbî kepada orang-orang Syi'ah yang melakukan sujud di atas sekeping tanah sebagai perbuatan syirik dan menyembah kepada tanah, tuduhan itu sama sekali tidak benar dan tidak mempunyai dasar yang kuat.
Karena apabila sujud di atas tanah itu dikategorikan dan dihukumi sebagai perbuatan syirik karena dianggap bersujud dan menyembah tanah, maka seluruh kaum muslimin yang melakukan sujud di atas sajadah, sapu tangan, karpet dan lain sebagainya termasuk melakukan perbuatan syirik. Karena dengan demikian mereka akan dikatakan menyembah sajadah, sapu tangan, dan karpet. Jadi sujud di atas tanah sama sekali bukan sujud dan beribadah kepada tanah itu. Sebagaimana seluruh kaum muslimin ketika mereka melaksanakan salât diwajibkan menghadap Ka'bah al-Musyarrafah hal ini berarti bahwa mereka menyembah Ka'bah itu. Sama sekali tidak demikian. Dan semua ketentuan dan hukum-hukum syariat ini yang diperintahkan oleh Allâh Swt dan Rasulnya Saw yang sedemikian rupa itu pasti mengandung hikmah yang tinggi nilainya yang sebagiannya dapat diungkap dan diketahui oleh para ulama dan sebagian kaum muslimin dan masih banyak lagi hikmah-hikmah ibadah itu yang tidak bisa diungkap atau belum dipahami oleh kaum muslimin. Bagian akhir dari risalah ini kami akan membeberkan sedikit tentang hikmah sujud di atas tanah.[]
Catatan Kaki:
[1]Lihat Al-Mughnî, jilid 1, hal. 520.
[2] Lihat Al-Umm, jilid 1 , hal. 114.
[3] Lihat Al-Muhâddits Al-Bahrânî, Al-Hadâiqun Nâdira, jilid 8, hal. 273.
[4] Lihat Tahrîr al-Wasilah, jilid 1, hal.156.
[5]
[6] Sahih al-Bukhâri, jilid 1, hal. 209, Muslim, jilid 1, hal. 371 dan Wasâilus Syi'ah, jilid 3, hal. 423.
[7] Lihat kitab "Aqâ'idunâ" hal.115-116.
[8] Lihat Sîrah Sayyidul Mursalîn, jilid 1, hal. 567.
[9] Lihat Sirah Sayidul Mursalin, jilid 1, hal 570. [9]
[10] Lihat As-Sujud 'ala Turbat al-Husaîniyah hal. 193
[11] Hadits ini dikeluarkan oleh Ashâbul Shihâh yaitu para ulama hadits yang mempunyai kitab Sahih dan sunan, yang diantaranya adalah al-Bukhârî di mana ia mengeluarkan hadits tersebut dalam kitab Sahih-nya pada jilid 1, hal. 19 pada Kitâbus Saleh dalam kitab Naumu al- Rijâl fil Masjid dan pada jilid 5, hal. 18 dan 19 pada bab Manâqib 'Alî bin Abî Tâlîb As sebagaimana kami singgung di atas dan pada jilid 8, hal. 45 dalam Kitâbul Adâb pada bab al-Takannî bi Abî Turâb dan pada jilid 8, hal. 63 dalam kitab Al-Isti'dzân pada bab al-Qâilah fil Masjid dan juga Muslim meriwayatkannya dalam kitab Sahih-nya yaitu kitab Fadâil al-Sahâbah pada bab Fadâil 'Alî bin Abî Tâlîb As. Dan juga Ibnu Jarîr Al-Tabarî meriwayatkannya dalam kitab Târikh-nya paada jilid 2, hal. 124.
[12] Lihat Sahih Muslim pada jilid 4, hal. 188 pada bab al- îlâ Wa'tizâlun Nisâ wa Takhyîr hunna waqawlahu Ta'ala (wa in Tazzâharâ 'Alaihi).
[13] Lihat Addurr al-Tsamînah hal. 371.
[14] Lihat Sahih al-Bukhâri, jilid 1, hal. 93, Bab Bunyânul Masâjid dan Fathul Bârî Jilid 2, hal. 86 dan As-Sunanul Kubrâ, Jilid 2, hal 438.
[15] Lihat Wafâul Wafâ bi akhbâr dârul Mustafâ, jilid 1, hal. 473.
[16] Lihat Wafâul Wafâ bi akhbâr dârul Mustafâ, jilid 1, hal. 473.
[17] Lihat Tabaqât Ibnu Sa'ad, jilid 3, hal. 283-284. Dan Manâqib' Umar Ibn al-Jauzî, Hal. 63.
[18] Lihat As-Sunanul Kubrâ, Jilid 2, Hal. 441 dan Manâqib 'Umar oleh Ibnul Jawzî, Hal. 63.
[19] Wafâul Wafâ bi akhabâril Mustafâ, Jilid 1,Hal.473.
[20] Lihat Al I'tisâm, jilid 1, hal. 64
[21] Lihat At- Tuhfatul Latîfah, jilid 1, hal. 68 dan 291.
[22] Lihat As-Sunanul Kubrâ, jilid 2, hal. 447.
[23] Lihat Murûjudz Dzahab, jilid 3, hal. 166.
[24] Lihat Ihyâ 'Ulumûddîn, jilid 1, hal. 80.
[25] Lihat Ittihâful Muttaqîn, jilid 1, hal.727.
[26] Lihat Sîrah 'Umar bin 'Abdul 'Aziz oleh Ibnul Jawzî, hal. 88-89.
* Lihat At-Tuhfatul Latifah, jilid 1, hal 376.
[27] Dairatul Ma'ârîf Al-Islamiyah, jilid 11, hal 275.
[28] Lihat Rihlah Ibnu Batutah, jilid 1, hal 72-73.
[29] Lihat Ittihaful Muttaqin bisyarhi Ihya 'Ulumûddîn, jilid 3, hal. 201,
[30] Lihat Ahkamul Qur'ân oleh Al-Jassâs al-Hanafî, jilid 3, hal. 209
[31] Lihat Sunan al-Baihaqî, jilid 2, hal.102.
[32] Lihat al-Musannif, jilid 1, hal.397 dan Kanzul Ummâl, jilid 4, hal. 212.
[33] Lihat Sunan an-Nasâ'î, pada Bab as-Sujud 'alal Jabin. jilid 2, hal 208,
[34] Lihat Majmauz Zawâid, jilid 2, hal 126.
[35] Lihat Sunan al-Baihaqî, jilid 2, hal. 106.
[36] Kitab Sîratunâ wa Sunnatunâ, hal. 132, menukil dari Ahmad bin Hanbal.
[37] Lihat Sunan Ibnu Mâjah, jilid 1, hal. 328, pada Bab Sujud 'ala Tsiyâb fil Harri wal Bardi.
[38] Lihat Sunan al-Baihaqî, jilid 2, hal. 421 pada Kitâbus Salât dalam Bâbus Salâh 'alâl Hasîr.
[39] Lihat Sunan Ibnu Mâjah, jilid 1, hal. 328 pada Bâbus Salât 'alâl humrah dan juga lihat Sunan Al-Baihaqî, jilid 2, hal 421 dan Musnad Ahmad bin Hanbal jilid 1, hal.40.
[40] Lihatlah Sîratunâ wa Sunnatunâ pada hal. 130 yang menukil dari Sahih Muslim.
[41] Lihat Fathul Bârî, jilid 1 hal. 413.
[42] Lihat Al-Mu'jamul Ausat was Saghîr oleh Tabrani.
[43] Lihat Sahih Muslim, jilid 1, hal. 457 dan Sunan Al-Baihaqî, jilid 3 hal 436.
[44] Lihat Sahih al- Bukhârî, jilid 1, hal.107 dan Sahih Muslim, jilid 1 hal. 457.
[45] Lihat Sahih Muslim, jilid 1, hal 458.
[46] Lihat At-Tabaqâtul Kubrâ , jilid 8 hal 312.
[47] Lihat Al-Amtsal fî Tafsîri Kitâbillah, jilid 16, hal. 510 yang menukil dari Tafsir Al-Qurtubî, jilid 9, hal. 621.
[48] Ibid., hal. 512.
[49] Lihat Al Amtsal fi Kitâbillâhil Munzal, jilid 13, hal. 197.
[50] Lihat Sunan Al-Baihaqî Jild 2 hal. 106.
[51] Lihat Sîratunâ wa Sunnatunâ hal. 132 yang menukil dari Ahmad bin Hanbal.
[52] Lihat Sunan Ibnu Mâjah, jilid 1, hal. 328 bab as-sujud 'alâ siyab fil harri wal bar.
[53] Ibid.
[54] Lihat Sunan an-Nasa'i, jilid 2, hal.216 dan Sunan ad-Dairimi jilid 1 hal. 308.
[55]Lihat Asy-Syaukani, Nairul Autar jilid 2, hal 1268. Ibn Hajar juga berkata yang sama didalam kitabnya Fathul Bari, jilid 1, hal. 414. Demikian juga di dalam Sahih Al-Bukhârî,jilid 1, hal. 101 dan pada jilid 2, hal 61 diterangkan tentang adanya sebagian sahabat yang sujud di atas baju tersebut.
[56] Lihat juga Sahih Muslim, jilid 2, hal 103. Sunan Ibnu Mâjah, jilid 1, hal 321. Sunan Abû Dâwûd, jilid 1 hal. 106. Musnad Ahmad bin Hanbal, jilid 1, hal 100. Nailul Autâr jilid 2, hal. 268.
[57] Lihat Sunan Al-Baihaqî, jilid 2, hal 105
[58] ibid.
[59] Lihat Fathul Barî ,jilid 1, hal. 410 dan Syarh Al-Ahwaji, jilid 1 hal. 272, Ihyâ 'Ulûmuddîn, jilid 1, hal. 149 dan Ittihâtul Muttaqîn , jilid 2, hal. 32.
[60] Ibid.
[61] Lihat Tadaqatul Kubrâ, jilid 6, hal. 79.
[62] Lihat Ahbarîl Makkah, jilid 3, hal 151.
[63] Lihat Al-Muhalah, jilid 4 , hal 83.
Lihat Naidul Autar, jilid 2, hal 127. [64]
[65] Ibid.
[66]Lihat Al Musanif Jilid 1 Hal. 394.
[67] Ibid, hal 399.
[68] Lihat Fathul Bari, jilid 2, hal 33.
[69] Lihat Naidul Autâr, jilid 2, hal 126.
[70] Lihat Al- Musanif , jilid 2, hal. 61 dan 413.