Para ulama Islam sepakat bahwa nikah mut’ah adalah sah pada masa Nabi saw. Dalam beberapa sumber riwayat Ahlusunah, terdapat riwayat dari Umar bin Khattab, khalifah kedua, yang mengakui bahwa nikah mut’ah diperbolehkan pada masa Nabi saw dan ia sendiri yang melarangnya. Di antaranya adalah ketika Umar berkata bahwa ada dua mut’ah yang diperbolehkan pada masa Nabi Islam saw, namun Aku mengharamkannya dan menghukum orang yang melakukannya: yang satu nikah mut’ah dan yang lainnya adalah mut’ah haji.
Merujuk pada riwayat tersebut, ulama Imamiyah meyakini bahwa nikah mut’ah pertama kali dilarang oleh Umar bin Khattab dan tindakannya tersebut merupakan bentuk bid’ah dalam agama dan ijtihad terhadap nash serta bertentangan dengan syariat Nabi Muhammad saw. Asqalani (773-852 H), salah satu ulama Sunni, juga mengatakan bahwa nikah mut’ah diperbolehkan pada masa Nabi saw, dan setelah beliau saw, si sepanjang masa kekhalifaan Abu Bakar dan Sebagian masa kekhalifaan Umar bin Khattab diperbolehkan dan sudah menjadi kebiasaan. Namun pada akhirnya, Umar menyatakan hal itu haram di akhir hayatnya.
Namun sebagian besar ulama Sunni dengan mengutip beberapa riwayat dari sumber mereka, mengatakan bahwa hukum nikah mut’ah telah dihapus pada zaman Nabi saw oleh Nabi sendiri. Beberapa juga meyakini bahwa hukum nikah mut’ah dihapus pada masa Nabi saw dengan turunnya Ayat-ayat Al-Qur’an seperti ayat 5 sampai 7 surah al-Mu’minun. Mereka meyakini bahwa menurut ayat-ayat tersebut, orang mukmin adalah orang-orang suci yang tidak mencari kenikmatan seksual dengan siapa pun selain dengan istri atau budak perempuan mereka. Dengan mencari kenikmatan seksual dengan cara lain, maka mereka telah melanggar batasan Tuhan. Nikah mut’ah, menurut mereka tidak termasuk dalam kedua perkara tersebut (istri dan budak). Oleh karena itu, hal ini merupakan pelanggaran terhadap batasan Tuhan.
Menanggapi hal ini, dikatakan bahwa ayat 5 sampai 7 Surah al-Mu’minun diturunkan di Mekah, dan ayat Mut’ah sebagai dalil kebolehan nikah mut’ah diturunkan setelah ayat-ayat tersebut dan di Madinah. Ayat yang menghapus sebuah hukum tidak boleh turun sebelum ayat yang menetapkan hukum tersebut. Selain itu, dalam nikah mut’ah, perempuan dianggap sebagai istri sah laki-laki selama jangka waktu yang ditentukan oleh kedua pihak dalam perkawinan. Oleh karena itu, hubungan perkawinan mereka tidak melanggar batasan Tuhan.