Wukuf di padang Arafah adalah salah satu manasik unggulan dan istimewa yang dilakukan oleh jamaah haji dari pelbagai daerah dan negara. Manasik pertama yang dilaksanakan oleh jamaah haji setelah ihram dari Mekkah al-mukarramah adalah wukuf di Arafah. Demikian penting kehadiran di Arafah ini sehingga Nabi saw bersabda: الحج عرفة Haji adalah Arafah.
Ya, Arafah adalah sentral amalan dan manasik haji, sehingga tanpa kehadiran di Arafah maka ibadah haji dianggap kehilangan ruh dan makna. Sebab, di Arafahlah jamaah haji bisa dengan khusuk melakukan muhasabah dan perenungan diri serta tafakur. Di sinilah dia bisa merasakan kekerdilan dan kehinaan serta kekecilan dirinya dan betapa besar dan dahsyat karunia, nikmat dan ampunan Ilahiah. Di sinilah jamaah haji sebagai sang pencinta yang datang dari jarak yang dekat ataupun yang jauh bisa mengeskpresikan cintanya dengan membaca doa Arafah Imam Ali Zainal Abidin atau doa Arafah Sayidina Husain yang memiliki kandungan sufistik yang luar biasa. Hampir sulit ditemukan doa Arafah sedalam dan sehebat kedua doa tersebut.
Alasan di balik penamaan Arafah
Terdapat riwayat yang mengisyaratkan bahwa dinamakan Arafah karena Nabi Adam-alaihisalam–mengakui dosanya di tempat ini, sedangkan menurut riwayat lain bahwa penamaan ini dilatarbelakangi oleh realita bahwa manusia mengenal asal muasalnya, yaitu Allah Swt di tempat tersebut.
Dimensi Zaman
Sesungguhnya manusia diciptakan untuk mencintai kesempurnaan dan wushul (ketersampaian) kepada Allah Swt, namun banyak halangan yang merintanginya menuju kesempurnaan yang diidamkannya, di antaranya adalah serangan dosa yang menjadi jerat psikologis dan spiritual bagi manusia. Di sinilah riwayat-riwayat menegaskan perihal urgensi waktu wukuf di Arafah yang dimulai dari zawal (zuhur) hari kesembilan Dzilhijjah sampai terbenamnya matahari. Yang demikian itu karena penentuan waktu ini sangat menentukan perjalanan manusia untuk mencapai tujuannya yang terwujud dalam pengakuannya akan kelalainnya terhadap harapan mendapatkan ampunan Ilahi dan ridha-Nya. Oleh karena itu, riwayat menegaskan bahwa Arafah menjamin sampainya manusia terhadap apa yang diharapkannya dari ampunan dan ridha Allah dengan asumsi bahwa ada dosa-dosa yang tidak diampuni kecuali dengan kehadiran seseorang di Arafah. Dan sebagaimana diriwayatkan bahwa Nabi saw bersabda:
مِنَ الذنوبِ ذنوب ٌ لا تُغفر إلا بعرفات
Dari pelbagai dosa, ada dosa yang tidak diampuni kecuali dengan (kehadiran pendosa) di Arafah.
Maka, sebesar dan seberat apapun dosa seseorang. hendaklah ia tidak berputus asa dan menyerah untuk mengejar rahmat Allah azza wa jalla, namun hendaklah ia senantiasa berharap dan bersikap optimis untuk meraih rahmat Ilahi dan ridha-Nya. Karena itu, Nabi saw bersabda:
أعظم أهل عرفات جُرماً من انصرف وهو يظن أنه لن يُغفر له
Sejahat-jahat orang yang wukuf di Arafah adalah orang yang meninggalkan tempat tersebut dalam keadaan berprasangka buruk bahwa (dosanya) tidak diampuni.
Perlu dicatat bahwa hadis tersebut tidak bermakna bahwa setiap penjahat dan pendosa dengan sekadar hadir di Arafah—tanpa menyesali perbuatannya dan tekad untuk mengembalikan hak orang lain yang diambilnya serta keinginan kuat untuk “pengsiun” dari kejahatan—maka dosanya—apapun bentuknya pasti akan diampuni. Tentu maknanya tidak demikian. Kalau maknya seperti itu, maka setiap koruptor dan penjahat kemanusiaan akan menjadikan Arafah sebagai wisata spiritual favorit yang mengasyikkan dan menyenangkan.
Ketika Nabi saw telah menyelesaikan manasik haji dan di jalan pulang, beliau berpapasan dengan seseorang yang tajir melintir. Lelaki kaya tersebut memandangi Nabi saw sembari berkata: Ya Rasullah saw, aku telah kehilangan kesempatan untuk melaksanakan ibadah haji, tetapi aku mempunyai harta yang cukup banyak. Perintahkan padaku ya Rasul saw, apa yang mesti aku lakukan supaya aku bisa mendapatkan pahala dan kebaikan ibadah haji yang aku lewatkan.
Rasul saw bersabda:
لو كان لديك مثل جبل أبي قبيس من ذهب وأنفقته بأجمعه في سبيل الله لما أدركت ثواب
الحج
Andaikan engkau mempunyai harta berupa emas sebanyak gunung Abi Qubais dan seluruhnya engkau infakkan di jalan Allah niscaya engkau tidak akan pernah mendapatkan pahala haji.
Barangkali Nabi saw ingin menekankan kepada lelaki kaya tersebut dan siapapun yang seperti dia bahwa kehadiran di tanah suci (utamanya Masjidil Haram dan Masjid Nabawi) dan melaksanakan ibadah haji serta pelbagai manasiknya yang mengandung praktik ‘irfani dan tasawuf yang agung tidak dapat digantikan dengan ibadah-ibadah lainnya. Meskipun mungkin saja seseorang melalui shalatnya dan infaknya ia mendapatkan pahala haji, tapi merasakan kefakiran diri dan penghambaan sejati hanya biasa dilakukan dengan berpakaian ihram, wukuf di Arafah, bermalam di Mina, melempar jumrah, menyembelih binatang (berkurban), mencukur rambut, tawaf, shalat di depan Maqam Ibrahim, Sai antara shofa dan marwah yang semua ibadah ini hanya bisa dilakukan saat haji dan umrah di bulan tertentu. Itulah kenapa Allah menegaskan:
وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَىٰ كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ
Dan serulah manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, atau mengendarai setiap unta yang kurus, mereka datang dari segenap penjuru yang jauh. (QS. Al Hajj: 27)
لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَىٰ مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ ۖ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ
Agar mereka menyaksikan berbagai manfaat untuk mereka dan agar mereka menyebut nama Allah pada beberapa hari yang telah ditentukan atas rezeki yang diberikan Dia kepada mereka berupa hewan ternak. Maka makanlah sebagian darinya dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir. (QS. Al Hajj: 28)
Ya, ayat tersebut ingin menekankan bahwa pelbagai manfaat ibadah dan manasik haji hanya bisa dirasakan oleh pelakunya, bukan penontonnya dan pendengarnya. Haji menguji kesebaran, keikhlasahan dan kesungguhan seorang mukmin. Haji yang hakiki pasti mengubah karakter seseorang dari pemarah menjadi peramah, dari pemaki menjadi pemuji, dari pemukul menjadi perangkul, dari plin-plan menjadi konsisten. Jadi, manifestasi puncak penghambaan dan ibadah hanya bisa disaksiskan oleh jamaah haji. Itulah mengapa dalam banyak riwayat kita dianjurkan berdoa supaya manfaat dan momen manasik haji tidak terlewatkan dari kita sehingga suatu hari nanti kita pun tertulis sebagai salah satu jamaah hajinya. Amin.