Pensyariatan Puasa bukan Supaya Badanmu Sehat!
  • Judul: Pensyariatan Puasa bukan Supaya Badanmu Sehat!
  • sang penulis:
  • Sumber: ikmalonline.com
  • Tanggal Rilis: 20:26:39 1-9-1403

Shaum (puasa) memiliki dua makna:
1-Secara bahasa, shaum (puasa) artinya menahan diri dari sesuatu, misal dari makan dan minum. Sedangkan “ramadhân” –bulan yang mengharuskan puasa- berasal dari kata “ramdh” (رمض) yang berarti hujan sebelum musim rontok; membersihkan permukaan bumi dari debu-debu. Satu bulan dinamakan “ramadhan” karena mensucikan badan dari kotoran-kotoran (luar dan dalam).


Dari pengertian tersebut, yang pertama adalah puasa badan. Yang kedua, adalah puasa hakikat manusia. Karena puasa itu membersihkan diri manusia dari noda dan cela, yang berdampak tindakan dari syahwat perut dan kemaluan.


Diriwayatkan, Rasulullah saw bersabda: Siapa yang berpuasa dalam keimanan dan perhitungan (atau ketulusan); menahan pendengaran dan penglihatan serta lisannya dari orang-orang, niscaya Allah menerima puasanya dan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan yang akan datang.


2-Secara istilah, shaum adalah menahan diri dari mufthirât (apa-apa yang membatalkannya), antara lain yang terpenting adalah makan, minum, jima dan irtimâs (merendam kepala) ke dalam air, dimulai terbit fajar (waktu subuh) sampai terbenam matahari.


Diterangkan dalam riwayat: Puasa bukanlah dari makan dan minum; bahwa seseorang tidak makan dan tidak minum saja. Tetapi jika kamu berpuasa, hendaklah pendengaran, penglihatan, perut dan kemaluanmu juga berpuasa, dan lebih banyak diam kecuali yang merupakan kebajikan dan bersikap ramah terhadap pelayanmu.


Imam Shadiq berkata: Lima perbuatan yang membatalkan bagi yang puasa; berdusta, mengumpat, adu domba, sumpah palsu dan memandang dengan birahi.


Dua pengertian puasa secara istilah tersebut adalah untuk mencapai tujuan tertinggi dari disyariatkannya puasa. Sesungguhnya hal raga dan jiwa menahan dari apa-apa yang membatalkan (mufthirat), baik yang disebutkan oleh fuqaha maupun yang diterangkan oleh riwayat-riwayat seperti anjuran untuk memperoleh puncak manfaat dari puasa, ialah bahwa yang Allah inginkan dari seorang hamba yang berpuasa agar dia mencapai kesempurnaan insani.

Daya Tolak Puasa
Hal itu dapat dicapai melalui apa yang dia upayakan di dalam pelaksanaan taklif (puasa) ini, dengan menjauhkan raganya dari mufthirat dan jiwanya dari penyakit-penyakit yang menebar dalam dirinya. Sesungguhnya apa yang diharamkan Islam bagi manusia adalah penyakit yang harus dijauhkan dari dirinya. Mengenai hal ini diisyaratkan oleh QS: al-Baqarah 183, firman Allah: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ;
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, supaya kamu bertakwa.


Ayat ini menerangkan bahwa puasa juga telah disyariatkan dalam agama-agama samawi sebelumnya. Di dalam pensyaritannya terdapat hikmah yang tinggi.
Barangkali pemahaman yang paling simpel dari ayat ialah bahwa berpuasa dapat melepas diri dari keterkaitan material dan berpaling pada jamuan Allah swt. Dengan demikian langkah-langkah dan jejak-jejak keburukan melenyap; sifat-sifat kebaikan di dalam diri si pelaku puasa tumbuh mengembang; dan jiwanya naik ke tingkat kesempurnaan. Hal ini sebagaimana dalam kalimat “laallakum tattaqûn terdapat isyarat pada daya tolak yang dibawa puasa hakiki dalam diri si pelaku terhadap kecenderungan-kecenderungannya, dapat mengantarkan dirinya ke wilayah kaum yang bertakwa.

Puasa Material dan Puasa Spiritual
Puasa yang disyariatkan Islam, ketika diketahui manfaatnya untuk kesehatan badan, hendaknya seorang pengkaji tidak menitik beratkan pada dampak positif ini. Karena puasa adalah sebuah kelas yang terkait dengan dan tak terlepas dari- kelas-kelas lainnya di dalam penjelasan soal peran pensyariatan Islam.


Penekanan pada hanya perkara itu saja dan terlepas dari perkara-perkara lainnya tidak mengantarkan pada tujuan yang diinginkan, misalnya dipercaya bahwa hal menahan (dari makan dan minum) sangat bagus bagi lambung dan organ-organ badan lainnya. Puasa macam ini kami sebut puasa bumi (material). Kepercayaan ini tanpa percaya pada prinsip-prinsip lainnya dalam Islam takkan membawa manfaat apapun.


Ya, seseorang memperoleh manfaat jasmani itu dari berpuasa. Tetapi ia bisa merugi dalam manfaat-manfaat lainnya dari puasa yang terkait dengan prinsip yang sempurna. Pemisahan puasa dari prinsip-prinsip keagamaan, artinya hanya memandang pada kebumian dan kesenangan material, dan pada pemanfaatan yang melampaui batas keagamaan. Jika demikian berarti puasa tidak dalam rangka penyucian dari kecenderungan-kecenderungan keakuan, haiwaniah dan syahwat, dan tidak menundukkannya.


Puasa yang kami maksud adalah puasa langit yang terhubung dengan alam ghaib yang ditegaskan oleh Alquran dan hadis.
Sebuah riwayat dari Imam Baqir, bahwa Rasulullah saw bersabda kepada Jabir bin Abdillah: Hai Jabir, inilah bulan Ramadan! Siapa yang berpuasa di waktu siangnya dan bangun berzikir di malamnya; menjaga kehormatan perut dan kemaluannya serta menjaga lisannya; maka ia keluar dari dosa-dosanya seperti ia keluar dari bulan ini


Jabir berkata, Wahai Rasulullah, alangkah bagusnya hadis ini!
Beliau berkata, Hai Jabir, alangkah berat persyaratannya! (Wasail asy-Syiah, juz 7, bab 11, hadis 2)
Dalam referensi yang sama, Muhammad bin Muslim meriwayatkan dari Imam Shadiq; Jika kamu berpuasa, hendaklah pendengaran, penglihatan, rambut dan kulitmu serta lain-lainnya yang sedapat kamu sebutkan. Lalu beliau berkata, jangan sampai hari puasamu seperti hari raya fitrimu.