Ayatullah Syaikh Makarim Syirazi menceritakan pengalamannya saat pergi haji ke Baitullah untuk pertamakalinya. Tiba hari Idul Adha beliau ke Mina untuk dapat melihat dari dekat proses penyembelihan hewan kurban. Beliau terkejut menyaksikan tumpukan ribuan hewan; kambing, sapi dan onta yang sudah disembelih, menutupi semua lahan penjagalan, sampai batas sulit untuk melintasi tempat itu.
Terik matahari Hijaz saat itu panas sangat menyengat, mempercepat proses pembusukan timbunan sampah hewan kurban itu. Tak seorang pun terutama dari orang-orang miskin, yang mengambil manfaat darinya. Kemudian otoritas Saudi langsung mengambil kebijakan untuk menguburnya walau dengan susah payah, demi mencegah timbulnya wabah di tengah (jutaan orang) jemaah haji, akibat pembusukan hewan-hewan sembelihan.
Beliau mengatakan: Mengetahui keadaan tersebut, saya mencari seekor domba sehat, yang memenuhi syarat yang diinginkan untuk berkurban. Setelah itu, saya serahkan hewan sembelihan itu kepada sebagian orang miskin di sana. Barangkali bagi mereka cukup sebagian daging saja yang diambil darinya. Entah bagaimana dengan sebagian lainnya, mungkin juga mereka membuangnya.
Saya amati, di sana sejumlah orang fakir yang hidup kekurangan memindahkan daging-daging hewan kurban yang menimbun itu ke tempat lain di luar tempat penjagalan. Tetapi yang mereka ambil dengan cara memotong-motong daging dari timbunan yang terbuang itu hanyalah bagian-bagian yang paling bagus, dan tak sampai sepuluh persen dari keseluruhannya. Sisanya yang sangat berlebihan dikubur atau dibakar!.
Mengkaji Masalah
Proses pembersihan sampah kurban itu ternyata tidak gampang. Karena itu bisa tak terlaksana dengan baik. Sebagai dampaknya, lingkungan Mina menjadi tercemar, dan muncul aroma busuk pada hari kesebelas dan keduabelas Dzulhijjah, khususnya di wilayah sekitar penjagalan hewan.
Barangkali banyak orang yang menyaksikan langsung keadaan tersebut bertanya-tanya, bagaimana menurut syariat tentang fenomena itu? Apa sikap fuqaha, dan apakah masalah ini bagian dari Masail Mustahdatsah (Masalah Kekinian); ataukah telah ada perkara semacam itu di masa fuqaha dahulu dan para imam?
Ketika itu, lanjut beliau dalam berbagi pengalamannya. Saya pelajar ilmu agama yang baru belajar al-fiqh al-istidilali fikih argumentatif, dan bertaqlid dalam berbagai masalah, di antaranya permasalahan haji. Taklif saya ialah menyembelih hewan dan menyerahkan kurban di tempatnya, atau saya mengamalkan konsep praktis dalam menarik perwalian (niyâbatan) dari seorang fakir lalu diterima oleh pihaknya..
Setelah saya memiliki kemampuan yang lebih besar di dalam istinbath, saya melakukan pendalaman dan pengkajian dalil-dalil masalah ini dengan cermat dan berfikir dalam yang selayaknya. Saya merasa belum puas dengan pendapat-pendapat yang ada berikut penerapan-penerapan praktisnya. Terutama soal pemindahan hewan kurban dari Mina ke tempat lain.
Salah satu syarat sah dalam berkurban di kalangan fuqaha ialah dilakukan di Mina. Tidak dibolehkan melakukannya di luar Mina. Oleh karena itu, saya mengkaji semua riwayat-riwayat terkait penyembelihan dengan ketelitian dan perenungan. Saya dalami perkataan kaum dan fatwa-fatwa fuqaha dengan argumen-argumennya serta perbantahannya..
Pokok Permasalahan
Masalah berkurban di zaman kini ada empat kondisi:
1-Jika mungkin melaksanakan penyembelihan di Mina (atau di tempat-tempat penyembelihan yang ada kini, tapi tak dapat dilakukan di Mina) dan penyaluran daging kurban di tempatnya tanpa sampai dibuang, dipendam dan dibakar, tiada masalah mengutamakan hal ini atas yang lain.
2-Jika tak didapati orang-orang yang layak menerima daging kurban di Mina, tetapi pemindahan daging bisa dilakukan di luar Mina atau Saudi, seperti dengan menjadikannya dendeng, atau dengan sarana mengawetkannya dan dikalengkan untuk mencegah kerusakan, kemudian dapat disalurkan kepada yang berhak menerima, maka wajib penyembelihan di Mina, untuk kemudian daging kurban dipindah di luar Mina.
3-Jika pemindahan ke tempat lain di luar Mina atau Hijaz tidak memungkinkan, dan penyembelihan dapat dilakukan di tempat lain di wilayah Mekah atau Haram, dan kemudian menyalurkan daging di tempatnya, maka wajib penyembelihan di tempat itu secara ihtiyat wajib.
4-Jika tiga keadaan di atas tidak memungkinkan, dalam arti tiada lain selain membuang hewan-hewan sembelihan atau membakarnya, bisa dikatakan kewajiban menyembelih menjadi gugur. (Karena, yang wajib tak sebatas mengalirkan darah hewan kurban, tetapi dalam Alquran dan Sunnah disyaratkan menyalurkannya ke tempat-tempatnya. Bila pemenuhan syaratnya menjadi tak mungkin, maka gugurlah yang disyaratkan; yakni kewajiban menyembelih hewan kurban).
Ihtiyath wajibnya menarik harga hewan kurban, lalu (yang berhaji) melaksanakan semua manasik. Kemudian menyembelih hewan kurban di kampung halaman atau tempat lain setelah pulang di bulan Dzulhijjah. Sebaiknya jika bisa, koordinasikan dengan keluarga dan rekan untuk penyembelihan pada hari kurban di kampung halaman, agar daging kurban dapat disalurkan ke tempat-tempatnya..
Referensi:
Buhuts Fiqhiyah/Ayatullah Syaikh Makarim Syirazi