Taqiyyah adalah diantara perkara penting dalam Islam yang senantiasa disalah pahami, terlebih lagi jika dikaitkan dengan Muslim Syiah. Oleh kelompok anti Syiah, taqiyyah diartikan sebagai bentuk amalan yang dilakukan Syiah untuk tujuan menipu, mengecoh, menyembunyikan fakta, berdusta, dan berbagai tindakan memanipulasi hal yang sebenarnya, dengan tujuan untuk menghancurkan Islam dari dalam. Bahkan oleh mereka, taqiyyah dikaitkan erat dengan bentuk kemunafikan dan tindakan pengecut. Jika misalnya umat muslim Syiah dituduh meyakini adanya tahrif (perubahan) dalam Al-Qur’an dan umat Syiah membantahnya dengan mengatakan bahwa keyakinan mereka sama halnya dengan muslim mazhab lainnya bahwa Al-Qur’an dijaga orisinalitasnya oleh Allah dan suci dari segala bentuk penyimpangan dan perubahan, maka serta merta muslim Syiah dianggap sedang bertaqiyyah dan menyembunyikan keyakinannya dengan menampakkan yang sebaliknya.
Dengan dalih Syiah pasti bertaqiyyah (yang mereka artikan berdusta) menjadi senjata pamungkas bagi kelompok anti Syiah untuk membungkam Syiah ketika hendak menunjukkan ketidak benaran fitnah-fitnah dan tuduhan-tuduhan yang menimpa mereka. Hasilnya, kita melihat, betapa umat Syiah hari ini diserang fitnah-fitnah yang membabi buta dan tuduhan-tuduhan yang bahkan sangat irasional, tanpa merasa perlu membeberkan bukti-buktinya. Bahkan ketika hendak meluruskan pemahaman mengenai taqiyyah sekalipun, muslim Syiah akan serta mendapat tudingan sedang bertaqiyyah (berdusta).
Apakah Taqiyyah itu?
Taqiyyah adalah tindakan yang diambil seseorang untuk menyembunyikan aqidah agamanya yang diyakininya benar dihadapan orang-orang yang membenci dan memusuhi agamanya, yang ketika ia tampakkan, maka itu dapat membahayakan keselamatan jiwa, kehormatan diri dan keluarga serta hartanya. Seperti misalnya, seorang muslim yang hidup ditengah-tengah kaum musyrikin penyembah berhala, yang jika mereka mengetahui keislamannya maka itu bisa membahayakan nyawanya. Ia bisa saja dibunuh, kehormatannya dilecehkan dan hartanya dirampas. Oleh karena itu, ia bisa mengamalkan taqiyyah, menyembunyikan keimanannya agar bisa hidup aman ditengah-tengah mereka.
Misal lainnya, seorang muslim Syiah yang ketika diperjalanan ia memasuki suatu kampung yang kesemua warganya membenci Syiah dan meyakini, menumpahkan darah seorang pengikut mazhab Syiah halal hukumnya bahkan diwajibkan, maka wajib baginya melakukan taqiyyah dengan menyembunyikan kesyiahannya, sehingga akhirnya ia bisa melewati perkampungan tersebut dengan selamat.
Akal sehat akan memastikan bahwa tindakan tersebut pada pemisalan diatas adalah benar dan sesuai dengan rasionalitas. Bahkan dikatakan, seseorang yang memaksakan dirinya untuk menampakkan keyakinannya ditengah-tengah sekelompok orang yang membenci dan memusuhi keyakinannya sementara ia sendiri mengetahui bahwa hal tersebut dapat mengancam keselamatan dan keamanan jiwanya adalah tindakan konyol. Beda halnya dalam kondisi perang, yang memang satu sama lain, sudah saling mengetahui keyakinan masing-masing dan memang sejak awal berambisi untuk saling menghabisi.
Beda Taqiyyah dengan Nifaq
Secara dzahir memang tampak ada persamaan antara taqiyyah dengan nifaq, yaitu sama-sama menampakkan hal yang sebaliknya dari yang diyakininya, yaitu menyembunyikan apa yang terdapat dalam hatinya. Namun ketika menelisik makna terminologinya, maka perbedaan antara keduanya ibarat langit dan bumi. Munafik adalah seseorang yang didalam batinnya membenci dan memusuhi Islam dan pada hakikatnya tidak meyakini ajaran Islam namun secara lahiriah ia menampakkan diri sebagai muslim untuk tujuan-tujuan tertentu yang negatif. Sementara seseorang yang melakukan taqiyyah adalah untuk menyembunyikan kepercayaannya yang menurutnya benar mengenai Islam ditengah-tengah orang lain yang tidak menerima adanya kepercayaannya itu bahkan meyakini yang memiliki kepercayaan itu halal darahnya untuk ditumpahkan.
Jadi perbedaannya, kalau munafik, menyembunyikan kekufuran dengan menampakkan keimanan yang dengan itu ia dapat mencapai tujuan-tujuannya yang terselubung, sementara taqiyyah, adalah menyembunyikan keimanan dengan menampakkan hal yang sebaliknya dengan tujuan, untuk menyelamatkan jiwanya dan kehormatannya dari hal-hal buruk yang bisa menimpanya, jika ia menampakkan keimanannya.
Taqiyyah dalam Timbangan Akal
Allah Swt membekali makhluk ciptaannya, bukan hanya pada manusia, melainkan juga pada binatang dan tumbuhan mekanisme pertahanan khusus dan naluri untuk melindungi diri dari bahaya yang mengancam. Meskipun taqiyyah adalah tindakan yang dipelajari, namun ia lahir dari insting dan naluri manusia untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Dengan naluri untuk terus hidup yang melekat pada dirinya, seseorang akan menyembunyikan sesuatu yang ada pada dirinya, yang jika itu ia tampakkan akan membahayakan nyawanya.
Memang benar, seseorang bisa saja mengatasi rasa takut dan mengatakan kebenaran meskipun itu membahayakan dirinya, namun setidaknya ia harus memiliki prioritas, kapan kebenaran yang dinyatakan itu mencapai tujuan yang lebih tinggi dari sekedar menjaga kelangsungan hidupnya. Dalam bukunya Pemerintahan Islam, Imam Khomeini ra menulis, “Seseorang hanya dibolehkan taqiyyah, jika nyawanya terancam, sedangkan pada kasus dimana agama Allah Swt yaitu Islam dalam keadaan terancam, taqiyyah tidak boleh dilakukan, meskipun ia sampai harus kehilangan nyawanya.”
Ayatullah Makarim Shirazi mengibaratkan taqiyyah seperti perisai yang digunakan untuk menjaga nyawa dari ancaman bahaya. Ibarat seorang tentara yang sedang berada di medan pertempuran, maka ia akan membentuk mekanisme pertahanan yang dengan itu, ia tetap selamat dari incaran dan ancaman musuh. Seperti menggunakan pakaian tempur anti peluru, bersembunyi dibalik pohon, membuat benteng pertahanan dari karung-karung goni berisi pasir, menggunakan pakaian penyamaran dengan memilih warna yang sama dengan medan tempur dimana mereka berada, hijau jika medannya di hutan belantara, dan cokelat jika medannya di gurun pasir. Apakah dengan membentuk mekanisme pertahanan seperti itu, pasukan tentara yang sedang menghadapi musuh dikatakan tentara pengecut dan tidak berani duel terbuka?. Akal sehat tidak akan menyimpulkan demikian, dan tidak ada seorangpun yang akan menertawakan dan melecehkan apa-apa yang dilakukan tentara tersebut untuk mempertahankan dirinya sebagai tindakan pengecut dan bertentangan dengan keberanian . Tindakan menjaga keselamatan jiwa dengan cara-cara seperti itu adalah tindakan yang logis dan rasional.
Demikian pula seseorang yang menghadapi ancaman bahaya ketika ia menampakkan keyakinannya atau amalan tertentu dari yang diyakininya, maka sudah semestinya ia melakukan taqiyyah. Jadi kritikan terhadap umat Muslim Syiah yang melakukan taqiyyah sebagai tindakan pengecut dan bertentangan dengan keberanian, tentu kritikan yang tidak absah. Apakah menampakkkan sebaliknya dari yang diyakini itu semua buruk dan dilarang, dan menampakkan keyakinan keseluruhannya, apakah semua baik dan diharuskan? Tentu tidak. Taqiyyah adalah aturan syariat yang Allah Swt karuniakan kepada umat Islam sebagai mekanisme pertahanan diri. Lidah misalnya, diperbolehkan oleh Allah Swt untuk menyatakan yang tidak sebenarnya yang jika dengan itu seorang muslim bisa selamat dari penganiayaan dan pembunuhan.
Taqiyyah Menurut Al-Qur’an dan Sunnah
Karena taqiyyah bagian dari syariat Islam, maka muslim dari mazhab manapun bisa mengamalkannya, dan tidak semestinya hanya disematkan kepada umat Syiah saja. Ahlus Sunnah juga membenarkan sikap dusta untuk tujuan kebaikan (taqiyyah), bahkan sebagian ulama Sunni memperkenalkan istilah lain yaitu “tauriyah” (ilmu silat lidah) meskipun subtansi dan alasannya sama. Seperti misalnya yang dilakukan Nabi Ibrahim As, ketika hendak dihukum karena telah merusak patung-patung berhala sesembahan kaumnya, Nabi Ibrahim As berkata, “Sebenarnya patung besar itulah pelakunya.” (Qs. Al Anbiya: 63). Bagaimanapun ucapan Nabi Ibrahim As tersebut adalah kedustaan, namun tujuannya adalah untuk kebaikan, maka diperbolehkan.
Sebagaimana kisah sahabat Ammar bin Yasir ra yang terjebak dalam kondisi sulit ketika mengalami siksaan dan pelecehan dari kaum Kafir Quraysh, sehingga iapun terpaksa menyatakan ucapan kekufuran yang bertentangan dengan keimanan yang terpatri dalam hatinya. Peristiwa ini menjadi asbabun nuzul turunnya surah An Nahl: 106, “Barangsiapa kafir kepada Allah setelah dia beriman (dia akan mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa)…” Dalam hal ini, meskipun Ammar bin Yasir mengucapkan kalimat kekufuran, ia tidak dikatakan murtad, karena ia melakukannya dalam keadaan terpaksa, dan diihatinya ia tetap tenang dengan keimanannya. Inilah yang dikatakan taqiyyah, berdusta yang diperbolehkan.
Berikut diantara ayat-ayat lainnya yang menjadi rujukan dalil diperbolehkannya taqiyyah:
Pertama, “…kecuali karena siasat menjaga diri dari sesuatu yang kamu takuti dari mereka.” (Qs. Ali Imran: 28)
Kedua, “… dan janganlah kamu menjerumuskan dirimu kedalam kebinasaan.” (Qs. Al Baqarah: 195)
Ketiga, Al-Qur’an menyebutkan, ada diantara dari kalangan Fir’aun yang menyembunyikan keimanannya, “Seorang Mukmin dari kalangan Fir’aun, yang menyembunyikan keimanannya berkata, Apakah kalian akan membunuh seseorang karena ia mengatakan, Tuhanku adalah Allah?” (Qs. Al-Mu’min: 28)
Keempat, demikian pula taqiyyah yang dilakukan Nabi Harun As ditengah kaumnya yang menindas dan mengancam akan membunuhnya. Kisah ini terdapat dalam surah Al-A’raf ayat 150.
Taqiyyah dalam Pandangan Ulama Ahlus Sunnah
Berikut ucapan sejumlah ulama Ahlus Sunnah mengenai kebolehan taqiyyah:
Al Baihaqi meriwayatkan dalam Sunannya, tafsir Ibnu Abbas atas ayat (man ukriha), ia menyatakan, “Adapun orang-orang yang terpaksa melakukan sesuatu yang bertentangan dengan hatinya karena keimanan demi selamat dari musuhnya, maka hal itu diperbolehkan. Sesungguhnya Allah Swt hanyalah menghukumi keyakinan hatinya.”
Imam al Suyuthi dalam Al-Duur al-Mantsur meriwayatkan hadits dari Ibnu Jarir dan Ibnu Hatim, dari Ibnu Abbas, “Taqiyyah itu dengan lisan, karena takut kepada manusia, sedangkan hatinya teguh dalam iman. Maka hal itu tidak masalah, taqiyyah hanyalah dengan lisan.”
Ibnu Katsir meyakini ijma ulama bahwa taqiyyah diperbolehkan bagi “al-mukrah” (orang yang terpaksa). Ibnu Katsir berkata, “Para ulama sepakat bahwa orang-orang yang dipaksa menyatakan kekufuran, maka diperbolehkan, demi menjaga keselamatan dirinya. Sebagaimana juga boleh menolaknya, sebagaimana sikap Bilal ra.”
Syaikh Hasan al Bashri, “Taqiyyah diperbolehkan bagi orang-orang Mukmin hingga hari kiamat. Pendapat ini lebih kuat, karena mencegah bahaya atas diri sedapat mungkin hukumnya wajib.”
Imam Al Ghazali, “Sesungguhnya menjaga darah orang muslim adalah wajib, maka jika ada orang zalim yang bermaksud menumpahkan darah orang muslim dan ia bersembunyi dari orang yang bermaksud membunuhnya, maka berdusta saat itu adalah wajib.”
Sekarang jelas, tidak ada perbedaan antara Sunni dan Syiah mengenai taqiyyah. Bedanya, Syiah akrab dengan amalan ini, karena itu taqiyyahpun jadi lebih identik dengan kaum Syiah. Sepanjang sejarahnya, Syiah selalu menjadi kelompok yang tertindas dan teraniaya karena dianggap oposisi bagi kekhalifaan Umayyah dan Abbasiyah. Sementara kaum muslim Sunni lebih memilih untuk bersikap kooperatif dan menjadi bagian dari pemerintahan yang mereka sebut pemerintahan Islam. Kelompok Salafi sendiri juga mengamalkan taqiyyah dalam kondisi darurat dan terdesak, namun melalui program tarbiyah yang tersistematis oleh ulama-ulama mereka, pengikut-pengikutnya tidak sadar bahwa yang mereka lakukan itu taqiyyah. Seperti misalnya, turut serta memberikan suara dalam pemilu, sementara dalam keyakinan mereka, sistem demokrasi yang berlaku di Indonesia adalah sistem kufur yang tidak boleh melibatkan diri didalamnya.
Apakah Taqiyyah Hanya Diperbolehkan saat Berhadapan dengan Ancaman Orang Kafir?
Ketika menunjukkan dalil diperbolehkannya taqiyyah dari ayat-ayat Al-Qur’an sebagaimana misalnya dalam kasus yang dihadapi Nabi Ibrahim As dan sahabat Nabi SAw Ammar bin Yasir ra, maka sering ditanggapi dengan menyatakan, dua dalil tersebut menceritakan taqiyyah yang dilakukan dibawah ancaman pedang kaum Kuffar, sementara taqiyyah yang dilakukan umat Syiah adalah ketika berhadapan dengan umat Islam lain dari mazhab yang beda. Karena tidak ada dalilnya, maka bertaqiyyah dihadapan muslim lainnya, tidak diperbolehkan.
Maka jawabannya, jika taqiyyah diperbolehkan dengan tujuan menjaga keselamatan jiwa, kehormatan dan harta, maka siapapun pihak yang mengancam maka taqiyyah harus dilakukan. Selama mengancam keselamatan jiwa, maka tidak ada bedanya, yang melakukannya orang kafir atau muslim. Misalnya dengan adanya propaganda negatif dan beredarnya informasi yang salah mengenai Syiah secara massif, sehinga ada fatwa yang menyebutkan, salah satu amalan terbaik dalam melakukan taqarrub ilallah (pendekatakan kepada Allah Swt) adalah dengan menumpahkan darah orang Syiah, dan seorang muslim Syiah jika terjebak ditengah-tengah mereka, dan ketika ditanya, apa ia Syiah? Maka tidak ada akal sehat yang merestui, orang tersebut untuk menjawab lantang, “Ia saya Syiah, memang kenapa?”
Sejarah kekhalifaan Islam dari Dinasti Bani Umayyah dan Dinasti Bani Abbasiyah, tidak sedikit dari deretan khalifah tersebut yang bertindak zalim dan memberlakukan mazhab/pemikiran tertentu untuk juga dianut dan diyakini oleh masyarakat muslim saat itu, yang jika menentang atau menolak maka akan dijebloskan dan disiksa di dalam penjara. Apa akal sehat menerima, karena yang memaksakan paham tertentu pada saat itu adalah penguasa muslim juga, maka taqiyyah tidak diperbolehkan? Yang dengan itu tidak menjadi soal muslim yang berbeda pemikiran mendapatkan siksaan dan ancaman penjara? Tentu akal sehat akan menolaknya.
Taqiyyah yang Diharamkan
Sudah dipaparkan secara singkat, mengenai dalil kebolehan taqiyyah, baik dari pertimbangan akal, Al-Qur’an maupun riwayat, maka pertanyaan selanjutnya yang muncul, apa semua bentuk taqiyyah diperbolehkan atau ada juga taqiyyah yang diharamkan?. Jawabannya tidak semua bentuk taqiyyah diperbolehkan, ada taqiyyah yang diharamkan. Taqiyyah menjadi haram jika seseorang atau kelompok yang jika dengan melakukan taqiyyah, kelangsungan dan kelestarian ajaran Islam atau mazhabnya menjadi terancam. Atau ketika melakukan taqiyyah, itu akan membawa keburukan bagi orang lain, keluarganya atau umat Islam secara umum. Contohnya sebagaimana kebangkitan Imam Husain As di padang Karbala ketika menghadapi pasukan Yazid yang dalam pengetahuan beliau, membiarkan kezaliman Yazid bisa mengancam kelestarian ajaran agama.
Demikian pula halnya, jika umat Islam mampu saling memahami dan menerima perbedaan yang terdapat dalam mazhab-mazhab Islam yang ada, sehingga tidak ada lagi kekhawatiran bahwa satu sama lain sesama muslim saling bertikai dan berpecah belah disebabkan perbedaan mazhab, maka taqiyyah dihadapan sesama muslim tidak diperlukan. Tentu saja hal seperti inilah yang kita harapkan, semua pengikut mazhab-mazhab yang ada bisa saling menghargai dan bekerjasama satu sama lain, tanpa mempersoalkan adanya perbedaan mazhab.
Hanya Allahlah yang mengetahui siapa yang tersesat, dan siapa yang mendapat petunjuk…
Kesimpulan
Pertama, taqiyyah bukanlah bentuk dari kemunafikan, bukan pula kepengecutan, melainkan upaya mempertahankan diri dari bahaya yang mengancam nyawa, kehormatan dan harta.
Kedua, taqiyah memiliki akar Qur’ani dan sunnah Nabawi serta pembenaran dari ulama-ulama Islam. Kalaupun disebut sebagai bentuk kedustaan, taqiyyah adalah kedustaan yang diperbolehkan, sehingga tidak semestinya diidentikkan sebagai milik kaum Syiah saja, melainkan bagian dari syariat Islam yang umat Islam boleh mengamalkannya ketika diperlukan.
Ketiga, taqiyyah tidak hanya diberlakukan ketika berhadapan dengan ancaman kaum kuffar melainkan juga dihadapan sesama muslim demi menjaga keselamatan jiwa dan kehormatan karena adanya kelompok yang memiliki keengganan dan ketidakdewasaan sikap untuk menerima adanya perbedaan.
Keempat, taqiyyah diharamkan dalam kondisi kelangsungan ajaran agama terancam.
Kelima, dalam kondisi umat Islam bisa saling memahami perbedaan yang terdapat diantara mazhab-mazhab yang ada, maka taqiyyah dihadapan sesama muslim tidak diperlukan.
Wallahu ‘alam Bishshawwab
Bahan Bacaan:
Ayatullah Makarim Shirazi, Shiaa Answers, Penerbit Imam Ali bin Abi Thalib As, cet. 16, Qom, 1391 HS. (Bab Taqiyyah dalam Kitab dan Sunnah, hal. 33-45)
Sayyid Ridha Husaini Nasb, Syiah Pasukh Midahad (Syiah Menjawab), Penerbit Masy’ar, cet. Dar al Hadits, Qom, 1383 HS. (Pertanyaan 311, Apakah Taqiyyah itu?, hal. 211)
Tim Ahlul Bait Indonesia, Syiah Menurut Syiah, Diterbitkan DPP ABI, cet. Pertama, Jakarta, 2014. (Bab II Tuduhan-tuduhan: Berdusta dengan Taqiyyah hal. 186)