Perampasan dan Kebiadaban Sikap Musuh Imam Husein AS
  • Judul: Perampasan dan Kebiadaban Sikap Musuh Imam Husein AS
  • sang penulis: Ben Aunullah
  • Sumber: muslimmenjawab.com
  • Tanggal Rilis: 5:39:51 2-9-1403

Terbunuhnya imam Husein as di padang Karbala merupakan sebuah musibah pahit yang pernah terjadi dalam sepanjang sejarah Islam. Sebab selain ia merupakan cucu nabi Muhammad saw, juga merupakan sosok agung yang memiliki banyak keutamaan, diantara keutamaannya yang paling dikenal ialah ia bersama kakaknya imam Hasan as merupakan Sayyidai Syababi Ahlil Jannah (dua penghulu para pemuda surga).

Kendati demikian, semua itu tidak sedikit pun mempengaruhi musuh-musuhnya dalam memperlakukannya beserta para sahabatnya secara biadab. Mereka semua berakhir dibantai dengan sadis dan dipenggal kepalanya untuk dibawa menuju istana penguasa kala itu.

Tak hanya itu, selain membunuh, mereka juga merampas semua hal dinilainya berharga, sebagai rampasan perang. Perlakuan kasar ini tidak hanya berlaku pada mereka yang maju ke medan perang, bahkan mereka juga menyerbu perkemahan yang hanya diisi oleh para wanita dan anak-anak beserta imam Ali Zainal Abidin as yang dalam kondisi sakit.

Semua ini dicatat dalam sejarah, sebagaimana diceritakan oleh Ibnul Atsir. Sebagai berikut:

Dan semua yang ada pada (dikenakan) Husein dirampas, Bahr bin Ka’ab mengambil pakaian bagian bawahnya, Qais bin Al-Asya’ts mengambil kain beludru dan itu (terbuat) dari sutra sehingga setelah (kejadian) itu ia dipanggil dengan Qais Qathifah (beludru), Al-Aswad Al-Audi mengambil kedua sandalnya, seorang lelaki dari Darim, dan orang-orang mengincar barang, pakaian, unta. Kemudian mereka merampasnya, merampas harta bendanya, serta semua (perhiasan) yang ada pada para wanita bahkan hingga wanita itu, terlepas apa yang dikenakannya (akibat ditarik) dari belakang, mereka juga mengambilnya.[1]

Pada tempat yang lainnya ia juga mencatat:

Kemudian Umar bin Sa’ad menyeru para pasukannya: “Barang siapa yang (ingin) berkontribusi terhadap Husein maka hendaknya menginjak Husein dengan kudanya.” Kemudian 10 orang dari mereka maju. Di antaranya Ishak bin Haywah Al-Hadhrami -ia yang merampas gamis Husein, yang kemudian ia terjangkit penyakit kusta- mereka datang lalu menginjak-injak Husein dengan kuda-kuda mereka hingga punggung dan dadanya remuk.[2]

Ibnul Atsir juga menyebutkan bahwa setelah kepala imam Husein as di bawa ke istana Ibnu Ziyad di Kufah, Ibnu Ziyad memukul-mukul gigi-gigi depan imam Husein.[3]

Sementara itu Ibnu Katsir meriwayat dari Abu Mikhnaf bahwa Sinan dan yang lainnya merampas barang-barang imam Husein as dan membagikannya diantara mereka, tidak hanya itu bahkan apa yang dimiliki oleh para wanita yang hadir dalam peristiwa itu.[4]

Masih dari periwayat yang sama, Ibnu Katsir juga mencatat bahwa Syimr bin Dzil Jausyan ingin membunuh imam Ali Zainal Abidin as, namun hal itu digagalkan oleh rekannya sendiri melihat kondisi putra imam Husein as itu yang berada dalam kondisi sakit parah. Kemudian setelah itu datang Umar bin Sa’ad dan melarang semua pasukan untuk masuk ke wilayah para wanita yang menjadi tawanan serta tidak membunuh imam Ali Zainal Abidin, ia juga menyuruh mereka untuk mengembalikan semua yang barang yang diambil dari sisa rombongan imam Husein itu, namun hal itu pun tidak dihiraukan (apa yang dirampas tidak dikembalikan).[5]

Begitulah sedikitnya gambaran perlakuan para musuh terhadap imam Husein as dan sisa rombongannya. Tidak diragukan lagi bahwa perbuatan seperti itu tidak muncul melainkan dari kebencian dan permusuhan. Semua tindakan itu menunjukkan siapa sebenarnya mereka. Sehingga mustahil jika mereka adalah syiahnya, sementara syiah sendiri secara umum memiliki makna penolong, pendukung atau bahkan secara khususnya yang meyakini cucu nabi Muhammad saw ini sebagai imam.

[1] Al-Kamil Fit Tarikh, jil: 3, hal: 432, Darul Kutubul Ilmiyah, Beirut.

[2] Al-Kamil Fit Tarikh, jil: 3, hal: 433, Darul Kutubul Ilmiyah, Beirut.

[3] Ibid.

[4] Al-Bidayah Wan Nihayah, jil: 8, hal: 188, Maktabah Al-Ma’arif, Beirut.

[5] Al-Bidayah Wan Nihayah, jil: 8, hal: 188-189, Maktabah Al-Ma’arif, Beirut.