Tragedi Karbala merupakan salah satu musibah besar yang pernah terjadi dalam sejarah Islam. Bagaimana tidak, keturunan suci dari nabi Muhammad saw ketika itu seakan tak memiliki kehormatan bahkan diperlakukan sedemikian rupa buruknya hingga hal ini akan selalu membekas dan menjadi kenangan pahit bagi siapa pun yang mencintai nabinya.
Peristiwa itu telah banyak digambarkan oleh para sejarawan maupun para ulama dalam catatan-catatan mereka, dan biasanya kisah Karbala ini dijadikan sebuah topik khusus dalam kitab mereka, sebab kejadiannya yang sangat memilukan serta patut untuk dipelajari, meskipun sayangnya dalam hal ini banyak orang yang menganggap bahwa memperingati peritiwa itu pada masa ini sebagai hal yang berlebihan atau bahkan dianggap memelihara dendam.
Padahal kalau kita rajin membuka literatur Islam yang ada, peringatan terhadap peristiwa itu sudah dikerjakan dan dicontohkan oleh para ulama kita, sebagaimana hal ini telah banyak kita ulas pada tulisan-tulisan sebelumnya.
Menyoroti kejadian Karbala, imam Suyuthi dalam kitabnya Tarikhul Khulafa (sejarah para khalifah) menyebutkan:
وکان قتله بکربلاء، وفی قتله قصة فیها طول لا یحتمل القلب ذکرها، فإنا لله وإنا إلیه راجعون، وقتل معه ستة عشر رجلًا من أهل بیته
ولما قتل الحسین مکثت الدنیا سبعة أیام والشمس على الحیطان کالملاحف المعصفرة، والکواکب یضرب بعضها بعضًا، وکان قتله یوم عاشوراء، وکسفت الشمس ذلک الیوم، واحمرت آفاق السماء ستة أشهر بعد قتله، ثم لازالت الحمرة ترى فیها بعد ذلک الیوم ولم تکن ترى فیها قبلها
Dan pembantaiannya di Karbala, dalam tragedi itu terdapat sebuah kisah panjang yang mana hati tak kuasa mengingatnya, maka Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi Rajiun (sesungguhnya kita milik Allah dan sungguh kepada-Nya kita akan kembali). Dan terbunuh bersamanya 16 laki-laki dari keluarganya.
Ketika Husein dibunuh, dunia (serasa) terdiam selama tujuh hari dan matahari di dinding seperti selimut-selimut kuning, serta bintang-bintang bertabrakan satu sama lainnya. Pembunuhannya pada hari Asyura (hari kesepuluh Muharram) ketika itu terjadi gerhana matahari dan ufuk-ufuk langit memerah selama enam bulan setelah pembunuhannya, kemudian kemerah-merahan itu masih terlihat setelah hari itu yang mana belum pernah terlihat sebelumnya.[1]
Dalam uraian di atas secara khusus imam Suyuthi menggambarkan peristiwa itu sebagai peristiwa yang teramat berat yang mana hati manusia tak akan kuat menahannya. Hal ini akan terbukti apabila kita kembali membuka jejak peristiwa tragedi karbala secara rinci dalam kitab-kitab yang ada. Sebagiannya bisa dilihat dalam beberapa tulisan kami sebelumnya.
Menariknya juga imam Suyuthi di sini menyebut beberapa kondisi alam yang aneh pada masa itu yang mana seolah terdampak oleh musibah besar ini, bahkan hal seperti ini juga dapat kita temukan dalam catatan-catatan yang lain.
[1] Tarikhul Khulafa, hal: 165-166, Darul Ibnu Hazm.