Seperti yang sebelumnya pernah kita bahas bahwa Bulan Muharram adalah bulan penuh duka, karena di bulan tersebut terjadi musibah yang sangat besar bagi kaum muslimin. Imam Husain as beserta rombongan keluarga kenabian dan para sahabatnya dibunuh dan dibantai secara kejam oleh orang-orang yang mengaku umat Nabi pada 10 Muharram Tahun 61 Hijriyah di Karbala. Peristiwa tersebut kita kenal sebagai peristiwa Asyura.
Atas peristiwa bersejarah tersebut, banyak dari kaum muslimin terutama yang bermazhab Syiah Ahlil Bait, menghidupkan hari-hari Muharram dengan menggelar Majelis Duka. Dalam majelis tersebut mereka berduka, meratap dan menangis atas syahidnya imam Husain as juga berbelasungkawa atas musibah agung yang menimpa keluarga Nabi Saw di hari Asyura.
Namun, ada saja orang yang menganggap hal-hal tersebut seperti meratap dan menangis atas peristiwa Asyura sebagai sebuah kebodohan dan bid’ah. sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Minhaj As-Sunnah An-Nabawiyah.
Dan dari kebodohan mereka (Syiah) mengadakan acara duka dan ratapan terhadap seseorang yang terbunuh ratusan tahun lalu.
Dan Syetan lewat terbunuhnya Al-Husain Ra telah membuat dua bid’ah untuk orang-orang: bid’ah kesedihan dan ratapan di hari Asyura….begitu juga bid’ah kegembiraan dan kebahagiaan.
Hal pertama yang harus kita ketahui ialah apa yang dimaksud dengan bid’ah, yang tentu saja terlarang dalam agama. Apakah meratap atau menangis termasuk dari perbuatan bid’ah tersebut?
Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitabnya Fathul Bari menjelaskan maksud daripada bid’ah.
…maksud dari bid’ah ialah membuat hal-hal baru yang tidak ada sumbernya di dalam syariat, itulah bid’ah. Adapun jika hal tersebut memiliki sumber syariat, maka hal tersebut bukanlah bid’ah.
Berdasarkan pernyataan diatas, jelas bahwa sesuatu dikatakan bid’ah jika tidak memiliki sumber syariat dan jika memiliki sumber syariat maka tidak dikatakan bid’ah. Selanjutnya kita akan buktikan bahwa menangis atau meratap ada dalam sumber-sumber syariat Islam.
Alquran yang merupakan sumber syariat utama dalam Islam mencantumkan kata menangis sebagai buah dari perasaan manusia. Dalam Surat Maryam ayat 58 Allah Swt Berfirman:
إِذَا تُتْلَى عَلَيْهِمْ آيَاتُ الرَّحْمَنِ خَرُّوا سُجَّدًا وَبُكِيًّا
“..Apabila dibacakan Ayat-ayat Allah Yang Maha Pemurah kepada mereka, maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis”
Dan dalam Surat Al-Isra ayat 109 Allah Swt Berfirman:
وَيَخِرُّونَ لِلْأَذْقَانِ يَبْكُونَ وَيَزِيدُهُمْ خُشُوعًا
“Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan bertambah khusyu’”
Allah Swt juga mengabadikan dalam Alquran kisah Nabi Yaqub dan putranya Yusuf dimana Nabi Yaqub meratap dan bersedih selama puluhan tahun sampai matanya memutih ketika ia berpisah dengan putranya. Dalam Surat Yusuf ayat 84 Allah Swt Berfirman:
وَتَوَلَّى عَنْهُمْ وَقَالَ يَا أَسَفَى عَلَى يُوسُفَ وَابْيَضَّتْ عَيْنَاهُ مِنَ الْحُزْنِ فَهُوَ كَظِيمٌ
“Dan Yaqub berpaling dari mereka (anak-anaknya) seraya berkata: ‘Aduhai duka citaku terhadap Yusuf’, dan kedua matanya menjadi putih karena kesedihan dan dia adalah seorang yang menahan amarahnya (terhadap anak-anaknya).”
Selain itu, dalam sebeberapa riwayat juga disebutkan bahwa Nabi Saw juga menangis atas kesyahidan sahabatnya.
Dalam kitab Imta’ul Asma’ milik Taqiyuddin Al-Maqrizi diriwayatkan bahwa ketika Sa’ad bin Rabi’ terbunuh di Uhud, Rasulullah Saw kembali ke Madinah dan masuk ke rumah Sa’ad, lalu Rasul berbelasungkawa dan bercerita tentang Sa’ad, kemudian para wanita menangis dan kedua mata Rasul juga ikut mengucurkan air mata, dan Rasul tidak melarang mereka (para wanita) dari apapun atas tangisan mereka.
Jabir bin Abdullah berkata: Demi Allah tidak ada alas ataupun tikar disana, maka kamipun duduk. Dan Rasulullah Saw berbicara tentang Sa’ad bin Rabi’ dan berdoa memohon rahmat atasnya,….ketika para wanita mendengar itu mereka menangis, lalu mengucur air mata dari kedua mata Rasulullah Saw, dan beliau tidak melarang mereka (para wanita) dari apapun atas tangisan mereka.
Dalam kitab Al-Mustadrak ‘ala As-Shahihain milik Hakim An-Nisaburi juga diriwayatkan dari Aisyah bahwasannya sesungguhnya Nabi Saw mencium jenazah Utsman bin Maz’un dan beliau Saw menangis.
Uraian diatas menunjukkan bahwa meratap dan menangis ada dalam sumber-sumber syariat Islam, maka perbuatan tersebut bukanlah termasuk daripada bid’ah apalagi disebut sebagai sebuah kebodohan seperti yang diucapkan oleh Ibnu Taimiyah. Jika meratap ataupun menangisi seseorang termasuk bid’ah, maka Rasulullah Saw pasti tidak akan melakukannya, dan melarang orang-orang untuk melakukannya. Namun faktanya tidak demikian, Rasulullah Saw menangis bahkan mencium sahabatnya yang gugur syahid, dan membiarkan para wanita untuk menangis.
Wallahu A’lam