Bulan Muharram merupakan awal bulan dalam hitungan penanggalan Hijriyah yang menandakan pergantian tahun dan seharusnya diwarnai dengan kegembiraan, namun dalam catatan sejarah Islam, pada bulan tersebut terjadi tragedi duka yang menimpa cucu kesayangan nabi Muhammad saw, Imam Husein bin Ali yang disertai oleh keluarga dan beberapa sahabatnya.
Peristiwa itu tak lain adalah pembantaian secara sadis dan tidak manusiawi yang dipelopori oleh Yazid bin Muawiyah -penguasa saat itu yang mendapatkan otoritas sepeninggal Muawiyah- terhadap rombongan Imam Husein as yang hendak mendatangi wilayah Kufah. Keputusan Yazid ini berangkat dari penolakan cucu nabi itu untuk memberikan baiat terhadapnya dalam hal menjadi Amir (pemimpin atau penguasa) kaum muslimin pada masa itu.
Salah satu alasan penolakannya ber-baiat yang diutarakan oleh Imam Husein as saat ia berbicara dengan Abdullah bin Zubair ialah bahwa Yazid adalah seorang fasik yang secara terang-terangan menunjukkan kefasikannya, peminum Khamr (arak), seorang yang bermain-main dengan anjing dan macan serta membenci keluarga nabi saw.[1]
Berangkat dari pernyataan di atas, kita akan melihat seperti apakah sosok Yazid bin Muawiyah sebenarnya dalam catatan para penulis sejarah dan hadis, sebagai berikut:
1. At-Thabrani (260 – 360 H)
Mengenai riwayat hidup Yazid bin Muawiyah, ia mencatat:
أنبأنا أبو الفرج غيث بن علي عن أبو بكر الخطيب عن أبو نعيم الحافظ عن سليمان بن أحمد عن محمد بن زكريا الغلابي عن ابن عائشة عن أبيه قال: كَانَ يَزِيدُ فِي حَدَاثَتِهِ صَاحِبَ شَرابٍ يَأْخُذُ مَأْخَذَ الْأَحْدَاثِ، فَأَحَسَّ مُعَاوِيَةُ بِذَلِكَ فَأَحَبَّ أَنْ يَعِظَهُ فِي رِفْقٍ
Dari Ibnu Aisyah dari ayahnya berkata: “Yazid pada masa mudanya sering menghabiskan waktu bersama minuman (Khamr), kemudian Muawiyah menyadari hal itu dan ingin menasehatinya dengan lembut.”[2]
2. Al-Ya’qubi ( wafat 284 H)
Ia mencatat pernyataan Ziyad ketika diminta oleh Muawiyah untuk mengambil baiat untuk Yazid dari masyarakat Bashrah. Ziyad mengirim utusan untuk menyampaikan pesan pada Muawiyah:
فما يقول الناس إذا دعوناهم إلى بيعة يزيد، و هو يلعب بالكلاب و القرود، و يلبس المصبّغات، و يدمن الشراب، و يمشي على الدفوف و بحضرتهم الحسين بن علي، و عبد اللّه بن عباس، و عبد اللّه ابن الزبير، و عبد اللّه بن عمر؟ و لكن تأمره يتخلّق بأخلاق هؤلاء حولا أو حولين فعسانا أن نموّه على الناس
Apa yang akan dikatakan orang-orang jika kami meminta mereka untuk berbaiat pada Yazid, sedangkan ia (Yazid) adalah seorang yang bermain-main dengan anjing dan kera, mengenakan pakaian warna-warni, selalu bersama minuman (mabuk-mabukan) serta menari dengan (iringan) rebana, sementara di tengah masyarakat terdapat sosok Husein bin Ali, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Zubair dan Abdullah bin Umar? Namun (pertama) engkau perintah dulu Yazid untuk berlaku dengan sikap mereka selama setahun atau dua tahun, mudah-mudahan kami dapat menyamarkannya bagi orang-orang.[3]
Begitu pula Ya’qubi mencatat pada halaman yang lain, ketika Muawiyah berusaha untuk mengambil baiat dari penduduk Mekah dan Madinah setelah wafatnya Imam Hasan as, mereka semua memberikan baiat kecuali empat orang; Husein bin Ali, Abdullah bin Umar, Abdurahman bin Abu Bakar dan Abdullah bin Zubair.
و قال عبد اللّه بن عمر: نبايع من يلعب بالقرود و الكلاب و يشرب الخمر و يظهر الفسوق، ما حجّتنا عند اللّه؟ و قال ابن الزبير: لا طاعة لمخلوق في معصية الخالق و قد أفسد علينا ديننا
Abdullah bin Umar berkata: “Apakah kami (harus) berbaiat pada orang yang bermain-main dengan kera dan anjing, meminum Khamr dan menampakkan kefasikan? Apa hujjah kami di sisi Allah?” Ibnu Zubair berkata: “Tidak ada ketaatan terhadap makhluk yang bermaksiat pada Khalik dan ia (Yazid) telah merusak agama kami.”[4]
Dari beberapa catatan di atas terlihat jelas seperti apa sebenarnya sosok Yazid bin Muawiyah, dilihat dari bagaimana orang-orang pada masa itu mengomentari sifat dan prilakunya. Dengan karakternya yang seperti itu, mana mungkin ia layak menjadi pemimpin bagi seluruh muslimin, oleh karena itu Imam Husein as yang hingga akhir hayatnya dengan tegas menolak untuk berbaiat padanya.
[1] Al-Futuh, jil: 5, hal: 12, Darul Adhwa.
[2] Al-Bidayah Wan Nihayah, jil: 8, hal: 228.
[3] Tarikh Ya’qubi, jil: 2, hal: 128.
[4] Tarikh Ya’qubi, jil: 2, hal: 138.