Bukti “Maula” Bermakna Pemimpin dari Pernyataan Ghazali
  • Judul: Bukti “Maula” Bermakna Pemimpin dari Pernyataan Ghazali
  • sang penulis: Ben Aunullah
  • Sumber: muslimmenjawab.com
  • Tanggal Rilis: 19:42:48 1-9-1403

Salah satu bukti yang mendukung “maula” dalam hadis Ghadir Khum bermakna pemimpin adalah reaksi beberapa sahabat dalam memberikan ucapan selamat pada Imam Ali as, seperti yang telah di bahas pada seri ini.

Kali ini, kita juga akan melihat hal serupa dalam pernyataan Imam Ghazali dalam kitab Majmuah Rasail, sebagai berikut:

وأجمع الجماهیر على متن الحدیث من خطبته فی یوم عید غدیر خم باتفاق الجمیع وهو یقول: «من کنت مولاه فعلی مولاه» فقال عمر بخ بخ یا أبا الحسن لقد أصبحت مولای ومولى کل مولى فهذا تسلیم ورضى وتحکیم ثم بعد هذا غلب الهوى لحب الریاسة وحمل عمود الخلافة وعقود النبوة وخفقان الهوى فی قعقعة الرایات واشتباك ازدحام الخیول وفتح الأمصار وسقاهم کأس الهوى فعادوا إلى الخلاف الأول: فنبذوه وراء ظهورهم واشتروا به ثمناً قلیلا

Dan jumhur (mayoritas kaum muslimin) telah bersepakat atas redaksi hadis dari khutbahnya (nabi Muhammad saw) pada hari raya Ghadir Khum dengan kesepakatan seluruh (muslimin) dimana beliau saw bersabda: “Barangsiapa aku adalah maulanya maka Ali adalah maulanya”. Kemudian Umar berkata: “Selamat! Selamat! Wahai Abul Hasan (Imam Ali as), engkau telah menjadi maulaku dan maula setiap maula”. Ini (pernyataan Umar) merupakan (bentuk) penerimaan dan keridhoan. Kemudian setelah itu ia dikuasai hawa nafsu disebabkan cinta kepemimpinan, dan ia mengambil tiang khilafah, janji-janji kenabian serta (membawa) getaran nafsu dalam gemuruh suara panji-panji (berkibar), peselisihan kerumunan (pasukan) kuda, penaklukan wilayah-wilayah dan memberikan air pada mereka (muslimin) dengan cawan hawa nafsu. Kemudian mereka kembali pada konflik awal (masa jahiliyah), ketika itu sesuai dengan ayat

فَنَبَذُوْهُ وَرَاۤءَ ظُهُوْرِهِمْ وَاشْتَرَوْا بِهٖ ثَمَنًا قَلِيْلً

lalu mereka melemparkan (janji itu) ke belakang punggung mereka dan menjualnya dengan harga murah.[1]

Dalam pernyataan di atas dengan jelas Imam Ghazali menghubungkan persoalan yang terjadi pada peristiwa Ghadir Khum dengan realita yang muncul khususnya pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab. Pada pernyataan itu apabila sejenak kita renungkan, maka kita akan mendapati bahwa yang menjadi kata kunci atau inti dari penjelasan yang ingin ia sampaikan adalah perihal kepemimpinan. Mengapa demikian? Sebab kedua kejadian itu hanya akan terhubung jika “maula” pada peristiwa Ghadir Khum dipahami sebagai pemimpin dan bukan yang lain. Sementara itu apabila dimaknai dengan yang lain, maka penjelasan Imam Ghazali terkait kedua hal itu akan menjadi persoalan yang tidak memiliki hubungan. Oleh sebab itu jelas bahwa penjelasan yang ia kedepankan ini bersandar pada pemahaman bahwa “maula” bermakna pemimpin, dan Ghadir Khum adalah peristiwa pengangkatan pemimpin penerus nabi Muhammad saw.

[1] Majmuah Rasail Imam Al-Ghazali, hal: 483, Maktabah Taufikiqiyah.