Pada tulisan sebelumnya telah dibahas satu syubhat tentang masa lalu Nabi Muhammad SAWW yang pernah tersesat. Pada tulisan tersebut telah dijelaskan sanggahan dan penjelasan yang tepat terkait dengan ayat yang menjadi perbincangan.
Pada tulisan kali ini akan dibahas ayat lainnya yang seoalah mengindikasikan bahwa Rasulullah SAWW melakukan dosa baik di masa lalu maupun akan datang.
Ayat yang dimaksud adalah ayat dua surat al-Fath yang berbunyi: لِيَغْفِرَ لَكَ اللهُ ما تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِكَ وَما تَأَخَّرَ وَ يُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكَ وَ يَهْدِيَكَ صِراطاً مُسْتَقيماً (supaya Allah memberi ampunan terhadap dosa yang telah lalu dan yang akan datang serta menyempurnakan nikmat-Nya atasmu dan memberikan petunjuk kepadamu kepada jalan yang lurus)
Dalam ayat ini sepintas mengisyaratkan bahwa Nabi Muhammad SAWW memiliki dosa masa lalu dan akan datang dan dengan penaklukan atau kemenangan (fath) yang dianugerahkan Allah kepadanya dosa-dosa beliau akan terampuni.
Dalam menyikapi ayat ini Allamah Thabathabai di dalam Tafsir al-Mizan memberikan penjelasan yang sangat mencerahkan yang dengan demikian kesucian atau ishmah Nabi SAWW tetap terjaga.
Pada tahap awal beliau menjelaskan bahwa kata “dzanb” atau dosa bukanlah bermakna dosa seperti yang dipahami secara umum. Hal ini mengingat bahwa tidak ada hubungan antara penaklukan kota Mekkah dan pengampunan dosa Rasulullah SAWW:
…. Lam yang ada pada ليغفر pada zahirnya merupakan lam ta’lil (menjelaskan illat dan sebab). Maka pada dasarnya tujuan dari penaklukan atau kemenangan yang nyata ini adalah ampunan dosamu yang terdahulu dan yang akan datang. Dan merupakan hal yang nyata bahwa tidak ada hubungan antara kemenangan dan pengampunan dosa. Dan tidak logis jika menghubungkan kemenangan dengan ampunan tersebut.[1]”
Kemudian beliau menarik kesimpulan dengan mengatakan:
“secara umum masalah ini (tidak adanya hubungan antara kemenangan dan pengampunan dosa) merupakan bukti nyata bahwa yang dimaksud dengan dosa yang ada dalam ayat tersebut bukanlah dosa yang biasa dikenal; yaitu melanggar aturan yang wajib ditaati. Dan makna pengampunan dosa juga bukanlah makna yang biasa dikenal; membatalkan hukuman atas pelanggaran yang telah disebutkan.[2]”
Pada tahap ini Allamah Thabathabai mengatakan bahwa yang dimaksud dengan “dzanb” atau “dosa” bukanlah dosa karena melanggar perintah Allah dan pengampunan juga bukan pengampunan atas dosa tersebut. Dengan alasan bahwa tidak ada hubungan diantara kedua hal di atas. Tepatnya bagaimana mungkin untuk mengampuni dosa Nabi Muhammad SAWW, Allah SWT menganugerahi beliau kemenangan.
Setelah menyimpulkan hal tersebut, beliau kemudian menjelaskan makna dosa dan pengampunan yang dimaksud dengan mengatakan:
“Maka yang dimaksud dengan dosa adalah (Allah SWT lebih tahu) konsekuensi buruk dalam pandangan orang kafir dan musyrikin terhadap dakwah yang beliau lakukan. Pada dasarnya ia merupakan “dosa” beliau di mata mereka, hal ini sebagaimana termaktub dalam perkataan Musa AS kepada tuhannya: وَ لَهُمْ عَلَيَّ ذَنْبٌ فَأَخافُ أَنْ يَقْتُلُونِ[3] (Dan (menurut keyakinan mereka) aku berdosa terhadap mereka, maka aku takut mereka akan membunuhku). Dan dosanya yang terdahulu adalah apa yang dilakukan oleh beliau di Makkah sebelum hijrah dan dosa yang akan datang adalah apa yang beliau lakukan setelah hijrah. Ampunan Allah atas dosa beliau adalah menutupinya dengan menyingkirkan konsekwensi dari tindakan Nabi serta menghilangkan kekuatan dan menghancurkan struktur mereka. Dan yang menguatkan penafsiran tersebut adalah fiman Allah berikutnya sampai ayat (وَ يَنْصُرَكَ اللَّهُ نَصْراً عَزيزاً).[4]”
Melalui catatan ini Allamah menjelaskan bahwa “dosa” dalam ayat di atas bukanlah dosa terhadap Allah SWT, tapi dosa beliau di mata orang musyrik dan kafir.
Sebab selama beliau melakukan dakwah, dalam pandangan mereka beliau melakukan banyak “dosa” seperti tindakan beliau dalam menyalahkan keyakinan, amalan dan tradisi mereka. Bahkan dalam beberpa peperangan dengan Nabi SAWW keluarga serta kerabat mereka banyak yang terbunuh.
Tentu saja semua ini merupakan kesalahan dan dosa Nabi SAWW di mata mereka. Dan untuk menghilangkan anggapan tersebut maka Allah memberikan kemenangan kepada beliau.
Dengan kemenangan tersebut, orang kafir dan musyrik ada yang masuk Islam oleh karena itu dengan sendirinya di mata mereka kesalahan dan dosa tersebut hilang. Atau dengan kemenangan Nabi SAWW dan kekalahan yang menimpa musyrikin, maka mereka tidak punya kekuatan lagi untuk menyalahkan Nabi Muhammad SAWW.
Dengan penafsiran ini maka pengampunan dosa dan kemenangan menemukan hubungannya yang sangat jelas dan nyata. Dan kemaksuman Nabi SAWW juga tetap terjaga.
[1] Thabathabai, Muhammad Husain, al-Mizan Fi Tafsir al-Quran, jil: 18, hal 253, cet: Jama’at al-Mudarrisin Fi al-Hauzah al-Ilmiah, Qom.
[2] Thabathabai, Muhammad Husain, al-Mizan Fi Tafsir al-Quran, jil: 18, hal 254, cet: Jama’at al-Mudarrisin Fi al-Hauzah al-Ilmiah, Qom.
[3] Al-Syuara/ 14
[4] Thabathabai, Muhammad Husain, al-Mizan Fi Tafsir al-Quran, jil: 18, hal 254, cet: Jama’at al-Mudarrisin Fi al-Hauzah al-Ilmiah, Qom.