Pada beberapa tulisan sebelumnya, dalam pembahasan cakupan ishmah telah disebutkan bahwa mazhab Syiah meyakini kemaksuman maksimal yang meliputi dosa kecil dan besar, sengaja atau tidak, sebelum kenabian atau pada masa kenabian dan hal-hal yang menyebabkan umat menjauh.
Atas dasar ini, semua teks yang secara zahirnya bertentangan dengan keyakinan ini, selama masih dimungkinkan mesti ditakwilkan dan dimaknai secara benar, jika tidak maka harus ditolak serta ditinggalkan.
Berangkat dari konsep di atas, pada tulisan ini akan dilakukan penilaian terhadap 2 hadits yang menyebutkan bahwa Nabi SAWW melakukan kesalahan yang menyebabkan kerugian ekonomi bagi masyarakat, bahkan lebih dari itu dikatakan bahwa dalam hal urusan dunia umat lebih tahu dan paham dari beliau. Ibn Majah mencatat:
“… dari Sammak bahwa dia mendengar Musa bin Thalhah bin Abdullah menyebutkan hadits dari ayahnya, ia berkata: Aku melewati kebun kurma bersama Rasulullah SAWW maka beliau menyaksikan orang-orang mengawinkan kurma, lalu beliau bertanya: Apa yang mereka lakukan? Mereka menjawab: Mereka mengambil dari yang jantan dan meletakkannya pada yang betina. Nabi bersabda: Aku tidak menyangka hal itu bermanfaat, kemudian hal itu sampai kepada mereka lantas mereka meninggalkan dan tidak melakukan proses pengawinan tersebut. Hal itu sampai kepada Nabi SAWW, lantas beliau bersabda: Hal itu hanyalah dugaan, jika hal itu bermanfaat maka lakukanlah, sesungguhnya aku adalah manusia seperti kalian. Sesungguhnya praduga terkadang salah dan terkadang benar. Akan tetapi apa yang aku katakan kepada kalian “Allah berfirman”, aku tidak berdusta atas nama Allah (dalam hal itu).[1]”
Ada dua hal penting yang perlu dicatat dari hadits di atas. yatu terdapat dua karaktaer dalam diri Nabi; pribadi sebagai penyampai perkataan Allah yang pasti benar dan pribadi sebagai manusia biasa yang bisa saja salah.
Di dalam hadits Muslim lebih tegas lagi disebutkan bahwa umat lebih tahu dari beliau pada karakter kedua yang merupakan pribadi nabi yang berkaitan dengan urusan dunia:
“… dari Aisyah dari Tsabit dari Anas, bahwa Nabi SAWW melewati suatau kaum yang sedang mengawinkan (kurma) maka beliau bersabda: Seandainya mereka tidak melakukan hal itu akan baik. Ia berkata: Lalu kurma tidak membuahkan hasil. Kemudian ia lewat dengan mereka dan ia bersabda: apa yang terjadi dengan kurma kalian? Mereka menjawab: Engkau mengatakan demikian dan demikian. Beliau bersabda: Kalian lebih tau dengan urusan dunia kalian.[2]”
Di dalam hadits ini di samping disebutkan bahwa Nabi telah melakukan kesalahan dengan menyarankan para petani untuk tidak mengawinkan kurma yang berakhir dengan gagal panen, beliau juga menegaskan bahwa masyarakat dalam urusan dunia mereka lebih tahu dan paham dari Rasulullah sendiri.
Ada beberapa catatan yang perlu dipetimbangkan seputar hadits di atas.
Pertama: Karena hadits di atas bertentangan dengan konsep kemaksuman; tidak dapat diterima, sebab Nabi SAWW disebutkan telah melakukan kesalahan.
Yang kedua: Hadits di atas juga bertentangan dengan firman Allah yang mengatakan ketundukan secara penuh kepada Rasulullah: (Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah)[3] atau ayat yang mengatakan bahwa ucapan Nabi adalah wahyu: (dan dia tidak berbicara menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tidak lain hanyalah wahyu yang diwahyukan)[4]
Ketiga: Apakah mungkin berdasarkan praduga, Rasulullah menganjurkan atau melarang umat untuk melakukan sesuatu yang kemudian menimbulkan kerugian ekonomi yang tidak kecil? Bukankah al-Quran (Al-Isra: 36) melarang untuk bertindak berdasarkan praduga (Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya)? Lantas apakah mungkin Rasulullah SAWW melanggar kandungan ayat tersebut?
Keempat: Bagaimana dapat diterima umat lebih pintar dan lebih paham dari Rasulullah walau dalam urusan dunia sekalipun? Apakah ini tidak sama dengan merendahkan Nabi SAWW?
Kelima: Menerima hadits di atas sama dengan menerima paham sekuler yang memisahkan urusan dunia dan agama. padahal jika dilihat al-Quran, hadits dan sejarah Nabi tidak hanya mengurus hal-hal yang bersifat agama tetapi juga mengatur hal-hal yang bersifat dunia seperti; perang, negara, ekonomi, hukum, politik dan lain-lain. Dan dalam semua kebijakan ini umat diperintahkan untuk taat kepada beliau.
Keenam: Meyakini hadits di atas (hadits Ibn Majah) akan menimbulkan kebingungan yang sangat besar dalam menetapkan mana sunnah beliau yang bersumber dari tuhan dan mana sunnah yang bersifat pribadi dan mungkin salah, karena dari sekian banyak hadits yang ada kebanyakan tidak menggunakan kata “tuhan berkata demikian” yang dengan itu dapat dijamin kebenarannya.
[1] Ibn Majah, Abu Abdillah Muhammad bin Yazid, Sunan Ibn Majah, hal: 267, cet: Bait al-Afkar al-Dualiah.
[2] Muslim Naisaburi, Abul Husain Muslim bin Hajjaj, Shahih Muslim, hal: 1110, cet: Dar Thayyibah.
[3] Al-Hasyr/ 7.
[4] Al-Najm/ 3-4.