Pada beberapa tulisan sebelumnya telah dibahas tentang defenisi ishmah dan ishmah dalam al-Quran. Melanjutkan pembahsan tersebut pada tulisan ini akan disebutkan pandangan Fakhr Razi berkaitan dengan batasan serta cakupan ishmah para nabi terkhusus nabi Muhammad SAWW.
Fakhr al-Razi di dalam kitabnya Ishmat al-Anbiya mengatakan bahwa para nabi dan rasul terjaga dari melakukan dosa besar dan kecil dengan sengaja. Namun, dalam keadaan lupa ia berkeyakinan bahwa mereka mungkin saja melakukan hal dosa dan kesalahan:
“Pendapat kami: Sesungguhnya para nabi As pada masa kenabian maksum dari melakukan dosa kecil maupun besar dengan sengaja. Namun dalam keadaan lupa maka hal itu mungkin saja terjadi.[1]
Dalam catatan ini disebutkan juga bahwa kemaksuman para nabi hanya dalam lingkup masa kenabian. Adapun sebelum masa kenabian maka para nabi tidaklah maksum dari kesalahan dan dosa.
Untuk menanggapi hal ini pada tulisan-tulisan berikutnya akan dijelaskan pendapat mazhab Syiah seputar hal tersebut.
Berkaitan dengan nabi Muhammad SAWW secara khusus, fakhr Razi berkeyakinan bahwa beliau maksum dalam segala perkataan dan perbuatannya; dalam artian bahwa dalam keadaan lupa sekalipun Rasulullah SAWW tidak mungkin melakukan kesalahan dan dosa:
“Firman Allah: (dan barang siapa mentaati Rasul, maka ia telah mentaati Alah), merupakan dalil terkuat atas kemaksumannya dalam semua perintah, larangan dan segala yang disampaikannya dari Allah SWT. Karena jika ia melakukan kesalan pada salah satunya, maka mematuhinya (Nabi) tidak akan dianggap sebagai ketaatan kepada Allah SWT. Begitu juga ia mesti maksum dalam segala tindakannya, karena Allah memerintahkan untuk menaatinya dalam firmanNya : (maka ikutilah dia). Mengikuti berarti bertindak sesuai dengan tindakan orang lain. Maka yang melakukan perbuatan seperti itu masuk dalam kategori menaati Allah SWT. Hal itu berdasarkan firmanNya: (maka ikutilah dia). Maka dipastikan bahwa mengikutinya dalam segala perkataan dan perbuatan kecuali dalam hal-hal khusus yang dikecualikan oleh dalil, merupakan kepatuhan dan ketundukan kepada Allah STW.”[2]
Dalam penjelasan ini disebutkan bahwa karena di dalam ayat disebutkan bahwa mengikuti Nabi sama dengan mengikuti Allah SWT, maka hal ini memiliki konsekuensi kemaksuman Nabi SAWW dalam segala perkataan dan perbuatannya baik disengaja maupun dalam keadaan lupa.
Sebab, jika Nabi SAWW tidak maksum dan mungkin melakukan kesalahan, baik dalam keadaan lupa, maka mengikuti beliau juga belum tentu mematuhi Allah SWT. Hal itu mengingat bahwa mungkin saja perbuatan yang diikuti merupakan perbuatan salah yang dilakukannya. Dan mengikuti perbutan salah sekalipun karena lupa, tentu saja bukan merupakan ketaatan kepada Allah SWT.
Oleh karena itu perintah Allah SWT untuk mengikuti Nabi SAWW sama dengan legitimasi atas segala perkataan dan perbutannya. Dan inilah yang disebut dengan ishmah.
Sebenarnya, jika dilihat lebih cermat lagi, dalil yang sama dapat diterapkan pada semua nabi, bukan hanya Rasulullah SAWW sebagaimana disampaikan oleh Fakr Razi. Sebab Allah SWT juga memerintahkan untuk mengikuti mereka.
Atas dasar ini maka tidak ada alasan untuk membatasi kemaksuman para nabi dalam tindakan yang disengaja saja, akan tetapi mencakup segala perbuatan.
[1] Fakhr al-Razi, Fakhruddin al-Razi, Ishmat al-Anbiya, hal: 40, cet: Maktabah al-Tsaqafah al-Diniah, Qaira.
[2] Fakhr al-Razi, Fakhruddin al-Razi, al-Tafsir al-Kabir, jil: 10, hal: 193.