Bulan Rabiulawal baru saja tiba. Itu artinya, lantunan puji-pujian kepada Nabi Saw. bakal sering kita dengar, baik di surau maupun di rumah-rumah dan dari tempat lainnya. Sebab, kita tahu, bahwa di bulan inilah Nabi Saw lahir. Maka, Hampir setiap orang Muslim merayakan kelahirannya dengan menggelar acara maulid nabi. Berbicara soal maulid nabi, salah satu ihwal yang santer diperdebatkan ialah soal bid’ah atau tidaknya merayakan hal tersebut.
Lagi-lagi, dalam melihat hal itu, maka kita dihadapkan pada dua kelompok, kubu yang membolehkan merayakan maulid nabi, dan kubu yang melarang, bahkan menganggap perayaan maulid nabi sebagai bidah. Tentu saja, mereka memiliki argumentasi masing-masing soal pandangannya tersebut.
Sebelum mengupas lebih dalam mengenai boleh-tidaknya merayakan maulid nabi, alangkah baiknya kalau kita mengetahui apa makna bid’ah, baik secara bahasa maupun istilah (terminologi). Secara bahasa, bidah berasal dari akar kata ba’-dal-ain, yang berarti menciptakan sesuatu yang belum penarh ada sebelumnya.
Lisanul Lisan-Tahdzib Lisanul Arab, juz. 1, hal. 69, penerbit: Darul Kutubil Ilmiah, Beirut-Lebanon.
Di dalam kitab Lisanul Lisan Tahdzib Al-Arab dikatakan, bahwa makna bidah berarti sesuatu yang baru, yang dibuat di dalam agama setelah agama itu sempurna. Adapun secara istilah, makna bid’ah adalah perkara baru yang tidak terdapat di dalam kitab (al-Quran) dan sunnah. Dengan kata lain, bidah adalah suatu perbuatan yang memasukkan ucapan atau perbuatan ke dalam syariat, di mana ucapan dan perbuatan itu tidak terdapat di dalam syariat Islam.
Di sisi lain, masih berkuat di dalam makna bidah secara istilah, bahwa ia adalah pembaharuan (baca: pengadaan) akidah maupun hukum fikih di dalam sebuah syariat agama tanpa ada sumber yang pasti, baik dari al-Quran, Sunnah dan lainnya. Mungkin, itulah makna bidah, baik secara bahasa maupun istilah. Adapun terkait penjabarannya, Insya Allah akan diulas di dalam tulisan-tulisan berikutnya. Wallahu a’lam bi-Shawab.