Dalil Konsep Keadilan Sahabat (7)
  • Judul: Dalil Konsep Keadilan Sahabat (7)
  • sang penulis: ben ainullah
  • Sumber: MUSLIMMENJAWAB.COM
  • Tanggal Rilis: 18:50:11 1-9-1403

Salah satu pandangan yang paling menonjol mengenai para sahabat adalah konsep keadilan yang ditetapkan pada setiap anggotanya. Yakni mereka yang menyandang gelar sahabat adalah pribadi yang tak perlu dipertanyakan lagi keadilannya, sebab sudah jelas ditetapkan dalam beberapa ayat Al-Quran maupun riwayat.

Di antara ayat yang digunakan untuk menetapkan keadilan seluruh sahabat adalah surat Ali Imran ayat 110, yang berbunyi:

كُنْتُمْ خَيْرَ اُمَّةٍ اُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ

Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.

Pendekatan argumentasi: Allah swt telah menetapkan bagi mereka (para sahabat, sebab khitabnya pada mereka) keunggulan dan kebaikan di atas seluruh umat-umat lainnya, dan tidak ada sesuatu yang dapat menyaingi kesaksian Allah swt dalam hal ini terhadap mereka, sebab Ia adalah Dzat yang paling tahu terhadap hamba-hamba-Nya. Oleh sebab itu jika terdapat sebuah kebaikan dan keunggulan kemudian diikuti dengan kesaksian Allah swt, maka wajib atas siapa pun untuk meyakini hal itu dan mengimaninya, apabila tidak, maka sama halnya dengan membohongkan Allah dalam kesaksian-Nya dan tidak menerimanya, dan ini termasuk dalam bentuk kekufuran. Apabila sudah terbukti keunggulan serta kebaikan mereka dengan kesaksian Allah swt maka sudah tentu mereka adalah sosok yang adil sebagai kelazimannya.

Argumentasi ini bersandar pada empat hal yang mana apabila salah satunya gugur, maka semua kesimpulannya pun akan berubah:

Pertama, kata kerja “كان” yang terdapat pada ayat tidak menunjukkan masa lampau atau berupa tambahan. Sebab seandainya menunjukkan masa lampau maka kesaksian Allah dalam ayat itu hanyalah memberitakan kondisi terdahulu para sahabat sebelum pengkabaran, bukan kondisi pada saat pengkabaran.

Dalam hal ini para mufassir memiliki pandangan yang beragam, salah satunya adalah Fakhru Ar-Razi yang menjelaskan konsekuensi dari semua kemungkinan yang ada pada kata kerja dalam ayat di atas:

1. Kata kerja “كان” apabila berupa Fi’il Tammah (menunjukkan waktu dan kejadian),maka memberikan makna kejadian dan ia tidak butuh pada Khabar (predikat)dan kata “خير أمة” akan menjadi Hal (keterangan keadaan). Sehingga makna yang dihasilkan di sini menjadi: “kalian telah ada (dijadikan atau diciptakan) sebagai umat terbaik..” ini merupakan pandangan sekelompok mufassirin.
    
2. Kata kerja “كان” apabila berupa Fi’il Naqishah (hanya menunjukkan waktu bukan kejadian), maka muncul pertanyaan bahwa apakah mereka dulunya disifati dengan umat terbaik, sementara saat ini mereka tidak berada pada sifat tersebut.
    
3. Kata kerja “كان” apabila berupa kata tambahan, maka keberadaannya tidak memberikan pengaruh apa pun pada kalimat. Sehingga makna yang dihasilkan: “kalian adalah umat terbaik..” tanpa dipengaruhi waktu.
    
4. Kata kerja “كان” apabila bermakna “صار” yang memiliki arti menjadi, sehingga makna yang dihasilkan: “kalian telah menjadi umat terbaik disebabkan kalian menyeru pada yang ma’ruf dan melarang dari yang munkar serta beriman pada Allah.”.[1]

Kedua, kata ganti yang ada pada “كنتم” dalam ayat di atas harus dikhususkan kepada seluruh sahabat.

Maksud khitab dalam ayat ini terdapat dua kemungkinan:

a. Khitabnya kepada orang-orang yang beriman, sehingga ini menjadi umum bagi siapapun dari umat nabi saw. Seperti yang terjadi pada ayat puasa, Al-Baqarah ayat 183:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ

Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.

b. Khitabnya hanya khusus pada orang-orang yang hadir ketika ayat ini turun.

Dari kedua kemungkinan tersebut jelas tidak dapat menunjukkan kepada seluruh sahabat. Yang pertama sudah jelas, sedangkan yang kedua tidak semua sahabat hadir ketika ayat tersebut turun, maka bagaimana bisa menjadi umum dan berlaku pada seluruh sahabat bukan selainnya.

Ketiga, maksud dari kata “أمة” bukan sebuah kelompok secara keseluruhan melainkan secara satu persatu.

Hal ini juga terbantahkan sebab ayat ini dan ayat-ayat yang setelahnya menunjukkan makna “أمة” secara keseluruhan atau kumpulan bukan dilihat secara satu persatu.

Keempat, kalimat “تأمرون..” dan seterusnya merupakan kalimat sifat dan bukan menunjukkan sebab atau syarat.

Dan ini juga tidak bisa diterima, melihat dari semua yang tanpak pada ayat dalam pembahasan-pembahasan di atas hal tersebut jauh lebih mungkin untuk menjadi sebuah syarat atau sebab dari sebaik-baiknya umat ketimbang sifat, karena tanpa hal itu apa yang menjadi ukuran bahwa mereka menjadi umat terbaik.

Kesimpulannya adalah ayat tersebut tidak dapat dijadikan dalil untuk menjamin keadilan seluruh sahabat.

CATATAN:

[1] Tafsir Al-Kabir, jil: 8, hal: 155-156, Darul Kutub Ilmiyah.