Hari wiladah atau hari kelahiran merupakan momen yang sangat berkesan bagi seseorang, tak hanya itu bahkan biasanya membawa kebahagiaan dan kesenangan bagi orang-orang yang ada di sekitarnya, sehingga seringkali dirayakan.
Termasuk di antaranya adalah maulid nabi atau hari kelahiran nabi Muhammad saw, yang mana membawa kebahagiaan khususnya bagi kaum muslimin. Oleh sebab itu biasanya diadakan beragam acara peringatan atas momen berbahagia ini, atau yang di negeri kita biasa dikenal dengan maulidan.
Di sisi lain ternyata ada juga kelompok yang menganggap maulidan ini sebagai perbuatan bid’ah sehingga tidak diperbolehkan. Maka dari itu terjadilah banyak perdebatan dan pembicaraan dalam hal ini. Apakah benar maulid itu adalah bid’ah dan tidak boleh dilakukan? Ataukah tidak demikian.
Berangkat dari persoalan di atas, sangat penting kiranya kita mengenal terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan bid’ah dan seperti apa contohnya. Sehingga apabila kita telah mengenal bid’ah secara benar, maka kita akan tahu bagaimana sebenarnya relasinya dengan maulid.
Dimulai dari dasarnya, kita akan melihat makna bid’ah dalam pandangan para ahli bahasa terlebih dahulu. Dalam pembahasan lalu telah diulas pengertian bid’ah dalam kitab Lisanul Arab karya Ibnu Mandzur, sementara kali ini kita akan melihatnya dalam Kitab Al-Ain karya Al-Khalil bin Ahmad Al-Farahidi serta kitab Mu’jam Maqayisul Lughah karya Ibnu Faris.
Dalam Kitab Al-Ain disebutkan demikian:
بدع: البدع; إحداث شيء لم يكن له من قبلُ خلق ولا ذكر ولا معرفة. والله بديع السماوات والأرض . . البدع : الشيء الذي يكون أوّلا في كلّ أمر كما قال الله : ( مَا كُنْتُ بِدعاً مِنَ الرُّسُلِ ) أي لست بأوّل مرسل
والبدعة اسم ما ابتدع من الدين وغيره
والبدعة ما استحدث بعد رسول الله من الأهواء والأعمال
بدع: Al-bad’u (البدع): Penciptaan sesuatu yang belum ada sebelumnya ciptaan, sebutan dan pengetahuan. (seperti) Allah pencipta langit dan bumi… Al-Bid’u (البدع): Sesuatu yang menjadi awal dalam segala hal, sebagaimana Allah swt berfirman: “Katakanlah (Muhammad), ‘Aku bukanlah rasul yang pertama di antara rasul-rasul…’” (Al-Ahqaf: 9), yakni aku bukanlah utusan yang pertama.
Dan Al-Bid’atu (البدعة): Nama sesuatu yang diciptakan atau dibuat dari (dalam) agama dan selainnya.
Dan Al-Bid’atu (البدعة): Apa-apa dibuat (baru) setelah Rasulullah saw dari (berupa) kecenderungan dan amal.[1]
Sementara itu Ibnu Faris mencatat:
بدع: الباء والدال والعين أصلان: أحدهما ابتداء الشيء وصنعه لا عن مثال ، والآخر الانقطاع والكلال
فالأول قولهم أبدعت الشيء قولا أو فعلا، إذا ابتدأته لا عن سابق مثال، والله بديع السماوات والأرض
بدع: Ba, Ain dan Dal memiliki dua asal: salah satunya ialah memulai sesuatu dan membuatnya tidak dari sebuah contoh, dan yang lainnya adalah terpotong dan kelesuan.
Yang pertama (misalnya) ucapan mereka: أبدعت الشيء قولا أو فعلا، Saya menciptakan sesuatu berupa ucapan atau pun perbuatan, apabila engkau membuatnya bukan didahului dengan contoh, dan Allah pencipta langit dan bumi…[2]
Dari kedua uraian di atas, secara umum dapat kita ambil kesimpulan bahwa asal-muasal kata bid’ah itu diambil dari kata yang terdiri dari tiga huruf asli; ba, dal dan ain yang mana memiliki makna mencipta atau membuat sesuatu yang baru yang mana belum pernah ada sebelumnya atau tidak ada contohnya. Seperti yang dicontohkan dengan kalimat; Allah swt pencipta langit dan bumi, dengan menggunakan kata بديع (pencipta) yang memiliki asal kata yang sama dengan bid’ah, maka artinya Allah telah membuat langit dan bumi itu untuk pertama kali dan tidak ada contoh sebelumnya.
Sehingga setelah memahami hal ini kita akan sedikit bisa meraba apa makna bid’ah dalam agama. Namun yang perlu diperhatikan ialah bahwa makna secara bahasa tidak sama dengan makna secara istilah meskipun memiliki titik persamaan, sebab biasanya makna secara istilah memiliki kriteria tertentu sehingga membuatnya lebih spesifik terhadap sesuatu. Sehingga langkah selanjutnya adalah merujuk pada maknanya dalam istilah -meskipun secara ringkas disebutkan di atas- insyaAllah akan dibahas pada tulisan-tulisan berikutnya.
[1] Kitabul Ain, jil: 1, hal: 121-122, cet: Darul Kutubul Ilmiyah, Beirut.
[2] Mu’jam Maqayisul Lughah, hal: 101, cet: Daru Ihyait Turatsil Arabi, Beirut.