Definisi Bid’ah Menurut Ibnu Hajar Al-Asqalani
  • Judul: Definisi Bid’ah Menurut Ibnu Hajar Al-Asqalani
  • sang penulis: Youz Zarseef
  • Sumber: muslimmenjawab.com
  • Tanggal Rilis: 18:23:19 1-9-1403

Bulan Rabiul Awwal identik dengan bulan kelahiran Nabi Muhammad Saw. Pada bulan ini kaum muslimin bersukacita dan menyambutnya dengan merayakan peringatan Maulid Nabi Saw. Dalam perayaan tersebut, mereka membaca Alquran, menyebut pujian-pujian untuk Nabi Saw, bershalawat, dan bersyukur pada Allah Swt atas karunia dan nikmat yang agung lewat kelahiran Nabi yang termulia itu.

Namun, terdapat sebagian dari kaum muslimin yang menilai bahwa perayaan maulid Nabi Saw -atau yang biasa kita sebut dengan Maulidan- sebagai sesuatu hal yang negatif. Mereka menganggap bahwa perayaan peringatan tersebut sebagai sebuah bid’ah, dan yang melakukannya dianggap sesat.

Untuk membahas persoalan ini, hal pertama yang harus kita fahami ialah makna dari bid’ah itu sendiri secara komprehensif, dan setelah itu kita bisa menimbang apakah maulidan ini termasuk dari bid’ah dan sesat, atau maulidan ini memang bid’ah namun tidak sesat, hal ini biasa kita kenal sebagai bid’ah hasanah, atau maulidan ini sama sekali bukan bagian dari bid’ah.

Tulisan-tulisan sebelumnya telah kita paparkan berbagai definisi dari bid’ah. Dan kali ini penulis akan suguhkan lagi satu definisi bid’ah menurut ulama tersohor Ahlussunnah yaitu Ibnu Hajar Al-Asqalani. Dalam kitabnya Fathul Bari bi Syarhi Shahih Al-Bukhari, Ibnu Hajar menjelaskan maksud daripada bid’ah.

“…maksud dari bid’ah ialah membuat hal-hal baru yang tidak ada sumbernya di dalam Syariat, itulah bid’ah. Adapun jika hal tersebut memiliki sumber syariat, maka hal tersebut bukanlah bid’ah.”[1]

Setelah melihat definisi bid’ah menurut Ibnu Hajar Al-Asqalani, pertanyaannya apakah Maulidan masuk kedalam bid’ah menurut pandangan beliau? Yang berarti, Apakah Maulidan tidak ada sumbernya dalam Syariat? Atau sebaliknya?. Penjelasan mengenai hal tersebut insya Allah bisa kita kupas pada tulisan-tulisan dan seri-seri berikutnya.

[1] Fathul Bari bi Syarhi Shahih Al-Bukhari Juz 13 Hal. 253 Cet. Al-Maktabah As-Salafiyah