Menangisi kewafatan seseorang, terutama jika ia merupakan sosok yang dicintai atau pribadi yang agung merupakan perbuatan yang memiliki dasar dan dipraktekkan langsung oleh baginda Rasul SAWW.
Hal ini telah disebutkan pada seri sebelumnya; di mana Nabi SAWW menangis karena wafatnya beberapa pribadi yang dicintai oleh beliau.
Mengingat bahwa menangisi kesyahidan imam Husain secara khusus sering menjadi sorotan dan dianggap sebagai amalan bidah oleh sebagian oknum, dan kemudian dijadikan legitimasi untuk pelabelan sesat terhadap mazhab Syiah, maka dalam tulisan ini akan dimuat hadits yang menyatakan keabsahan amalan tersebut. Dengan demikian anggapan yang salah kaprah tersebut dapat terbantahkan.
Di dalam beberapa literatur Ahlussunnah disebutkan bahwa Nabi Muhammad SAWW telah menangisi kesyahidan imam Husain AS jauh sebelum peristiwa itu terjadi
Di dalam kitab al-Mustadrak disebutkan:
“….. Dari Ummul Fadl binti al-Haris bahwa sanya suatu hari ia datang menemui Rasullullah SAWW…….. suatu hari aku masuk menjumpai Rasulullah lalu aku meletakkannya (Husain AS) di pangkuan Nabi. Setelah itu aku menoleh dan meliahat kedua mata beliau berlinang air mata. Ia berkata: aku bertanya: wahai Nabi Allah! Demi ayah dan ibuku apa yang terjadi denganmu? Nabi menjawab: Jibril AS mendatangiku dan memberi kabar bahwa ummatku akan membunuh anakku ini. Aku bertanya: ini? Beliau menjawab: ya. Dan ia membawakanku tanahnya yang berwarna merah.[1]”
Ahmad bin Hanbal juga memuat hadits senada di dalam musnadnya:
“dari Abdullah bin Nujai, dari ayahnya: ……… aku bertanya: ada apa? Ia (Ali AS) menjawab: suatu hari aku masuk menemui Rasulullah SAWW sedangkan kedua matanya berlinang. Aku bertanya: wahai Nabi Allah? Apakah seseorang membuatmu marah? Mengapa matamu berlinang air mata? Beliau bersabda: baru saja Jibril meninggalkanku dan dia menceritakan bahwa Husain akan terbunuh di pinggir sungai Furat. Ia berkata: Nabi bertanya: maukah engkau ku ciumkan bau tanahnya? Ia berkata: Aku menjawab: ya. Lalu ia mengambi segenggam tanah dan memberikannya kepdaku. Setelah itu aku tidak kuasa menahan tangis.[2]”
Berangkat dari dua hadits di atas dapat dipahami bahwa menangisi kesyahidan pribadi yang memiliki keutamaan seperti imam Husain AS bukanlah amalan bidah. Sebab Nabi SAWW telah melakukan hal itu, bahkan jauh sebelum kesyahidan imam Husain.
Oleh karena itu, bukan hanya tidak bidah, amalan ini bahkan dapat dimasukkan ke dalam golongan sunnah Nabi, sebab memiliki contoh yang jelas.
Dan kelompok yang menganggap bidah amalan ini harus siap dengan konsekuensi pandangannya. Iaitu menganggap bidah amalan Nabi Muhammad SAWW.
[1] Hakim al-Naisyaburi, Abu Abdillah Muhammad bin Abdullah, al-Mustadrak Ala al-Shahihain, jil: 3, hal: 194, cet: Dar al-Kutub al-Ilmiah, beirut.
[2] Ahmad bin Hanbal, Ahmad bin Muhammad, Musnad Ahmad bin Hanbal, jil: 1, hal: 446, cet: Dar al-Hadits, Qairo