Kok… Shalat Saya Harus dalam Bahasa Arab?
  • Judul: Kok… Shalat Saya Harus dalam Bahasa Arab?
  • sang penulis:
  • Sumber:
  • Tanggal Rilis: 1:41:16 4-9-1403


Untuk menjelaskan jawaban atas pertanyaan di atas kiranya pertanyaan tersebut harus diterangkan lebih dahulu; apabila yang dimaksud dalam pertanyaan tersebut tekait bahasa pengganti selain bahasa Arab, maka pertanyaan ini juga boleh jadi mengemuka bagi orang yang asing terhadap bahasa tersebut. Dan apabila yang dimaksud bahwa mengapa kita harus mengerjakan shalat hanya dengan bahasa Arab, maka siapa pun tidak dapat mengerjakan shalat dengan menggunakan bahasa ibunya dan bahasa daerahnya masing-masing. Karena itu, kami mengajak Anda untuk memperhatikan beberapa poin berikut ini:

Poin pertama: Dapat dikatakan bahwa dalil utama mengapa shalat harus dikerjakan dengan menggunakan bahasa Arab, setelah mengetahui bahwa shalat merupakan Sunnah Rasulullah dan ibadah tauqifi (dikerjakan sesuai dengan bentuk yang ditetapkan Allah Swt), adalah untuk menjaga dan memelihara shalat sepanjang perjalanan abad dan masa tanpa adanya pengurangan dan penambahan. Dan apabila orang-orang mengerjakan shalat dengan bahasa ibu dan bahasa daerahnya masing-masing maka boleh jadi akan terjadi penambahan dan pengurangan lafaz, distorsi dan tercampurnya dengan pelbagai khurafat dan masalah-masalah yang tak-berdasar pada shalat. Barangkali perubahan-perubahan ini, akan berpengaruh pada kewajiban-kewajiban dan rukun-rukun shalat lainnya. Dan tidak menutup kemungkinan secara perlahan inti shalat akan hilang signifikansinya dan secara keseluruhan akan dilupakan.

Jelas bahwa supaya segala sesuatunya terpelihara dan terjaga selamanya sepanjang sejarah maka ia harus memiliki kriteria dan neraca yang tidak berubah-ubah; seperti dalam masalah ukuran, milimiter, sentimeter atau meter dan terkait dengan urusan berat, gram, kilogram dan sebagainya yang digunakan sebagai kriteria dan pakem yang mengalami perubahan. Shalat juga demikian adanya, beberapa hal yang dinamakan sebagai kewajiban-kewajiban dan rukun-rukun digunakan sebagai kriteria dan pakem dimana salah satu darinya adalah keharusan menggunakan bahasa Arab dalam mengerjakan shalat.

Poin Kedua: Islam merupakan agama global dan universal yang ingin menempatkan seluruh kaum Muslimin pada barisan dan jejeran yang satu. Untuk membentuk masyarakat yang satu tidak mungkin dapat tercapai tanpa bahasa yang satu yang menjadi media mereka untuk berkomunikasi dan saling memahami. Dan bahasa Arab sesuai dengan pengakuan para ahli bahasa, merupakan bahasa yang paling komplit dan menyeluruh dari bahasa-bahasa yang ada di dunia. Bahasa Arab ini dapat menjadi satu bahasa internasional dan bahasa shalat seluruh kaum Muslimin, formula wahdah (kesatuan) dan perlambang persatuan kaum Muslimin; kaidah ini juga dapat dijumpai pada aturan-aturan Islam lainnya seperti mengerjakan shalat dengan menghadap kiblat.

Poin Ketiga: Boleh jadi terlintas dalam benak Anda bahwa mengkondisikan dan memaksa seseorang yang tidak menguasai bahasa Arab untuk mengerjakan shalat dengan menggunakan bahasa Arab akan menciptakan kesulitan bagi mereka dan konsekuensinya adalah berlaku aniaya kepada mereka. Dalam menjawab persoalan ini harus dikatakan bahwa bagi orang-orang yang ingin memenuhi hajat kesehariannya terkondisi menggunakan puluhan terminologi bahkan ratusan istilah asing, mereka tahu bahwa kalimat-kalimat shalat yang terdiri dari himpunan kalimat wajib (dengan menghapus kalimat-kalimat ulangan) kira-kira menjadi 20 kalimat saja. Tentu hal ini bukan merupakan suatu hal yang sulit dilakukan. Dari sisi lain, makna lahir dan permukaan kalimat-kalimat shalat sangat sederhana, mudah dan seluruh orang dapat dengan mudah mempelajari makna lahir dan permukaan kalimat Bismihillahirrahmanirahim (Dengan Menyebut Nama Allah Yang Mahakasih dan Mahasayang) dan seterusnya. Meski kalimat ini mengandung kalimat yang dalam dan luas.

Poin Keempat: Dalam perspektif linguistik, bahasa Arab merupakan bahasa yang paling komplit sedunia sehingga pelbagai konsep dan pahaman yang luas dan mendalam dapat dengan mudah dijelaskan dalam beberapa format indah.[1]

Poin Kelima: Penggunaan lafaz dan penyebutan zikir pada setiap hukum dan ibadah dengan bahasa Arab bukan merupakan syarat lâzim (syarat yang harus ada). Misalnya berdasarkan pandangan sebagian ulama, bahwa ungkapan yang dipakai dalam akad nikah tidak diharuskan menggunakan bahasa Arab.[2] Sebagian ulama seperti Imam Khomeini Ra dalam bab ini mengatakan bahwa: jika seorang mukallaf tidak mampu mengucapkan formula (sigah) dalam bahasa Arab, walaupun dalam hal ini ia boleh mewakilkannya, maka dibolehkan baginya membaca akad dengan selain bahasa Arab.[3] Demikian juga, doa-doa tidak selalu diharuskan dibaca dengan bahasa Arab. Oleh karena itu, doa dalam shalat pun diperbolehkan disampaikan dengan bahasa selain Arab. Sesuai fatwa mayoritas Marja Taklid, dalam shalat juga pada selain dzikir-dzikir wajib dan khususnya pada saat qunut, ia dapat berdoa dengan bahasa selain Arab.[4]

Akan tetapi apa yang disampaikan di atas tidak bermakna tiadanya perhatian kaum Muslimin terhadap makna-makna dzikir dalam shalat dan sebagainya, melainkan harus bagi setiap Muslim mengenal makna shalat dan doa-doa sehingga ia tahu apa yang ia sampaikan kepada Tuhannya. Apabila ia mengenal dan mengetahui makna shalat dan doa-doa yang disampaikan dalam shalat maka seluruh perbuatannya tidak kering dan tanpa ruh sehingga dengan pengetahuan tersebut ia dapat melesak terbang berziarah menuju keabadian.[IQuest]

Catatan Kaki:

[1]. Al-Mizân, jil. 4, hal. 160; Tafsir Nemune, jil. 9, hal. 300 dan jil. 13, hal. 311.

[2]. Mu'allaqât-e Ayatullâh Gerâmi, jil. 4, hal. 645.

[3]. Urwat al-Wutsqâ, jil. 1, hal. Hasyiyeh hal. 645

[4]. Taudhi al-Masâil Marâjî', jil. 1, hal. 62.