Institusi Marja’iyyah dalam Masa Okultasi
Oleh: A. Kamil
Sample ImageDalam pembahasan teologi Islam telah ditetapkan bahwa manusia adalah makhluk teleologik. Sosok makhluk yang memiliki tujuan hidup. Aksioma ini bukan sekedar klaim dan pepesan kosong yang bisa disuarakan oleh setiap orang . Manusia dalam perjalanan hidupnya memiliki tujuan dan sasaran untuk mencapai kesempurnaan. Aksioma “pada segala sesuatu terdapat tujuan” tidak terkecuali bagi manusia. Bahkan melebihi segala sesuatu, manusia memiliki tujuan dan sasaran transedental dan divine dimana dengan segala upaya ia lakukan untuk mengatarkan dirinya kepada tujuan ini. Tuhan menciptakannya juga untuk mereleasisaikan tujuan ini. Oleh karena itu, Tuhan setelah menciptakan manusia, Tuhan menurunkan al-Qur’an lalu mengutus para nabi dan rasul kemudian sepeninggal keduanya, mekanisme Ilahi ini tetap berketerusan dengan perantara para imam semuanya untuk mengawal manusia mencapai tujuan ini. Semenjak menciptakan Adam, Tuhan telah menunjukkan jalan kepada manusia untuk melintasi jalan kesempurnaan dan meraup kebahagiaan insaniah dengan memilih para nabi untuk menuaikan tujuan mulia ini. Dalam mengutus para nabi, nabi demi nabi diutus menyeru manusia kepada Tuhan sang Pemilik Sejati Kesempurnaan dengan pengajaran dan pensucian.
Para nabi datang kepada manusia untuk memperkenalkan manusia hak dan kewajibannya di samping itu mengajak manusia untuk memperelok dan mensucikan jiwanya untuk mentransendental. Al-Qur’an dalam kaitannya dengan tugas dan tujuan diutusnya para nabi menegaskan, “Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang rasul dari golongan mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan mereka, dan mengajarkan kepada mereka kitab (Al-Qur’an) dan hikmah, meskipun mereka sebelum itu benar-benar terjerumus dalam jurang kesesatan yang nyata.” (Qs. Al-Jumuah [62]:2)
Nikmat dan anugerah Ilahi berupa pengutusan para nabi dan pemimpin samawi pada setiap masa sehingga ajaran-ajaran Ilahi secara berkesinambungan sampai kepada manusia. Imam Ridha As dalam menjelaskan eksistensi pengutusan para nabi dan derajat pengajaran mereka bersabda, “Tiada pilihan lain kecuali rasul Tuhan di antara mereka yang menjadi media antara Dia dan manusia dan mentransformasi titah dan larangan, serta norma kepada mereka.[1] Imam ‘Ali As terkait pengutusan secara berkesinambungan para nabi ini bersabda, “Tuhanku! Sesungguhnya merupakan sesuatu yang benar bahwa para hujjat harus ada di bumi, hujjat-demi-hujjat atas makhluk-Mu, menuntun mereka kepada agama-Mu, mengajarkan mereka ilmu-Mu, sehingga para pengikut-Mu tidak berberai.”[2]
Dan pada masa ghaibah kubra, ulama dan para juris mengambil tongkat estafet ini. Tentang peran seorang juris, Imam Khomeini pernah berkata bahwa sebagaimana peran nabi dan imam mampu mengawal dan melesakkan manusia ke arah kesempurnaan, juris juga memiliki peran yang sama.
Periode Akhir Kenabian
Nikmat dan anugerah terbesar yang diberikan Allah Swt kepada manusia pada umumnya, kaum musliminn pada khususnya dan lebih khusus kepada mazhab Syiah adalah anugerah keberadaan Nabi Saw dan para Imam Maksum As. Pada masa hayat Nabi Saw kaum Muslimin dapat langsung merujuk kepada mereka mengukapkan persoalan yang mereka hadapi, baik persoalan teologis, etika, sosial dan fiqih. Mereka langsung dapat menyeruput manfaat atas keberadaan Rasulullah Saw di tengah-tengah mereka. Pasca Rasulullah Saw, periode imamah dimulai dengan pengangkatan Imam ‘Ali As sebagai khalifah, washi, dan wali Rasulullah Saw atas kaum Muslimin. Dan setelah Imam ‘Ali, sebelas Imam Maksum As sebagai pelanjut risalah dan nubuwah dalam bingkai imamah yang merupakan keharusan dan keniscayaan dalam mazhab Syiah. Rasulullah Saw dalam menetapkan keberadaan mereka dan peran mereka sebagai media rujukan dalam masalah agama, sosial dan politik mencitrakan mereka sebagai pendamping Al-Qur’an yang berposisi “Tibyanan likulli syai” (penjelas segala sesuatu) dalam sebuah hadis yang diterima validitasnya dari kedua mazhab, Syiah dan Sunni, “Sesungguhnya aku tinggalkan untuk kalian dua pusaka yang berharga; Kitab Allah dan Itrah; Ahlul Baitku. Selama berpegang pada keduanya, kalian tak akan tersesat selama-lamanya. Dan keduanya tidak akan terpisah hingga menjumpaiku di telaga Kautsar, di Hari Kiamat kelak”.[3]
Periode Imamah
Gerakan ini terus berlanjut dan berketerusan hingga masa akhir kenabian. Setelah masa kenabian berakhir, periode imamah dimulai. Nabi Saw menyampaikan segala yang diturunkan oleh Allah Swt kepadanya dan menunaikan tugas kenabian yang diembannya. Seiring dengan dekatnya akhir usia Nabi Saw, Allah Swt menyempurnakan agama dan nikmat yang diberikan kepada Nabi Saw (umat) disudahi dengan imamah serta memberikan titah penting kepadanya. Allah Swt memilih Muhammad Saw sebagai nabi pamungkas dan Islam sebagai agama terakhir. Supaya agama ini tetap terjaga dan senantiasa hidup hari Kiamat, Allah Swt menurunkan dustur dan titah penting berupa wahyu kepada Rasulullah Saw untuk menyempurnakan agama, “Hai rasul, sampaikanlah apa yang di turunkan kepadamu dari Tuhan-mu. Dan jika kamu tidak mengerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan risalah-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” (Qs. Al-Maidah [5]:67)
Kesempurnaan penyampaian agama dan penyempurnaannya dengan mengangkat imam dan pemandu umat, sedemikian sehingga pengamalan agama tetap dalam pengamatan dan kendali. Agama Tuhan tidak dibiarkan tanpa pemimpin dan Qur’an Natiq yang berfungsi menafsirkan al-Qur’an sebagaimana tugas fungsional yang diperankan oleh Nabi Saw.
Rasulullah Saw dalam Idul Ghadir memperkenalkan ‘Ali bin Abi Thalib sebagai penafsir al-Qur’an dan bersabda: “Dan sekali-kali tiada seorang pun yang mampu menafsirkan al-Qur’an bagi kalian (kaum Muslimin) kecuali orang yang kini tangannya kuraih dan kuangkat di hadapan kalian.” (Al-Ghadir, jil. 1, hal. 215)
Iya. Ketika agama sempurna dengan penentuan wali dan imam kaum Muslimin, ayat Ilahi turun: “Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridai Islam itu menjadi agama bagimu.” (Qs. Al-Maidah [5]:3)
Kaidah wilayah (baca: imamah) merupakan sebuah kaidah yang tetap dan tradisi dawam di kalangan para nabi sebagaimana yang disinggung dalam ayat iblâgh dan sejarah juga merekamnya dengan baik. Nabi Saw menjalankan tradisi para nabi ini dengan baik bahkan sempurna. Kaidah wilayah memiliki derajat dan kedudukan yang tinggi dalam Islam, lantaran dengan wafatnya Nabi Saw wahyu (pensyariatan) telah terputus dan selepasnya tiada lagi nabi yang akan diutus kepada manusia. Dalam masa imamah ini, yang menjadi kewajiban kaum Muslimin adalah menaati Imam ‘Ali dan para Imam Maksum setelahnya.
Imam Maksum As pada masa imamah mereka menjalani masa-masa sulit dan pelik dalam menjaga agama ini dari penyimpangan. Mereka bertungkus lumus, jiwa dan raga mengawal agama ini tetap terpelihara dan sejarah mencatat kiprah dan performa mereka dengan baik.
Periode Marjaiyyah dan Deputi Umum
Imam Maksum As untuk menjaga agama dan menyebarluaskan agama dengan media tabligh, mereka mengembleng sekelompok orang yang memiliki keutamaan dan potensi, di antaranya adalah murid-murid yang tak-berbilang Imam Baqir As dan Imam Shadiq As yang kemudian mendakwahkan agama ke seantero semesta. Ulama dan para juris Ahlulbait dengan pelbagai tekanan dan ancaman menjaga agama ini serta memelihara agama ini dari cengkraman distorsi.
Sedemikian berperan para murid imam, sehingga Imam Shadiq As bersabda: “Sekiranya kalau bukan Zurarah dan orang-orang semisalnya maka aku akan berprasangka bahwa hadis-hadis ayahku akan sirna.”
Kita saksikan bagaimana Imam Shadiq As memuji ulama dan juris yang menjalankan tugas menjaga agama. Masa kehadiran para Imam selama 260 tahun dan masa ghaiba (okultasi) Imam Keduabelas tiba. Periode ulama bermula dan periode ini merupakan periode yang termasuk dalam proyek para nabi dan imam yang telah mereka persiapkan sebelumnya. Seperti Anda ketahui bahwa empat deputi (nuwab al-arba’ah) Imam Zaman Ajf pada ghaiba sughra (okultasi minor) semuanya adalah ulama dan para juris. Merekalah yang ditunjuk secara resmi oleh Imam Pamungkas sebagai deputi umum dalam masalah agama.
Ishaq bin Ya’qub mengemukakan beberapa persoalan kepada Imam Zaman melalui surat yang disampaikan oleh Muhammad bin Utsman ‘Amri (deputi khusus kedua imam). Di antara masalah tersebut adalah umat dalam menghadapi masalah-masalah aktual, cukup pelik dan kontemporer masanya di masa ghaibah kubra (okultasi mayor), kepada siapa harus merujuk? Imam Mahdi Ajf dalam menjawab pertanyaan ini bersabda: “Adapun yang engkau tanyakan ihwalnya, semoga Allah membimbing dan mengokohkanmu....hingga beliau bersabda: “Adapun tentang persoalan-persoalan yang terjadi (di masamu) maka hendaklah kalian merujuk kepada perawi hadis kami karena mereka adalah hujjah dan deputiku untuk kalian dan aku adalah hujjah Allah.”[4]
Dalam kitab al-Hayat disebutan bahwa peran ulama dan para juris di masa ghaibah kubra ini adalah peran seorang imam dalam artian umum. Atau dengan ungkapan lain, alim yang memiliki syarat lengkap dengan satu perantara (imam) adalah hujjah Tuhan atas manusia.[5] Hal ini juga ditegaskan dalam hadis yang dinukil dari Imam Ridha As yang bersabda: “Kedudukan para juris pada masa ini sebagaimana kedudukan para nabi pada masa Bani Israil.”[6]
Peran Ulama pada masa Okultasi
Ulama dan juris yang jadikan sebagai deputi umum oleh Imam Pamungkas pada masa ghaiba kubra adalah ulama, juris dan marja’ yang memiliki selaksa kriteria (faqih jami’us asy-syaraith) yang menjadi penjaga Islam dan pewaris risalah nubuwwah dan imamah serta segala yang bertautan dengan Islam.
Barangkali di sini ada baiknya kita menyinggung peran dan kiprah ulama dan juris melalui lisan Imam Ja’far Shadiq As yang bersabda: “Sesungguhnya ulama merupakan pewaris para nabi, dan bahwa para nabi tidak mewariskan Dirham dan Dinar. Mereka mewarisi hadis-hadis dari hadis dari para nabi. Dan barangsiapa yang mengambil sesuatu dari mereka maka sesungguhnya telah memperoleh keuntungan yang besar. Maka perhatikanlah ilmu kalian darimana kalian mengambilnya lantaran dalam mazhab Ahlulbait di setiap masa terdapat ulama yang menjaga agama dari penyimpangan, usaha ahli batil dan takwil orang-orang jahil.”[7]
Juga dari hadis yang dinukil dari Imam Shadiq As, beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah Swt tidak membiarkan bumi tanpa seorang alim di dalamnya yang mengetahui kelebihan dan kekurangan dari agama Allah. Apabila kaum Mukmin menambahnya, mereka akan menolaknya. Jika terdapat kekurangan maka mereka akan menyempurnakannya. Kalau bukan para ulama maka kaum Muslimin akan terjerumus dalam kesalahan dalam urusan mereka.[8]
Dalam kitab al-Kafi, disebutkan cukup keras yang menyeru kepada para ulama untuk berkiprah aktif di tengah umat tatkala bid’ah bermunculan. Tentu saja konsekuensi logis dari perkembangan zaman, upaya dan pendekatan dilakukan dalam mencari solusi atas persoalan kekinian. Kalau ulama tidak berperan aktif dan konstruktif, maka inovasi-inovasi (bid’ah) akan banyak dimunculkan oleh orang-orang jahil. Dalam kitab tersebut, Nabi Saw bersabda: “Apabila bid’ah-bid’ah bermunculan di tengah umatku maka hendaklah para ulama menujukkan ilmunya, dan barangsiapa tidak berbuat demikian maka semoga Allah melaknatnya.”[9]
Keharusan Mengikuti Marja’
Dengan memperhatikan poin-poin di atas kini giliran masalah keharusan mengikuti marja. Mengapa kita harus bermarja’ dalam agama. Atau bahasa teknisnya mengapa kita harus bertaklid kepada marja? Bukankah taklid dalam agama tidak dibenarkan? Mengapa setiap orang tidak langsung saja merujuk kepada sumber aslinya? Lalu kalau memang harus mengikuti marja’ lalu marja’ yang mana yang harus kita ikuti? Apakah ada kriteria dan barometer terhadap masalah ini?
Dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan asumtif ini kita harus berkata bahwa sebagaimana hukumnya wajib mentaati Allah, Rasul-Nya dan para Imam Maksum maka demikian juga berlaku bagi para marja’. Kewajiban ini merupakan kewajiban yang dihukumi secara universal oleh akal-sehat sebelum ditetapkan oleh syariat. Akal sehat atau teknisnya akal praktis menghukumi keharusan merujuk seorang pandir kepada seorang pandai. Hal ini berlaku secara universal.
Dalam bahasa professionalisme, seorang ahli dan ekspert dalam suatu hal tentu layak dan wajib oleh akal sehat untuk merujuk kepadanya. Misalnya seorang dokter, dengan kecakapan ilmu yang dimilikinya menjadi rujukan seorang pasien tatkala terjangkiti sebuah penyakit. Perbuatan yang dilakukan pasien merupakan titah dan perintah akal sehatnya. Dokter dengan kepakaran dalam bidang kedokteran dan penguasaan ilmu anatomi, farmakologi, patologi, dan fisiologi yang kemudian dari keempat nara-sumber ini mengeluarkan resep sama posisinya dengan seorang marja’ yang menginferensi (istinbâth) sumber-sumber seperti al-Qur’an, Sunnah, Akal dan Ijma dalam proses pengeluaran hukum.
Terlebih dari riwayat yang disampaikan di atas tentang keharusan merujuk kepada perawi (baca: juris) hadis-hadis Ahlulbait redaksi r-a-j-a’-a disebutkan secara tegas (sharih) yang menandaskan kepada perintah dan perintah menunjukkan adanya kewajiban.
Menanggapi pertanyaan berikutnya ihwal apakah perbuatan taklid itu tidak dibenarkan? Saya harus menjawab bahwa dalam hal ini terjadi sinkret istilah taklid dalam bidang teologi dan taklid dalam bidang jurisprudensi. Iya tentu taklid dalam bidang teologi (ushuluddin) tidak dibenarkan sama sekali. Namun taklid dalam masalah cabang (furu’) seperti masalah fiqih adalah diwajibkan kalaulah orang yang bertaklid itu belum mencapai tingkatan juris atau minimal tingkatan muhtath (tingkatan medium antara marja’ taqlid dan muqallid).
Mengapa setiap orang tidak dapat on-the-spot, merujuk kepada sumber-sumber aslinya. Bukankah akal praktis juga menghukumi demikian? Bahwa kalau ingin mendapatkan sesuatu maka ambillah dari sumbernya. Kaidah benar. Namun apakah setiap orang mampu melakukan hal tersebut? Apakah setiap orang mampu menjadi dokter atas dirinya masing-masing? Tentu saja tidak. Munculnya bid’ah dan pada tingkatan tertentu chaos dalam bidang agama karena setiap orang merasa pandai dan cendekia. Coba kita saksikan pada fulan mazhab, karena penafian peran sentral dan kudus ulama dalam bidang agama, setiap orang muncul dengan pendapatnya masing-masing.
Parameter Marja’
Para Imam Maksum yang merupakan cerminan sempurna Sang Mahaparipurna, Allah Swt, dengan kebijaksanaan dan hikmahnya, juga telah menetapakn parameter dan kriteria kepada siapa orang harus merujuk dalam masalah agama. Dari Imam Hasan Askari As dinukil hadis ihwal perlunya orang awam merujuk kepada para juris dan syarat-syarat para juris yang dapat dirujuk oleh orang awam dan bertaklid kepadanya, “Barangsiapa dari kalangan fuqaha, memeliharan dirinya, menjaga agamanya, melawan hawa-nafsunya, mengikuti titah Tuhannya, maka wajib bagi orang awam untuk bertaklid kepadanya.”[10]
Parameter yang diberikan oleh Imam Maksum ini adalah paremeter yang bersifat umum. Parameter pertama adalah parameter keilmuan (‘ilmi) dan kepakaran dalam bidang agama...”barangsiapa dari kalangan fuqaha..” (man kana minal fuqaha). Parameter kedua adalah parameter praktik (‘amali) dan akhlak fuqaha..”memelihara dirinya, menjaga agamanya, menentang hawa nafsunya..” (shainan linafishi, hafizhan lidinihi, mukhalifan ‘ala hawau)
Memang harus demikianlah adanya fuqaha yang mengemban tugas sebagai pewaris para nabi dan imam, pelanjut risalah kenabian dan imamah. Tentu tidak setiap orang dapat mengemban tugas mulia dan berat ini. Bukan tempatnya di sini mengurai secara jeluk parameter dan kriteria ini. Penulis alihkan pada ruang dan waktu yang lain. Insya Allah.
Institusi Marjaiyyah
Marja’ derivatnya dari kata r-a-j-a-‘a. Marja secara leksikal bermakna tempat merujuk dan kembali. Marja’ merupakan adverb of place (isim makan). Ghalibnya dalam istilah fiqih, faqih yang telah mencapai derajat marja taqlid adalah faqih yang telah mencapai derajat ijtihad mutlak. Dalam lisan urf komunitas Syiah, marja adalah mujtahid yang ranah studinya pelajaran advanced fiqih dan masyarakat umum bertaklid kepadanya. Ia harus seorang mujtahid mutlak dan dalam pandangan masyarakat lebih pandai (a’lam) dalam proses inferensi hukum fiqih. Oleh karena itu, dalam definisi teknis urf, terdapat perbedaan antara marja dan mujtahid.[11]
Marja’ dalam komunitas Syiah bermakna lebih umum, pengganti Imam As, yang mengisi tempat kosong imam, sehingga sekali-kali masyarakat pada setiap sisi maknawi, pemikiran, politik, sosial, menjalani hal ini dengan pemimpin.[12]
Marjaiyyah merupakan sebuah institusi yang penting dan bertaut dengan kehidupan kaum muslimin. Marjaiyyah merupakan sebuah akuntabilitas yang diemban oleh ulama rabbani. Marjaiyyah merupakan tempat benderang yang memberikan sandaran cerlang bagi kaum Muslimin. Eksistensi marja merupakan jawaban atas perkembangan dinamis dan progressifnya zaman dan masa. Marjaiyyah merupakan pranata penggerak Islam dan penyelaras prinsip (ushul) dan kaidah-kaidah universal syariat dengan kebutuhan dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di suatu masa. Marjaiyyah merupakan problem-solver, atas selaksa persoalan kekinian yang acap kali hadir dalam kehidupan umat.
Mengeluarkan fatwa dan hukum baik dalam skala personal maupun sosial merupakan salah satu tugas utama institusi marjaiyyah. Namun ranah tugas mereka tidak terbatas pada persoalan ini. Melainkan sangat menjuntai dan lebar. Marja’ taqlid adalah pemilik risalah fiqih bukan risalah kenabian. Ia adalah pakar dan expert dalam mekanisme kodifikasi hukum Islam. Dengan kata lain, marjaiyyah merupakan kelanjutan dan penerus risalah nabawi dan imamah dan pengusung risalah fiqih di masa ghaiba, pemimpin dan pengurus umat.
Pranata dan institusi sedemikian tentu saja memerlukan barometer dan teraju untuk mengemban tugas besar ini. Di samping memiliki akal sehat dan pemahaman benar, ia harus bersikap yang patut, cerdas dan penuh visi, prawira dan penuh vitalitas, mengenal zamannya, memiliki konsep manajerial, untuk menegakkan pemerintahan adil, menunaikan hak-hak kaum musthad’afin dan mengajarkan ajaran luhur Islam dan tarbiyah kepada umat. Manager dan perencana (mudir wa mudabbir).
Imam Khomeini Ra dalam hal ini berkata tentang syarat-syarat seorang juris Jami’ asy-Syarait:
“Mujtahid adalah seorang yang mengenal dan menguasai masalah-masalah yang berkembang pada zamannya. Seorang mujtahid adalah seorang yang cerdas, berwawasan, dan mudir dan mudabbir. Ia harus mampu menuntun komunitas besar Islam dan bahkan non-Islam. Di samping harus memiliki ketulusan, takwa dan zuhud.”[13]
Adagium al-Islam shahihu likulli az-zaman menemukan keselarasannya dengan keberadaan institusi dinamik dan progressif agama ini. Islam dan tantangan zaman terjawab dengan keberadaan pranata religius ini. Syahid Muthahhari yang menukil dari Iqbal tentang semangat ijtihad yang dipraktikan oleh para juris berkata "ijtihad merupakan kekuatan penggerak Islam."[14] Redaksi yang lain yang dinukil oleh Syahid Muthahari dari Ibnu Sina dalam kitab Syifa yang menegaskan bahwa "pelbagai kebutuhan yang diperlukan oleh umat manusia tidak terbatas. Asas Islam (baca ushuluddin) bersifat tetap dan tidak berubah. Dan tidak hanya tidak berubah namun ia merupakan realitas-realitas yang harus menjadi dasar dan asas bagi kehidupan umat manusia. Namun yang bertalian dengan cabang (furu'uddin), tidak demikian. Hal-hal yang berkenaan dengan masalah cabang agama tidak berujung. Menurut Ibnu Sina, atas alasan inilah ijtihad merupakan sebuah perkara yang mesti dan harus ada di setiap zaman.[15]
Oleh karena itu, marjaiyyah yang merupakan institusi ijtihad yang terlembagakan sebagai penjaga agama dan pengawal umat harus ada.
Bagaimana Memilih Marja'
Setelah menetapkan keharusan adanya marja (juris mutlak) di setiap zaman, maka sebagai penutup dari tulisan ringan ini, dan jawaban atas pertanyaan asumtif di atas tentang metode yang digunakan dalam memilih seorang marja'? Apakah ustadz-ustadz pop yang banyak berseliweran di TV/Radio dapat dipilih sebagai seorang marja'? Apakah dalam memilih syaratnya harus lebih pandai (a'lam) dalam proses inferensi hukum fiqih?
Menjawab pertanyaan ini, saya mengajak Anda untuk sama-sama merujuk kepada Imam Khomeini Ra yang merupakan juris mutlak di zamannya dengan produk pemerintahan Islam Iran sebagai karya ijtihadnya dalam kitab fiqihnya, Tahrir al-Wasilah dalam bab Ijtihad wa Taqlid pada proses penentuan dan pemilihan marja' dan kelebihpandaiannya menjelaskan sebagai berikut:
"Yustbitul Ijtihad bil Ikhtibar, was Syi'a'il mufid lil'Ilm wa Bisyahadatil 'Adlain, min Ahli Khibra, wa Kadza al-A'lamiyah…"[16] (Ijtihad ditetapkan melalui pengujian, dan popularitas yang menghasilkan keyakinan, dan kesaksian dua orang adil dari kalangan mujtahid, dan demikian juga kepandaiannya...)
Dalam penjelasan Imam Khomeini ini disebutkan tiga metode dalam memilih marja:
1. Al-Ikhtibâr artinya menguji dan mengetes seorang marja sehingga kita dapat mengetahui bahwa apakah ia memang benar-benar seorang marja' atau tidak? Dan tentu saja masalah ini hanya mampu dilakukan oleh ahli dalam bidang ini. Barangkali pada poin ini, petunjuk dari Imam 'Ali As dapat kita gunakan sebagai penyokong klaim ini, "Tidak dikenal kepandaian seorang pandai kecuali oleh orang-orang pandai."[17]
2. Asy-Syi'ai al-Mufid lil'Ilm (popularitas yang mendatangkan keyakinan) artinya marja yang menjadi perhatian sedemikian terkenal dan populer di kalangan ahli dan pakar fiqih dalam masalah ijtihad dan kelebihpandaian sehingga mukallaf atau muqallid yakin terhadap masalah ini.
3. Syahadatu al-Adlain min Ahli Khibra, (kesaksian dua orang adil yang ahli dan pakar dalam bidang fiqih)
Asas poin kedua dan ketiga adalah bahwa Anda mempercayakan dan mengandalkan pendapat dan kesaksian para ahli dan pakar, minimal dua orang, dalam bidang ini. Dimana keduanya juga merupakan mujtahid tapi belum mencapai tingkatan mujtahid mutlak atau derajat marjaiyyah. Hampir mayoritas fuqaha kiwari senada dengan Imam Khomeini dalam masalah penentuan marja taqlid ini, walau dengan redaksi yang berbeda.
Tentang a'lamiyah (kelebihpandaian) ini juga merupakan sebuah pilihan natural dan logis. Betapa tidak dalam kehidupan keseharian kita juga sering berhadapan dengan pilihan-pilihan, dan di antara pilihan itu kita memilih yang lebih baik. Sebagai perumpaan seorang yang didera dengan penyakit jantung dan tidak memiliki sebarang informasi pun tentang kedokteran. Tentu ia akan bertanya kepada mahasiswa kedokteran, para dokter, apoteker, atau orang-orang yang memiliki informasi dalam bidang ini tentang siapa yang paling ahli dalam bidang jantung. Dalam bidang apa pun, tentu Anda akan mencari yang lebih ahli dan pakar dalam bidangnya. Wallahu 'Alim…
[1]. Allamah Majlisi, Bihârul Anwâr, jil. 11, hal. 40
[2]. Idem,
[3]. Hadis ini dinukil secara mutawatir dalam termaktub dalm kitab-kitab standar Ahlusunnah, Sahih Muslim : jilid 7, hal 122. Sunan Ad-Darimi, jilid 2, hal 432. Musnad Ahmad, jilid 3, hal 14, 17, 26 dan jilid 4, hal 371 serta jilid 5, hal 182 dan 189. Mustadrak Al-Hakim, jilid 3, hal 109, 147 dan 533.
[4] . Syaikh Hurr al-Amili, Wasâil asy-Syiah, jil. 27, hal. 140
[5]. Muhammad Ridha Hakimi, Muhammad Hakimi, Ali Hakimi, Al-Hayât, jil. 2, hal. 565
[6]. Idem, hal. 557.
[7]. Allamah al-Majlisi, Bihârul Anwâr, jil. 2, hal. 92
[8]. Allamah Majlisi, Bihârul Anwâr, jil. 23, hal. 26
[9]. Syaikh Kulaini, al-Kâfi, jil. 2, hal. 168
[10]. Allamah Majlisi, Biharul Anwar, jil. 2, hal. 88
[11]. Husain Ali Ahmadi Jusyqani, Muqayaseh Syuun wa Syarait Rahbari wa Marja’iyyat, hal. 120
[12]. Salim al-Hasani, al-Ma’alim al-Jadidah lil Marjaiyyahti Syi’ah, hal. 94
[13]. Imam Khomeini, Shahifeh-ye Nur, jil. 8, hal. 219
[14]. Syahid Muthahhari, Islam wa Muqtadhayat-e Zaman, hal. 233
[15] . Idem.
[16]. Imam Khomeini, Tahrir a-l-Wasilah, jil. 1, hal. 6, masalah 16
[17]. Ibnu Abil Hadid, Syarah Nahjul Balagah, jil. 20, hadis 196.