Obrolan Fiqih Seputar Puasa
  • Judul: Obrolan Fiqih Seputar Puasa
  • sang penulis: Abdul Hadi al-Hakim
  • Sumber:
  • Tanggal Rilis: 20:19:7 1-10-1403



Oleh: Abdul Hadi al-Hakim
Ayahku mulai berbicara tentang bulan Ramadan dengan suara parau dan bergetar. Tampak matanya berbinar yang memancarkan luapan pesona atas bulan kudus ini. Tidak heran, bahwa bulan Ramadan selalu membawa kenikmatan, keindahan, kebaikan, pengampunan, maaf, berkah, rahmah, ampunan, dan keridhaan. Untuk memperdalam kepuasan dan membuktikan perasaan itu, ayah membawaku melanglang ke masa-masa Rasulullah, tepatnya pada khutbah tersohor Rasulullah Saw ketika beliau menyongsong dan menyambut bulan puasa, "Wahai umat manusia, sesungguhnya telah datang kepada kalian bulan penuh berkah dan rahmah serta magfirah, bulan yang paling utama di sisi Allah, hari-harinya adalah sebaik­-baik hari, malamnya adalah sebaik-baik malam, jam-jamnya adalah sebaik-baik jam, bulan itu waktu di mana kalian diundang sebagai tamu Allah, di bulan ini kalian dijadikan sebagai ahli kemuliaan Allah, nafas kalian adalah tasbih, tidur kalian adalah ibadah, amal kalian diterima, dan doa kalian pasti dikabulkan, maka mohonlah kepada Allah, Tuhan kalian, dengan niat yang jujur dan hati yang suci agar Dia meyukseskan kalian untuk puasa yang Dia wajibkan dan membaca kitab-Nya yang suci, maka sesungguhnya orang yang sengsara adalah yang tidak mendapatkan ampunan Allah di bulan Ramadhan yang agung.Wahai umat manusia! Sesungguhnya pintu surga dibuka pada bulan ini; bermohonlah pada-Nya agar tidak menutup pintu itu untuk kalian, dan sesungguhnya pintu neraka ditutup, pintalah padaNya agar tidak membuka pintu itu bagi kalian, dan sesungguhnya di bulan ini setan terbelenggu, maka mohonlah pada Dia agar tidak membiarkan setan menguasai kalian."

Ayahku mulai berbicara tentang bulan Ramadan dengan suara parau dan bergetar. Tampak matanya berbinar yang memancarkan luapan pesona atas bulan kudus ini. Tidak heran, bahwa bulan Ramadan selalu membawa kenikmatan, keindahan, kebaikan, pengampunan, maaf, berkah, rahmah, ampunan, dan keridhaan. Untuk memperdalam kepuasan dan membuktikan perasaan itu, ayah membawaku melanglang ke masa-masa Rasulullah, tepatnya pada khutbah tersohor Rasulullah Saw ketika beliau menyongsong dan menyambut bulan puasa, "Wahai umat manusia, sesungguhnya telah datang kepada kalian bulan penuh berkah dan rahmah serta magfirah, bulan yang paling utama di sisi Allah, hari-harinya adalah sebaik­-baik hari, malamnya adalah sebaik-baik malam, jam-jamnya adalah sebaik-baik jam, bulan itu waktu di mana kalian diundang sebagai tamu Allah, di bulan ini kalian dijadikan sebagai ahli kemuliaan Allah, nafas kalian adalah tasbih, tidur kalian adalah ibadah, amal kalian diterima, dan doa kalian pasti dikabulkan, maka mohonlah kepada Allah, Tuhan kalian, dengan niat yang jujur dan hati yang suci agar Dia meyukseskan kalian untuk puasa yang Dia wajibkan dan membaca kitab-Nya yang suci, maka sesungguhnya orang yang sengsara adalah yang tidak mendapatkan ampunan Allah di bulan Ramadhan yang agung.Wahai umat manusia! Sesungguhnya pintu surga dibuka pada bulan ini; bermohonlah pada-Nya agar tidak menutup pintu itu untuk kalian, dan sesungguhnya pintu neraka ditutup, pintalah padaNya agar tidak membuka pintu itu bagi kalian, dan sesungguhnya di bulan ini setan terbelenggu, maka mohonlah pada Dia agar tidak membiarkan setan menguasai kalian."

Kemudian ayah membawakan bagian tertentu dari khutbah Rasulullah saw, seakan ingin mengisyaratkan padaku terhadap apa yang harus dikerjakan di bulan itu. Ayah membacakan khutbah Rasulullah Saw yang menyatakan, "Wahai umat manusia, barangsiapa dari kalian yang memberi makan pada orang mukmin yang berpuasa di bulan ini-Ramadan-maka di sisi Allah, perbuatan itu seperti membebaskan budak, dan juga akan mendapatkan pengampunan dari semua dosanya yang telah lalu."

Seseorang berkata pada Rasulullah Saw, "Tidak semua orang mampu untuk itu, wahai Rasulullah." Beliau menjawab, "Bertakwalah kepada Allah walau hanya dengan sebiji kurma... bertakwalah kepada Allah walau hanya dengan seteguk air; sesungguhnya Allah memberi pahala pada orang yang beramal kecil karena tidak bisa lebih dari itu...

Wahai umat manusia, barangsiapa dari kalian berbakti pada hamba-Nya di bulan ini, maka di hari kiamat nanti, dia akan sanggup melewati shirat, sementara kaki-kaki yang lain tergelincir; barangsiapa meringankan budaknya di bulan ini, Allah akan meringankan hisab atau perhitungannya di sisi­Nya; barangsiapa menahan keburukan dirinya di bulan ini, Allah akan menahan murka-Nya di hari pertemuan nanti; barangsiapa memuliakan anak yatim di bulan ini, Allah akan memuliakannya di hari pertemuan; barangsiapa memutus hubungan silaturahmi di bulan ini, Allah akan memutus rahmatNya di hari pertemuan; dan barangsiapa membaca satu ayat al-Quran di bulan ini, akan mendapatkan pahala seperti pahala orang khatam-menyelesaikan bacaan-al-Quran di bulan lain."

Selesai menyampaikan penggalan khutbah ini, ayahku mengkritisi sebagian kelakuan kaum Muslimin yang melaksanakan puasa dan menganggap puasa hanyalah menahan diri dari makan dan minum. Ayahku bersandar pada hadis Imam Ali yang berkata, "Betapa banyak orang puasa yang tidak dapat apa-apa dari puasanya kecuali dahaga; betapa banyak orang berdiri shalat yang tidak dapat apa-apa kecuali lelah."

Lalu, ayah menukil hadis yang lain dari Imam Ja'far Shadiq yang berkata, "Jika kau berpuasa, hendaknya telinga, mata, rambut, kulit, dan semua organ tubuhmu juga berpuasa." Imam juga diriwayatkan berkata, "Sesungguhnya berpuasa bukan hanya pencegahan diri dari makan dan minum, melainkan, jika kalian berpuasa, jagalah lidah kalian dari dusta, tutuplah mata kalian dari hal-hal haram, jangan bertengkar, jangan saling menghasut, jangan saling mengumpat, jangan saling mencaci-maki, jangan saling mencela, jangan berbuat zalim...hindarilah kata-kata kotor, dusta, permusuhan, buruk sangka, umpatan, dan adu domba. Jadilah orang-orang yang akan masuk akhirat, sambil menanti hari-hari kalian, dan menanti janji-janji Allah pada kalian, serta berbekal untuk pertemuan dengan Allah. Hendaknya kalian tenang dan berwibawa, khusuk, tunduk, dan rendah seperti hamba yang khawatir di hadapan tuannya. Jadilah kalian orang yang takut dan berharap pada Allah."

Kemudian ayah menceritakan kisah Nabi Saw saat mendengar seorang wanita berpuasa namun mencaci budaknya. Beliau memanggil perempuan itu dan menyodor­kan makanan padanya seraya berkata, "Makanlah!" Perempuan itu menjawab, "Saya sedang berpuasa, wahai Rasulullah." Beliau bersabda, "Bagaimana kau berpuasa sementara kau mencaci budak perempuanmu. Sesungguhnya berpuasa bukan hanya mencegah diri dari makan dan minum, melainkan Allah menjadikan puasa sebagai tabir dari segala perbuatan dan perkataan keji; betapa sedikit orang berpuasa dan betapa banyak orang yang lapar."

Saat jiwa ini dicekam perasaan takut dan khusuk, aku berkata pada ayahku:

A ????Kalau begitu, tahun ini aku harus berpuasa pada bulan Ramadan.Tapi, bagaimana caranya aku bisa tahu bahwa bulan Ramadan sudah datang dan dimulai??

B ?Kau bisa mengetahuinya dengan melihat hilal bulan Ramadan di negerimu atau di negeri tetangga yang sama dalam hal ufuk (horison). Maksudnya, penglihatan hilal di negeri tetangga itu identik dengan penglihatan hilal di negerimu juga, andaikan tak ada penghalang berupa awan, gunung, atau semacamnya.

A Bagaimana penglihatan itu bisa terjadi dan terbukti?

B ?? Penglihatan itu bisa terbukti dengan salah satu dari empat hal:

1. Kau sendiri yang melihat hilal (bulan) tersebut.

2. Terdapat dua orang syahid adil yang bersaksi telah melihatnya, dan kau tahu mereka tak akan salah dalam hal itu, serta tak ada kesaksian lain yang bertentangan.

3. Bulan Syaban sudah lewat 30 hari; dengan demikian kau tahu pasti bahwa bulan Syaban telah selesai, dan hari ini sudah memasuki bulan Ramadan.

4. Tersebar luas di tengah masyarakat kabar bahwa hilal bulan Ramadan sudah terlihat, dan kau yakin atau merasa tenang dengan kabar yang tersebar itu.

A Jika aku belum tahu awal waktu puasa, apakah hilal bulan Ramadan sudah terbukti sehingga besok aku mulai puasa atau masih belum terbukti, maka, apakah saat aku harus berpuasa? Sedangkan aku belum tahu, apakah besok adalah hari terakhir bulan Syaban atau hari pertama bulan Ramadan?

B Berpuasalah dengan niat bulan Syaban; jika di siang hari nanti menjadi jelas bahwa hari ini adalah awal bulan Ramadan, maka berpindahlah dari niat bulan Syaban ke bulan Ramadan. Puasa itu cukup bagimu dan kau tak harus berbuat apa-apa lagi, seperti qadhâ atau sebagainya. Sebenarnya, kau juga boleh-boleh saja tidak berpuasa di hari ragu seperti itu.

A Bagaimana caranya aku tahu bahwa bulan Ramadan telah habis dan bulan Syawal sudah dimulai sehingga aku boleh i fthar-berbuka atau melakukan hal-hal yang membatalkan puasa seperti makan dan minum?

B ?Dengan cara sama sebagaimana yang kau gunakan untuk mendeteksi awal waktu bulan Ramadan, yaitu dengan melihat sendiri hilal awal bulan Syawal, atau...

A Ya... ya. Lantas, kalau memang benar terbukti bahwa hilal bulan Ramadan telah tampak, apa yang harus dilakukan?

B Yang harus kau lakukan adalah berpuasa. Begitu pula bagi setiap muslim yang baligh, berakal, aman dari bahaya puasa, hadir dan bukan musafir, serta tidak pingsan. Adapun kaum perempuan, diwajibkan berpuasa apabila dirinya suci dari haid dan nifas. Karena itu, wanita yang sedang haid atau nifas tidak boleh berpuasa, namun diharuskan membayar puasa wajib Ramadan yang ditinggalkannya.

A Bagaimana dengan orang yang takut dan khawatir terhadap dirinya jika berpuasa?

B Tidak diperkenankan untuk berpuasa'bagi orang yang khawatir dirinya akan sakit, atau sakitnya akan bertambah parah, dan penyakit(yang dideritanya), lambat sembuh. Tentunya semua itu sesuai kadar yang bisa ditolerir.

A Lalu, bagaimana dengan musafir?

B Jika bepergian setelah waktu zawal [dia tetap melanjutkan puasanya]. Tapi, jika bepergian sebelum Subuh, dia berbuka puasa (ifthar dan tidak melanjutkan puasanya).

A Apa hukumnya jika dia bepergian setelah Subuh?

B Jika dia bepergian setelah Subuh [maka puasanya tidak sah, baik dia berencana untuk safar sejak tadi malam atau tidak], dan harus membayar puasa yang batal itu.

A Kalau aku ingin puasa, bagaimana caranya?

B Niatkanlah puasa dari awal waktu Subuh sampai terbenamnya matahari dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah Swt.

A Bukankah berpuasa adalah imsak atau mencegah dan menahan?

B Benar.

A Kalau aku berniat berpuasa, maka, dari hal-hal apa saja aku harus mencegah diri?

B Cegahlah dirimu dari sembilan perkara yang membatalkan puasa seperti yang tertera di bawah ini:

1. Makan secara sengaja, baik sedikit maupun banyak.

2. Minum secara sengaja, baik sedikit maupun banyak.

3. Sengaja berdusta kepada [atas nama] Allah, Rasulullah, atau Imam Maksum.

4. Sengaja berhubungan seksual, baik dari jalan depan ataupun belakang, baik sebagai subjek pelaku atau objek.

5. Onani atau melakukan kebiasaan rahasia, dalam bentuk apa saja.

6. Sengaja menetap dalam keadaan junub hingga datang waktu Subuh. Karena itu, bila seseorang junub di waktu malam karena alasan apapun, dia harus mandi sebelum fajar terbit, sehingga begitu waktu fajar dan Subuh datang, dia dalam keadaan suci dan [dapat] berpuasa.

7. Sengaja memasukkan debu atau asap yang tebal sampai ke tenggorokan].

8. Muntah disengaja.

9. Sengaja disuntik dengan air atau dengan cairan lain.

A Bagaimana kalau aku tidak sengaja, melainkan lupa kalau aku sedang berpuasa, sehingga aku makan dan minum?

B Selama kau tidak sengaja, puasamu tetap sah. ????

A Apa boleh aku memasukkan air ke mulutku kemudian kusemburkan lagi keluar?

B Kau boleh melakukannya, namun, jika kau lakukan itu hanya ???????dengan tujuan mencari membayar puasa itu (men-qadhânya) ; tapi, jika kau lupa dan terus menelannya, tidak wajib bagimu membayarnya.

A Bolehkah aku mencelupkan kepalaku ke dalam air saat mana air tidak sampai ke tenggorokan?

B Boleh-boleh saja, namun hukumnya `makruh yang sangat'.

A Lantas, bagaimana dengan suami-istri yang berpuasa?

B Mereka boleh melakukan hubungan intim di malam bulan Ramadan, bukan di waktu siang.

A Jika aku junub di waktu malam, kemudian tidak bisa mandi karena alasan tertentu, seperti sakit, apa yang harus kulakukan?

B Tayamumlah sebelum fajar terbit.

A Bagaimana dengan perempuan?

B Jika seorang wanita telah bersih dari haid atau nifasnya di waktu malam, dia harus mandi saat itu juga, sehingga ketika fajar terbit atau waktu Subuh datang, sudah dalam keadaan suci dan [dapat] berpuasa.

A Apa hukumnya jika di siang hari aku bermimpi sampai keluar air mani sementara aku sedang berpuasa, dan ketika bangun, aku melihat diriku dalam keadaan junub?

B Mimpi orang yang berpuasa tak akan membatalkan puasanya. Karena itu, jika dia bangun tidur jam berapa saja dan mendapatkan dirinya dalam keadaan junub, maka itu tidak membatalkan puasanya, meskipun dia tidak mandi janabah setelah itu.

A Apa hukumnya jika dia tidak sengaja muntah, melainkan mendadak isi perutnya keluar dan tanpa dikehendaki?

B Itu tidak membatalkan puasanya.

A Apa hukumnya orang berpuasa yang sengaja melanggar salah satu dari hal-hal yang membatalkan puasa tersebut?

B Secara umum, untuk selanjutnya, dia tetap harus menahan diri dari hal-hal yang terlarang bagi orang berpuasa, adapun perinciannya adalah sebagai berikut:

a. Bila dia tetap dalam keadaan janabah sampai fajar terbit, maka di siang harinya, dia harus tetap menahan diri dari hal-hal terlarang, [dan hendaknya pencegahan diri itu atas niat mendekatkan diri kepada Allah secara mutlak-maksud secara mutlak adalah berniat mengerjakan perintah yang ditujukan padanya saat itu, tanpa menentukan apakah pen­cegahan diri tersebut karena perintah puasa di bulan Ramadan atau karena adab dan sopan santun].

b. Apabila sengaja berdusta pada Allah, Rasulullah, atau sengaja menghirup asap dan debu tebal [maka dia harus menahan diri untuk selanjutnya, dengan harapan semoga pencegahan ini dikehendaki syariat, entah karena perintah berpuasa itu sendiri atau karena perintah untuk mencegah demi menjaga adab dan sopan santun].

c. Bila sengaja melanggar hal-hal yang mem­batalkan puasa selain yang disebutkan di atas [maka dia harus menahan diri untuk selanjut­nya dengan harapan dikehendaki syariat sebagai tindakan adab atau sopan santun].

Di samping harus tetap menahan diri untuk selanjutnya, mereka juga harus membayar puasa yang dibatalkan, dan membayar kafarah (tebusan) dengan membebaskan budak, memberi makan 60 orang miskin, atau berpuasa selama dua bulan berturut­turut. Setiap satu puasa yang mereka batalkan memiliki semua konsekuensi itu, baik membatal­kannya dengan sesuatu yang halal seperti minum air atau dengan sesuatu yang pada dasarnya haram, seperti minum bir atau onani.

A Apa bentuknya memberi makan pada 60 orang miskin?

B Terkadang dapat dilakukan dengan memberi makan mereka secara langsung. Jika bentuk ini yang dipilih, maka syarat yang harus dipenuhi adalah, mereka sampai kenyang; artinya, mempersilahkan mereka makan sampai kenyang. Terkadang juga dengan cara menyerahkan pada mereka. Jika cara itu yang dipilih, maka wajib bagimu memberi masing-masing dari mereka tiga perempat kilogram (750 gram) kurma, gandum, tepung, beras, kacang hijau, atau sejenisnya yang merupakan ransum sehari-hari. Tidak boleh bagimu memberi uang sebagai ganti makanan, melainkan hanya makanan yang harus diberikan dan bukan yang lain. Tapi bisa saja kau wakilkan pada mereka untuk membeli makanan yang kemudian makanan itu menjadi milik mereka sebagai pemberian darimu.

A Bagaimana jika aku membatalkan satu hari puasaku di bulan Ramadan karena alasan tertentu, seperti sakit yang mencegahku untuk berpuasa atau safar?

B Kau harus mengqadhâ puasa itu pada hari apa saja selain Idul Fitri atau Idul Adha. Kau berpuasa sebagai ganti satu hari yang kau tinggalkan karena sakit atau bepergian.

A Kalau ternyata penyakit itu berlanjut sampai tahun berikutnya, apa yang harus kulakukan?

B Kalau begitu, kau tak punya kewajiban untuk menqadhânya, melainkan harus membayar fidyah. Caranya, untuk setiap hari yang ditinggalkan, kau harus mengeluarkan sedekah tiga perempat kilogram makanan (750 gram). Kemudian ayahku berkata: "Sebelum mengakhiri tema puasa, ayah ingin sekali mengingatkan beberapa poin berikut ini padamu:

1. Dilarang berpuasa di hari Idul Fitri dan Idul Adha, baik puasa qadhâ atau selainnya.

2. [Wajib bagi anak lelaki pertama untuk men-qadhâ puasa bapaknya yang tertinggal karena alasan tertentu, juga puasa yang seharusnya di-qadhâ bapaknya tapi tidak dilaksanakannya, padahal dia (bapak) mampu untuk itu. Kewajiban itu memiliki syarat; pada saat si bapak meninggal dunia, anaknya normal (tidak gila atau semacamnya) dan tidak terlarang mendapatkan warisan) ] .

3. Terdapat berapa kelompok orang yang diperbolehkan tidak berpuasa pada bulan Ramadan, di antaranya:

a. Orang jompo, baik lelaki maupun perempuan, yang tidak sanggup berpuasa lantaran ketuaan, atau karena berpuasa akan menimbulkan ke­sulitan yang sangat berat baginya. Saat itu, mereka tidak wajib berpuasa, melainkan wajib membayar fidyah­ (denda)-untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan. Ukuran fidyah yang harus dibayar adalah tiga perempat kilogram, dan sebaiknya adalah gandum. Mereka juga tidak berkewajiban meng-qadhâ puasa yang tertinggal.

b. Wanita hamil yang hampir melahirkan dan berpuasa akan membahayakan dirinya atau bayi yang dikandungnya. Dia wajib meng-qadhâ puasa itu.

c. Wanita menyusui yang susunya sedikit, bila berpuasa membahayakan dirinya atau?????? anak yang disusuinya [dan hanya dia yang bisa menyusui anak itu], maka dia tidak wajib berpuasa. Tapi, jika orang lain bisa meng­gantikan tugas menyusuinya, maka dia tidak boleh meninggalkan puasanya. Bila boleh meninggalkan puasa, dia berkewajiban meng-qadhâ-nya. Sebagai­ mana juga wajib bagi mereka berdua­wanita hamil dan menyusui-untuk membayar tebusan dari setiap hari puasa yang ditinggalkan sebesar tiga perempat kilogram makanan.

4. Puasa juga seperti shalat. Sebagaimana shalat ada yang wajib dan ada yang mustahab, puasa pun demikian, terbagi dalam dua jenis; wajib dan mustahab. Bahkan, berpuasa tergolong mustahab yang sangat dianjurkan. Dalam banyak riwayat disebutkan bahwa berpuasa adalah "perisai dari api neraka", "zakatnya badan", "dengan perantara puasa orang masuk surga", sesungguhnya "tidurnya orang berpuasa adalah ibadah, nafas dan diamnya adalah tasbih, amalannya diterima, dan doanya dikabulkan", dan "orang yang berpuasa memiliki dua kegembiraan, kegembiraan saat berbuka puasa dan kegembiraan saat bertemu dengan Allah Swt".

Puasa-puasa mustahab yang disebutkan dalam riwayat adalah sebagai berikut:

1. Puasa tiga hari dalam setiap bulan, dan lebih utama bila tiga hari itu adalah Kamis pertama dalam bulan itu, Kamis terakhir dari bulan itu, dan Rabu pertama dari sepuluh hari kedua.

2. Puasa hari kelahiran Rasulullah saw dan hari pengutusannya sebagai nabi.

3. Puasa hari Ghadir.

4. Puasa hari ke-25 bulan Zulqaidah.

5. Puasa hari ke-24 bulan Zulhijjah.

6. Puasa bulan Rajab secara keseluruhan atau sebagian.

7. Puasa bulan Syaban secara keseluruh­an atau sebagian.

Dan puasa-puasa lainnya yang tidak bisa disebutkan semunya di sini.

5. Poin terakhir-yang disampaikan ayahku­ adalah riwayat dari Abu Abdillah, Imam Ja'far Shadiq, yang berkata, "Salah satu kelengkapan puasa adalah dengan memberi zakat," yakni zakat fitrah.

Ayahku menjelaskan bahwa bagi setiap orang yang baligh, berakal, dan punya bahan makanan pokok yang cukup untuk setahun, wajib mengeluarkan zakat fitrah untuk dirinya dan untuk orang yang berada dalam tanggungnya, seperti keluarganya, baik jauh maupun dekat, kecil atau besar, bahkan juga untuk tamunya yang datang sebelum malam Idul Fitri, tapi bergabung bersama keluarganya seakan­-akan termasuk bagian dari mereka.

Takaran zakat yang harus dikeluarkan adalah, untuk setiap orang tiga kilogram bahan makanan pokok seperti gandum, kurma, kismis, atau yang lain; bisa juga uang yang senilai dengan bahan itu. Dia harus mengeluarkan zakat atau menyisihkannya pada malam Idul Fitri, atau pada hari Idul Fitri [sebelum shalat Ied bagi orang yang shalat Idul Fitri] dan sampai zawâl (tergelincirnya matahari), bagi orang yang tidak shalat Idul Fitri.

Dia harus memberikannya pada fakir miskin yang berhak menerima zakat- ayahku akan menjelaskannya nanti, pada percakapan seputar zakat. Perlu diketahui juga bahwa zakat selain sayid (keturunan Bani Hasyim) tidak berhak diterima sayid dan tidak halal baginya. Dilarang memberikan zakat fitrah kepada orang yang harus diberi nafkah, seperti ayah, ibu, istri, dan anak.[]( Obrolan fiqih ini adalah mengikut fatwa Ayatullah Ali Siistani Hf).