Mirdamad: Guru yang Ketiga (Mu’alim Tsalis)
  • Judul: Mirdamad: Guru yang Ketiga (Mu’alim Tsalis)
  • sang penulis:
  • Sumber: ikmalonline.com
  • Tanggal Rilis: 0:1:49 2-9-1403

Mir Muhamamad Baqir bin Syamsudin Muhammad, asal dari Astarabadi, tinggal di Isfahan dan dikebumikan di Najaf, memiliki kecenderungan kepada Isyraqi dan terkenal dengan Mirdamad. Dan kadang-kadang disebut dengan Damad atau Sayid Damad. Lahir tahun 1631 dan dianggap sebagai peripatetik terakhir yang ingin merevitaliasi filsafat peripatetik karena kecenderunga terhadap spiritualisme. Melalui tangannya filsafat tidak hanya mendasari sumber epistemologi terhadap burhan tapi juga mulai membaca kitab-kitab al-Quran dan Hadis.

Mir Damad, adalah salah satu filsuf Islam yang pemikirannya mendapatkan banyak penghargaan dan apresiasi. Ia yang bernama lengkap Mir Burhan al-Din Muhammad Baqir Damad, sering disebut oleh kalangan ilmuwan sebagai guru ketiga setelah Aristoteles dan Al Farabi.

Di era itu penentangan terhadap filsafat sangat kuat sehingga lahir pernyataan-pernyataan seperti di bawah ini: “Sekelompok manusia telah tersesat dari gerbang iman, dan sebaliknya mengikuti ibnu Sina dan Bahmayar. Karena kebodohan mereka. Mereka berpaling kepada Aristoteles dan Plato.”

Atau prosa seperti ini yang ditulis ulama ahli fikih yang anti dengan filsafat: “Menyimpang dari tuntunan Imam Suci. Mereka meniru Socrates dan Galen. Lari dari apa yang disabdakan Bagir dan Shadiq. Dalam pendapat mereka sesat dan ingkar. Dia yang mengenai filsafat sangat sempurna. Sesungguhnya kesempurnaan itu ada di mata tuhan. Dia yang mengikuti ahlul bait akan mencari pengetahuan dari gerbang kota, Dari orang Yunani aku tidak memperoleh apa-apa. (Shafa (1959-1985): 5, 1 : 282-3).

Mirdamad juga menjawab dengan pernyataan seperti dibawah ini :

“Merupakan petunjuk yang sangat jelas akan rasa tak tahu malu, bahwa jiwa-jiwa yang malas dan individu-invidu kasar tampil dalam perselisihan tak bermakna dan bualan tak berguna melawan pikiran sakral dan mutiara suci. Orang perlu memiliki cukup kecerdasan untuk mengetahui bahwa memahami diskursus saya ini adalah seni, bukan bertengkar dengan saya kemudian menyebut pertengkaran-pertengkaran itu argumen. Adalah bukti yang terang-benderang bahwa memahami gagasan-gagasan yang sangat tinggi dan mencerap masalah-masalah yang subtstansial adalah mustahil bagi setiap individu yang berpikiran dangkal dan kurang siap. Akibatnya, berselisih pendapat dengan saya dalam masalah-masalah filosofis lebih disebabkan oleh kepicikan daripada ketepatan pengamatan, karena mereka seperti sekelompok orang yang tidak menyadari keterbatasan persepsi-perspepsi indranya mengenai pengetahuan sejati sehingga menganggap apa yang diperoleh selama ini (lewat persepsi indrawi) sebagai capaian tertinggi akal.

Sebaiknya, mereka tidak membual dan tidak mengungkapkan permusuhan ketika bersaing melawan sementara orang yang kini tengah berada dalam Kehadiran Ilahi. Orang-orang yang cahaya inteleknya menyebar dalam orbit-orbit cahaya dunia spiritual, bualan dan permusuhan seperti itu jelas keliru dan tidak tepat, namun pertentangan antara fantasi aneh dan intelek, kebatilan dan kebenaran, perlawanan terhadap cahaya bukanlah kebencian aksidental atau pelanggaran yang baru terjadi belakangan ini. Keluh-kesah harus diserahkan kepada Tuhan, dan semoga kedamaian dan keselamatan tercurah bagi orang yang mengikuti jalan lurus.”

Mirdamad di Masyhad sejak kecil rajin mempelajari ilmu-ilmu tradisional dan menguasainya. Ia juga sudah mempelajari dan menguasai kitab-kitab filsafat karya Ibnu Sina. Dari Masyhad kemudian pindah ke Isfahan. Sebenarnya Mirdamad tidak menyukai bepergian dan lebih banyak berziarah ke makam Imam Ridha as. Mirdamad mempelajari berbagai ilmu-ilmu dari para ahli di zamannya seperti filsafat, hadis, fikih, prosa, kalam, mantiq dan sebagainya. Ia meningalkan karya-karya penting yang sebagian besarnya belum diapresiasi seperti al-Qabasat, Ufuq al-Mubin, ayyam al-arba’ah, kitab an-mujadz ulum, iqhadaat dan lain-lain.

Ia adalah seorang ulama dan pemikir yang memiliki banyak jalan untuk mengakses kekayaan dan menjadi ulama yang kaya raya. Namun beliau mengabaikan semua fasilitas dunia dan hidup dengan penuh kezuhudan. Ia lebih banyak shalat dan sujud setiap kali selesai mengajar dan melakukan riset. Dalam biograpinya disebutkan bahwa selama empat puluh hari ia tidak menjulurkan kakinya ke atas tempat tidur, suatu ungkapan yang menggambarkan kebiasannya dalam ibadah dan salat tahajud sehingga lupa akan tidur.
Yang mengagumkan adalah pergaulannya yang cukup luas. Ia menjadi tempat berkumpul dan rujukan para ulama. Ulama dan masyarakat dari kalangan ahlusunnah dan syiah juga belajar darinya dan ia menjadi imam yang memimpin salat-salat mereka. (SN)