Dalam Islam, Quds punya posisi suci. Ia terekam dalam Al Quran sebagai bagian tak terpisahkan dari mukjizat Isra Mi'raj. Meski Yerusalem praktis tidak pernah berada di bawah kontrol politik Islam semasa hidup Rasul. Barulah di era Khalifah Umar bin Khattab, khalifah kedua dari Islam, Yerusalem masuk dalam gravitasi penguasa Islam.
Ada sejarah panjang di sini. Dulu, semasa kepemimpinan Nabi Muhammad Saw, Kekaisaran Bizantium menegaskan keinginannya untuk memadamkan api Islam yang tumbuh di perbatasan selatan. Dari Madinah, Rasul menjawab tantangan itu dengan mengirim Ekspedisi Tabuk pada Oktober 630M. Melibatkan 30.000 orang serdadu Muslim, ekspedisi mengarah ke perbatasan Kekaisaran Bizantium.
Meskipun tidak terjadi pertempuran antara tentara Bizantium dan umat Islam, namun ekspedisi ini menjadi permulaan perang penguasa Islam-Bizantium selama beberapa dekade.
Selama pemerintahan Khalifah Abu Bakar as-Shiddiq 632-634M, tidak ada serangan besar yang diarahkan ke tanah Bizantium. Lalu pada masa kekhalifahan Khalifah Umar bin Khattab, Madinah mulai serius memperluas ke utara, ke dalam wilayah Bizantium. Beliau mengirim beberapa jenderal, termasuk Khalid bin Walid dan Amr bin 'As untuk melawan Bizantium. Ekspansi Khalifah Umar bin Khattab inilah yang menyebabkan pecahnya Perang Yarmuk tahun 636 M, dan merupakan pukulan besar bagi kekuasaan Bizantium di wilayah tersebut. Hingga menyebabkan jatuhnya banyak kota di seluruh Suriah seperti Damascus.
Dalam banyak hal, tentara Islam disambut oleh penduduk setempat - baik orang Yahudi dan Kristen. Mayoritas orang-orang Kristen dari wilayah itu Monofisit, yang memiliki pandangan yang lebih monoteistik, yaitu bahwa konsep tentang Allah mirip dengan apa yang umat Islam gambarkan dalam khotbah. Mereka menyambut kekuasaan Muslim atas wilayah selain Bizantium, yang memiliki banyak perbedaan teologis.
Kejatuhan Yerusalem
Pada tahun 637 M, tentara Muslim mulai muncul di sekitar Yerusalem. Pada waktu itu yang bertanggung jawab atas Yerusalem adalah Patriarch Sophronius, perwakilan dari pemerintah Bizantium, serta pemimpin dalam Gereja Kristen. Meskipun banyak tentara Muslim di bawah komando Khalid bin Walid dan Amr bin 'As mulai mengelilingi kota, Sophronius menolak untuk menyerahkan kota kecuali Khalifah Umar datang untuk menerima penyerahan dirinya.
Setelah mendengar kondisi seperti ini, Khalifah Umar bin Khattab meninggalkan Madinah, bepergian sendirian dengan satu keledai dan satu budak. Ketika tiba di Yerusalem, KhalifahUmar disambut oleh Sophronius. Sontak, Sophronius terkagum-kagum ketika khalifah kaum Muslimin itu, salah satu orang paling kuat di dunia pada saat itu, mengenakan jubah yang sangat sederhana. Ya, begitulah kesederhanaan Beliau, Khalifah Umar bin Khattab.
Khalifah Umar diajak berkeliling kota, termasuk ke Gereja Makam Kudus. Ketika waktu untuk berdoa datang, Sophronius mengundang Umar berdoa di dalam gereja, namun Umar menolak. Dia khawatir jika berdoa di sana, Umat Islam di kemudian hari akan menggunakannya sebagai alasan untuk mengubahnya menjadi masjid - sehingga mengambil alih salah satu situs yang paling suci milik umat Nasrani.
Khalifah memilih berdoa di luar gereja, dan di tempat tersebut akhirnya dibangun sebuah masjid (belakangan disebut Masjid Umar).
Perjanjian Umar
Seperti lazimnya kisah penaklukan kota, Madinah kala itu mengeluarkan maklumat sekaligus traktak yang menjabarkan hak istimewa mengenai kawasan yang ditaklukkan. Perjanjian ini ditandatangani oleh Khalifah Umar dan Patriark Sophronius, bersama dengan beberapa jenderal dari tentara Muslim. Naskah perjanjian itu berbunyi:
"Dengan nama Allah, Yang Maha Pemurah, Lagi Maha Pengasih. Ini adalah jaminan keamanan yang hamba Allah, Umar, Amirul Mukminin, telah memberikan kepada orang-orang Yerusalem. Dia telah memberikan mereka jaminan keamanan bagi diri mereka sendiri untuk rumah-rumah mereka, gereja-gereja mereka, salib mereka, orang sakit dan sehat, kota dan untuk semua ritual milik agama mereka. Gereja-gereja mereka tidak akan dihuni oleh umat Islam dan tidak akan hancur. Baik mereka, maupun tanah mereka, atau salib mereka, atau rumah dan bangunan mereka tidak akan rusak. Mereka tidak akan dipaksa masuk Islam. Tidak akan ada pula orang Yahudi yang tinggal bersama mereka di Yerusalem.
Orang-orang Yerusalem harus membayar pajak seperti orang-orang dari kota-kota lain dan harus mengusir Bizantium dan para perampok. Orang-orang Yerusalem yang ingin meninggalkan Bizantium, mengambil harta mereka dan meninggalkan gereja-gereja mereka dan salib akan aman sampai mereka mencapai tempat mereka berlindung. Penduduk desa mungkin tetap di kota jika mereka ingin, tetapi harus membayar pajak seperti warga negara yang lain. Mereka yang ingin pergi ke Bizantium dan mereka yang ingin dapat kembali ke keluarga mereka. Tidak ada yang harus diambil dari mereka sebelum mereka menuai panen.
Jika mereka membayar pajak mereka sesuai dengan kewajiban mereka, maka persyaratan yang tercantum dalam surat ini berada di bawah perjanjian Allah, yang tanggung jawab Nabi-Nya, para khalifah dan umat beriman."
Pada saat itu, perjanjian ini adalah salah satu perjanjian yang paling progresif dalam sejarah. Sebagai perbandingan, hanya 23 tahun sebelumnya ketika Yerusalem ditaklukkan oleh Persia dari Bizantium, pembantaian umum diperintahkan. Pembantaian lain terjadi ketika Yerusalem ditaklukkan oleh Tentara Salib dari kaum Muslim pada tahun 1099 M.
Perjanjian Umar memberikan kebebasan dalam menjalankan agama bagi orang-orang Kristen, sebagaimana ditentukan dalam Quran dan ucapan-ucapan Muhammad Saw. Ini adalah salah satu jaminan kebebasan beragama yang pertama dan paling signifikan dalam sejarah.
Sementara pernyataan dalam perjanjian mengenai pelarangan Yahudi dari Yerusalem, yang keasliannya masih diperdebatkan. Salah satu pemandu Umar di Yerusalem adalah seorang Yahudi bernama Kaab al-Ahbar. Khalifah juga memperbolehkan orang Yahudi untuk beribadah di Temple Mount dan Tembok Ratapan, sedangkan Bizantium melarang mereka dari kegiatan tersebut. Dengan demikian, keaslian pernyataan mengenai dilarangnya orang-orang Yahudi dari Yerusalem dipertanyakan.
Apapun itu. perjanjian itu menjadi standar untuk hubungan Islam-Kristen di seluruh bekas Kekaisaran Bizantium, melindungi hak-hak orang yang ditaklukkan dalam segala situasi, dan memaksa konversi untuk menjadi tindakan sanksi.
Revitalisasi Kota
Lepas penaklukan Yerusalem, Khalifah Umar segera mengatur tentang rencana pembuatan kota penting Islam. Dia membersihkan area Temple Mount, di mana Nabi Muhammad Saw naik ke langit ketujuh. Lalu dia memerintahkan renovasi Masjid al-Aqsha (sekarang).
Sepanjang sisa masa kepemimpinan Khalifah Umar dan berikut pergantian ke pemerintahan Bani Umayyah, Yerusalem menjadi pusat utama ziarah keagamaan dan perdagangan. The Dome of the Rock ditambahkan untuk melengkapi Masjid al-Aqsa di 691. Banyak Masjid dan lembaga publik berdiri di seantero kota.
Penaklukan Yerusalem di bawah pimpinan Khalifah Umar di 637 M jelas menjadi momen penting dalam sejarah kota. Hingga pada tahun 462 dan seterusnya, Yerusalem dikuasai oleh umat Islam, dengan kebebasan beragama bagi kelompok minoritas yang dilindungi sesuai dengan Perjanjian Umar. Mungkin karena kesan positif dalam sejarah itulah yang menjadikan banyak kalangan kini, beribu tahun setelahnya, menganggap Perjanjian Umar patut dirujuk dan jadi solusi atas konflik penguasaan Israel atas Jerusalem .