Sheikh Maher Hammoud, imam masjid al-Quds di Saida, Libanon, tak pelak adalah salah satu ulama paling disegani di Timur Tengah dewasa ini. Pandangan-pandangannya yang tegas dan lugas mengundang banyak decak kagum. Di tengah badai sektarianisme dan fanatisme buta, Sheikh Hammoud seperti sekoci penolong. Dalam banyak kesempatan dia melancarkan kritik kepada berbagai pihak dengan menyebut persoalan secara spesifik dan memberikan uraian secara objektif. Ini memang barang langka di tengah masyarakat yang terpuruk dalam saling caci dan benci.
Dalam salah satu wawancara dengan Al-Manar — televisi milik Hizbullah — awal tahun 2013 silam, Sheikh Hammoud tanpa tedeng aling-aling mengungkapkan keprihatinannya yang serius atas keterlibatan Hizbullah dalam perang di Suriah. Meski mengakui bahwa Hizbullah mungkin saja punya sejumlah alasan, tapi dia tetap menyesalkannya. Katanya: Lebih dari itu, jika keterlibatan itu masih mungkin ada alasan-alasannya sendiri, maka pengungkapannya di depan khalayak jelas lebih tidak punya alasan.
Namun, di awal tahun 2014 ini, dengan jujur dan tulus Sheikh Hammoud menyalahkan prediksinya sendiri dan menjustifikasi keterlibatan Hizbullah di Suriah. “Ini ibarat pil pahit yang wajib ditelan,” tegasnya. “Jika Hizbullah tidak mencegat mereka di perbatasan Suriah, para takfiri bersenjata itu kini sudah melancarkan teror ke jantung Libanon dan memporak-porandakan segala-galanya.”
Sheikh Hammoud memang manusia yang langka di tengah banjir disinformasi, kebohongan dan kemunafikan seperti saat ini. Dia berani menyatakan kritiknya yang tajam kepada kawan maupun lawan, tanpa kebencian yang membabi buta. Tapi, begitu dia menemukan bahwa dirinya yang kurang cermat membaca situasi, dia pun tak sungkan meralatnya. Dengan sikap seperti ini, Sheikh Hammoud tentu mendapat reputasi yang gemilang di Timur Tengah.
Tanggal 20 Juni lalu, Al-Manar kembali mewawancarai Sheikh Hammoud. Gaya bicaranya yang tegas dan lugas kembali menyegarkan pikiran. Dalam wawancara itu, dia mengemukakan fakta apa adanya. Menurutnya, dalam tiga dasawarsa terakhir ini umat menyaksikan dua fenomena gerakan Islam. Yang satu berbaju Sunni dan yang lain berbaju Syiah. Keduanya memiliki ciri masing-masing. Tapi, di antara keduanya tetap ada perbedaan yang mencolok. Dan kalau kita mau jujur, kata Sheikh Hammoud, gerakan Islam Sunni ‘bergerak turun dari ketinggian’ sedangkan sebaliknya gerakan Syiah yang tidak dikenal pada awal 1900-an justru kini terus menanjak.
Menurutnya, ada banyak faktor yang memicu fenomena ini. Yang paling utama ialah masalah kepemimpinan. Dalam tiga dekade terakhir, gerakan Syiah memunculkan sejumlah pemimpin yang mumpuni seperti Imam Khomeini, Musa Sadr, Baqir Sadr, Hasan Nashrallah dan sebagainya. Di sisi lain, gerakan-gerakan Islam Sunni justru kehilangan figur dan terpaksa menjadikan orang seperti Saddam Husein, Muamar Gaddafi, Osama bin Laden dan sebagainya sebagai ‘pemimpin’. Padahal, tokoh-tokoh yang disebut belakangan ini sama sekali tidak mewakili ideologi yang dipegang oleh mayoritas Sunni sendiri.
Faktor lain yang tak kalah pentingnya, katanya, adalah pemilihan agenda gerakan yang relevan. Gerakan Imam Khomeini (dan tentunya juga gerakan di bawah Musa Sadr), misalnya, menekankan pada tiga isu utama yang sangat strategis yang tak lelah diperjuangkan: perlawanan atas hegemoni Amerika Serikat di Timur Tengah, pembebasan Palestina dan persatuan umat. Ketiga isu ini menciptakan kohensi internal sekaligus menarik simpati eksternal yang luas. Dengan ketiga isu itulah akhirnya Iran dan Hizbullah, sebagai induk gerakan Islam Syiah, mampu mendekati Hamas, Jihad Islam dan pelbagai ormas Islam lain di seluruh dunia.
Faktor lain yang tentu menambah kekuatan ialah kepemimpinan yang terpercaya, berintegritas, merakyat, menunjukkan sikap moral yang adiluhung dan tidak mudah dipengaruhi oleh pilihan-pilihan sesaat. Kepemimpinan seperti inilah yang akhirnya mampu meredam potensi pertikaian elit dan—sekiranya terjadi pertikaian elit—mampu mengendalikan dan mencegahnya menjadi konflik horizontal yang meluas.
Sheikh Hammoud menyatakan bahwa para pemimpin gerakan Syiah mampu keluar dari ‘pemimpin golongan’ menjadi ‘pemimpin umat’ lantaran isu-isu yang dikemukakannya mencakup kepentingan semua golongan umat. Sebagai contoh, Imam Khomeini yang menjadi pemimpin Syiah telah berubah menjadi pemimpin umat justru karena pembelaan dan perhatiannya yang utuh kepada kasus-kasus dan kepentingan-kepentingan utama umat Islam secara menyeluruh. Perlawanannya yang gigih atas hegemoni Amerika juga menjadikannya sebagai ikon kebangkitan kaum tertindas, terlepas dari sekte dan agama apapun orang itu.
Di sisi lain, para pemimpin gerakan Sunni nyaris tidak memiliki kredibilitas dan hidup sepenuhnya dari sentimen sektarian yang tidak berarti. Umpamanya, menurut Sheikh Hammoud, sebagian orang yang sekarang mendukung Islamic State in Iraq and the Levant, atau kerap disingkat ISIS atau DAISH dalam bahasa Arab, sebelumnya justru menyatakan bahwa DAISH adalah ‘boneka Iran dan rezim Bashar’. Para penentang lama dan pendukung itu menilai bahwa DAISH telah mencoreng ‘Revolusi Suriah’ dengan memperlihatkan aksi-aksi brutal dan menyerang kantong-kantong yang telah dikuasai oleh tentara bebas Suriah (FSA). Perilaku ini, menurut puak pendukung baru itu, menunjukkan bahwa DAISH adalah buatan rezim Bashar untuk merusak revolusi. Tapi, lacurnya, sekarang mereka berbalik 180 derajat. Mereka kini meyakini bahwa Abu Bakr Al-Baghdadi, bos besar DAISH, berjihad untuk membela kaum Sunni di Irak yang konon ‘dibantai’ oleh mayoritas Syiah. Dan tanpa ragu lagi, sebagian mereka menyatakan baiat kepada Al-Baghdadi— tokoh misterius yang disebut sebagai Amirul Mukminin oleh anggota DAISH. Semua ini tentu mengingatkan kita pada baiat mereka terhadap Saddam Husein saat berperang delapan tahun melawan Iran dengan hasil nol besar.
Fanatisme dan sektarianisme sebagian besar pemimpin gerakan Islam Sunni di hadapan kian gigihnya para pemimpin gerakan Islam Syiah merajut persatuan, bakal memperkuat trend yang terjadi selama tiga dekade terakhir. Bukan mustahil, kata Sheikh Hammoud, gerakan Islam Sunni bakal ditinggalkan oleh orang-orang Sunni sendiri, seperti dulunya orang-orang Eropa meninggalkan agama-agama mereka dan berbondong-bondong memeluk sekularisme. Bagi Sheikh Hammoud, fanatisme dan sektarianisme bukanlah sifat yang terpuji sehingga aksi apapun yang timbul karenanya juga tidaklah terpuji dan pada akhirnya takkan mencapai hasil apa-apa. Ini kalau kita tidak mau lebih vulgar mengatakan bahwa gerakan Islam seperti itu bahkan akan ditinggalkan oleh kalangan pendukung setianya.
Bagi Sheikh Hammoud, fanatisme dan sektarianisme yang melahirkan terorisme tak lebih dari agenda kebencian yang mustahil bertahan. Dia yakin, gerakan-gerakan ekstremis yang mengandalkan brutalitas sebagai sarana mencapai tujuan tak bakal berumur panjang. DAISH tidak akan berumur lebih panjang daripada Al-Qaedah, dan tidak mustahil dimulai dengan saling bunuh di dalam tubuh gerakan ini sendiri.
Di akhir wawancara itu, Sheikh Hammoud mengingatkan suatu fakta yang patut kita camkan baik-baik: para pemuda yang kini bersimpati dan bergabung bersama DAISH (ISIS) itu harus dikembalikan menjadi remaja Muslim yang baik. Karena, menurutnya, mereka umumnya adalah remaja yang pandai, terdidik dan memiliki keinginan untuk hidup terhormat dan bermartabat. Akibat fitnah, disinformasi dan fanatisme yang berlebihan, mereka mengira DAISH adalah sarana mencapai cita-cita tersebut. Padahal, semua juga sudah sadar bahwa DAISH tidak mungkin mencapai apa-apa kecuali kerusakan, kehancuran dan akhirnya kematian. Dan itu jelas bukanlah cara menyebarkan kebenaran dan menegakkan keadilan sebagaimana yang diperintah Allah dan Rasul-Nya