Khadijah, Istri Setia Rasulullah saw
  • Judul: Khadijah, Istri Setia Rasulullah saw
  • sang penulis:
  • Sumber:
  • Tanggal Rilis: 14:28:4 3-9-1403



Pada hari seperti sekarang, 10 Ramadhan 10 H, Sayyidah Khadijah as, istri Rasulullah saw dan perempuan pertama yang memeluk Islam itu berpulang ke rahmatullah. Peristiwa ini merupakan titik akhir masa kebersamaan Khadijah dengan Rasulullah saw selama 25 tahun. Dengan wafatnya sang istri, Rasulullah pun merasa sangat sedih, apalagi peristiwa tak berselang lama dengan wafatnya Abu Thalib, paman beliau. Sedemikian sedihnya beliau, hingga tahun itu dikenal dengan sebutan ‘Amul Khuzn', tahun duka. Ketika Khadijah as wafat, Rasulullah saw sangat menangisi kepergiannya. Beliau menuturkan, "Di mana lagi ada yang seperti Khadijah? Ketika masyarakat menafikanku, ia membenarkanku. Ia membantuku dalam (menyebarkan) agama Allah dan menolongku dengan hartanya".

Sayyidah Khadijah berasal dari keluarga terhormat di kalangan masyarakat Quraisy. Sebelum Rasulullah saw diutus menjadi nabi, Khadijah merupakan seorang penganut agama tauhid Ibrahimi. Selain dikenal sebagai perempuan yang mulia, ia juga memiliki kekayaan yang besar dan termasuk salah seorang niagawan terbesar di Hijaz.

Khadijah as adalah sosok perempuan yang bijaksana dan berwawasan luas. Ia sangat menyenangi persoalan spiritual dan cukup mengenal ajaran kitab-kitab samawi. Perempuan mulia ini juga merupakan salah seorang penanti kedatangan nabi akhir zaman yang dijanjikan kedatangannya dalam kitab-kitab samawi. Terkadang ia juga bertanya kepada pamannya, Waraqah bin Naufal dan para ilmuan lain tentang tanda-tanda kenabian.

Akhirnya, jauh hari sebelum Muhammad saw diangkat sebagai Rasulullah saw, Khadijah as telah terlebih dahulu mengenal beliau. Suatu ketika, ia menyerahkan tanggung jawab pimpinan kafilah dagangnya kepada Muhammad saw yang kala itu dikenal sebagai pemuda yang jujur dan amanah. Perjalanan niaga itu, membuat keelokan akhlak dan kepribadian Muhammad saw semakin tampak jelas di mata Khadijah. Ia pun akhirnya meyakini bahwa pemuda mulia itu merupakan seorang yang berhati suci dan sangat berbeda dengan yang lain. Muhammad saw adalah pemuda yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan jiwanya selalu terhiasi dengan keindahan spiritual. Khadijah juga tahu, Muhammad saw adalah seorang yang sangat menyayangi kaum fakir-miskin dan selalu membela orang-orang yang terzalimi. Karena itu, Muhammad begitu dihormati lantaran sifat-sifat kepribadiannya yang mulia seperti amanah, santun, jujur, dan sifat-sifat terpuji lain.

Sayyidah Khadijah juga sadar betul, kehidupan Muhammad telah menempatkan dirinya melangkah di jalan yang benar. Namun demikian, pujian Khadijah as terhadap Muhammad dan niatnya untuk menikahi beliau, menyulut reaksi keras masyarakat jahiliyah di Mekkah saat itu. Sebab, masyarakat jahiliyah selalu menjadikan kekayaan material sebagai tolak ukur kehormatan seseorang. Sementara Muhammad bukanlah pemuda kaya. Karena itu, setelah Khadijah as menikah dengan Muhammad saw, muncul sekelompok perempuan Quraisy yang selalu mencaci dan menghina Khadijah lantaran menikah dengan pemuda miskin.

Menjawab hinaan itu, Khadijah berkata, "Adakah seseorang seperti Muhammad di antara kalian? Adakah seorang manusia yang berakhlak mulia seperti dia di Negeri Hijaz ini? Aku menikah dengannya karena sifat-sifatnya yang mulia". Tentu saja, alasan yang dilontarkan Khadijah as itu merupakan hal yang tidak bisa dipahami oleh masyarakat jahiliyah di zaman itu. Karena itu, perempuan-perempuan Quraisy memusuhi Khadijah. Ironisnya, setelah Rasulullah saw diangkat sebagai nabi, tindakan jahat kalangan perempuan Quraisy terhadap Khadijah makin keras. Bahkan pada saat Sayidah Fatimah Az-Zahra as lahir, mereka tak juga sudi menolong Khadijah as. Tentu saja, hal itu menjadi ujian besar bagi istri pertama Rasulullah saw itu. Meski demikian, Allah swt senantiasa membantu Khadijah dalam memperjuangkan agama ilahi dan tak pernah membiarkannya sendiri. Sebagaimana yang terjadi saat kelahiran putrinya, Fatimah Az-Zahra. Allah swt mengirimkan para perempuan termulia, seperti Sarah, istri Nabi Ibrahim as; Asiah, istri Firaun; Maryam, ibu Nabi Isa; dan Kultsum, saudara perempuan Nabi Musa as untuk membantunya.

Meski Khadijah seorang perempuan kaya dan memiliki posisi terpandang, namun ia senantiasa bersikap rendah hati dan penuh hormat terhadap Muhammad saw. Ia juga tahu, Rasulullah saw sangat mencintai ibadah. Karena itu, ia selalu memberikan kesempatan bebas kepada beliau untuk beribadah. Sebelum diutus sebagai nabi, setiap bulannya Muhammad saw senantiasa pergi berkhalwat atau menyendiri untuk beribadah di gua Hirah yang terletak di gunung Nur. Selama berkhalwat, Khadijah selalu mengutus Ali bin Abi Thalib as untuk mengantar makanan kepada beliau. Bahkan Ali as terkadang juga turut menemani Rasulullah saw berkhalwat.

Setelah Muhammad saw diangkat sebagai nabi, banyak kalangan dan sanak famili yang meninggalkannya sendirian. Namun Khadijah as tak pernah menyerah untuk selalu mendampingi sang suami berjuang menyebarkan agama Islam. Dengan penuh keyakinan dan ikhlas, ia pun mengakui kenabian Muhammad dan menjalin sumpah abadi dengannya. Khadijah mengimani Islam bukan hanya dengan lisan. Ia bahkan menyerahkan seluruh harta kekayaannya untuk dibaktikan di jalan perjuangan Islam. Apalagi ketika umat Islam diasingkan dan diboikot oleh masyarakat kafir Quraisy di lembah tandus, Sya'b Abu Thalib, bantuan materi dan pemikiran Khadijah as sungguh terasa nyata. Bahkan pasca boikot pun, harta Khadijah berperan penting dalam menyelamatkan perjuangan dakwah Islam. Sampai-sampai Rasulullah saw berkata, harta Khadijah as sangat membantuku.

Selama hidup bersama dengan Rasulullah saw, Khadijah as selalu mengedepankan kesabaran dan ketabahan. Sebab ia sungguh meyakini jalan yang dipilih suaminya sebagai utusan Allah yang terakhir untuk menyelamatkan umat manusia. Baik sebelum maupun sesudah masa pengutusan, Khadijah as selalu mencintai Rasulullah saw dengan penuh ketulusan. Ia selalu mendampingi Rasulullah saw baik dalam keadaan suka maupun duka.

Khadijah sungguh percaya kepada Muhammad. Ia selalu meyakini apa yang dituturkannya dan membantu beliau. Allah saw menenangkan hati Rasulullah saw melalui perantara Khadijah. Dikisahkan, suatu hari sekelompok orang musyrik Mekah melempari Rasulullah saw dengan batu hingga beliau terluka dan terus mengejarnya hingga di rumah Khadijah, bahkan rumah Khadijah itu pun juga menjadi sasaran lemparan batu mereka. Menyaksikan hal itu, Khadijah pun keluar dan berkata kepada mereka, "Apakah kalian tidak malu melempari batu rumah seorang perempuan yang paling terpandang di antara kalian?". Mendengar ucapan itu, mereka pun akhirnya merasa menyesal dan menghentikan aksinya.

Khadijah pun segera mengobati luka Muhammad saw dan di saat itulah, Allah swt menyampaikan salam kepada Khadijah dan berjanji memberinya istana yang terbuat dari zamrud di surga yang bebas dari segala duka.

Saat umat Islam diblokade di lembah Sya'b Abu Thalib, boikot ekonomi kaum kafir Quraisy membuat tantangan yang dihadapi kaum muslimin begitu berat. Sedemikian beratnya, hingga Sayidah Khadijah as jatuh sakit dan akhirnya ia pun memenuhi panggilan ilahi. Menjelang wafatnya, saat ia terbaring lunglai, ia berkata, "Wahai Rasulullah saw, Aku belum memenuhi hak-hak mu secara penuh, dan aku tidak melaksanakan apa yang semestinya. Maafkanlah aku, kini tak ada yang kuinginkan selain kerelaanmu".

Maka, setelah 25 tahun hidup bersama Rasulullah dalam pasang surutnya kehidupan, Khadijah as pun akhirnya mengucapkan selamat jalan untuk selamanya dan berpulang ke hadirat ilahi.