Ayatullah Muhammad-Hasan al-Najafi atau yang dikenal dengan Sahib al-Jawahir adalah ulama besar Syiah dan jenius abad 13 Hijriah. Karya terbesar dan yang membuatnya terkenal adalah Jawahir al-Kalam, sehingga ia dikenal sebagai Sahib al-Jawahir.
Pengaruh Sahib al-Jawahir dalam menghidupkan fikih asli dan murni Syiah sangat besar sehingga ulama terkenal setelahnya seperti Imam Khomeini ra, mengenalkan fikih asli Syiah dengan fikih Jawahiri. Penyebutkan fikih Jawahiri mengacu pada metode ilmu fikih yang sepenuhnya berpegang pada asas dan kaidah fikih, sekaligus mampu menjawab persoalan-persoalan baru yang muncul di berbagai bidang personal dan sosial, dengan berpijak pada prinsip dan aturan yang sama.
Usul fikih berarti asas-asas dan kaidah-kaidah yang dapat digunakan oleh seorang ahli hukum untuk memperoleh hukum-hukum agama dari teks ayat dan riwayat. Sebagian aturan tersebut merupakan aturan rasional dan logis, dan sebagian lainnya merupakan aturan yang telah ditentukan dalam ayat dan hadis. Ahli hukum Syiah menekankan penerapan prinsip dan aturan ini dan percaya bahwa jika seorang ahli hukum ingin menyimpulkan hukum agama (istinbat hukum) dari al-Quran dan hadis serta riwayat tanpa mengikuti aturan ini, maka kemungkinan penyimpangan dalam pendapatnya akan sangat tinggi. Para ahli hukum Syiah menganggap pengabaian ini sebagai bahaya besar bagi prinsip agama.
Usul fikih yang merupakan salah satu mata pelajaran utama seminari (Hauzah Ilmiah) telah digunakan oleh para ahli hukum sejak awal sejarah fikih Syiah, dan seiring berjalannya waktu, upaya para ahli hukum telah menambah kekayaannya dan memberinya lebih banyak disiplin. Salah seorang yang memiliki peran unik dalam menghidupkan kembali usul fikih dan menerapkannya secara sangat sistematis, tepat dan ilmiah dalam istinbat hukum, adalah Sheikh Muhammad Hassan Najafi "Sahib Jawahir".
Dalam buku besarnya Jawahir al-Kalam, yang sebenarnya merupakan ensiklopedia fikih Syiah, ia menunjukkan cara yang benar dalam menerapkan aturan dan prinsip-prinsip fikih (usul fikik) dengan penguasaan penuh dan menunjukkan kekuatan fikih otentik dalam istinbat hukum ilahi dengan benar dan menanggapi masalah baru sesuai dengan kebutuhan waktu. Pentingnya hal ini menjadi jelas ketika kita mengetahui bahwa dalam beberapa periode sejarah, termasuk pada masa Sahib Jawahir; beberapa arus yurisprudensi (maktab fikih), termasuk Akhbari; Mereka menentang penggunaan prinsip dan aturan fikih dan percaya bahwa satu-satunya sumber bagi kita untuk mencapai keputusan ilahi adalah teks ayat dan hadits, dan kita tidak boleh mengikuti prinsip dan aturan logis dan rasional dalam memahami teks-teks ini. Jika arus ini menguasai pendapat para ulama dan orang biasa, hal itu dapat menyebabkan kerusakan yang tidak dapat diperbaiki pada agama Islam dan mazhab Ahlubait as.