Mengenal Ulama Besar Syiah: Sharif al-Ulama Mazandarani
  • Judul: Mengenal Ulama Besar Syiah: Sharif al-Ulama Mazandarani
  • sang penulis:
  • Sumber: parstoday
  • Tanggal Rilis: 18:27:24 1-9-1403

Kali ini kami akan mengajak Anda mengenal salah satu ulama besar Syiah keturunan Mazandaran, Iran bernama Mohammad Shaif Mazandarani atau yang lebih dikenal dengan sebutan, Sharif al-Ulama Mazandarani.

Sharif al-Ulama Mazandarani juga dikenal sebagai penggagas ilmu ushul fikih dan guru besar Hauzah Ilmiah Karbala yang telah mengeluarkan ratusan mujtahid dan ulama terkenal.

Sharif al-Ulama Mazandarai yang nama lengkapnya adalah Mohammad Sharif bin Hasan Ali Amoli Mazandarari Hairi lahir di Karbala, Irak tahun 1200 H. Ayahnya adalah Mulla Hasan Ali Amoli, salah satu ulama saleh di zamannya dan asli dari Mazandaran, Iran dan hijrah ke Karbala untuk melanjutkan pendidikannya dan belajar dari ulama terkenal saat itu.

Mohammad Sharif mempelajari dasar-dasar ilmu agama di Karbala dan kemudian melanjutkan pendidikannya di bawah asuhan Sayid Mohammad Mujahid dan Sayid Ali Tabatabai yang dikenal dengan sebutan Sahib Riyad. Kemudian ia bersama ayahnya berpindah-pindah dari Hauzah Ilmiah Irak dan Iran untuk menuntut ilmu di bawah bimbingan ulama terkenal. Di kota-kota seperti Najaf, Baghdad, Mashhad, Qom dan Tehran, Mohammad Sharif belajar di bawah ulama terkenal zaman itu, dan terkadang di sejumlah kota ia hanya menetap selama satu bulan. Mohammad Sharif di penghujung perjalanannya ini berakhir di kota Mashhad di Khurasan dan setelah berziarah ke makam suci Imam Ridha as, ia kembali ke Karbala dan belajar kembali di bawah bimbingan guru besarnya, Sahib Riyad.

Mohammad Sharif Mazandarani setelah menyelesaikan masa pendidikannya, ia mulai mengajar dan aktif membimbing murid-muridnya serta mereka yang haus akan maarif Ahlul Bait as. Tak butuh waktu yang lama, kelas Mohammad Sharif Mazandari dipenuhi pelajar dan mereka yang haus ilmu, dan menurut catatan sejarah, jumlah mudir ulama ini mencapai seribu orang.

Hauzah ilmiah Karbala di zaman Mohammad Sharif Mazandarani mencapai kejayaan ilmiahnya, dan ulama besar seperti Sheikh Ansari, Sahib Dzawabid, Fadhil Darbandi dan puluhan mujtahid besar lainnya belajar dari ulama ini. Meski demikian, ulama besar ini masih tetap melanjutkan belajarnya di bawah bimbingan guru besar Ali Sahib Riyad, dan senantiasa merasa membutuhkan bimbingannya.

Ketinggian ilmiah Mulla Mohammad Sharif Mazandarani terkait pembahasan fikik dan kekuatan pemahaman serta interpretasi serta ingatannya yang sangatkuta, membuat dirinya dikenal sebagai marja agama yang mumpuni dan unggul di zamannya. Ia di kalangan guru dan murid-muridnya dikenal dengan sebutan Sharif al-Ulama. Anugerah ilahi disamping dengan upaya tak kenal henti serta siang dan malam Sharif al-Ulama yang disertai dengan keikhlasannya dalam beribadah dan penghambaan kepada Tuhan, telah membuat sinar keilmuan bersinar di hati ulama ini. Ia juga berhasil meletakkan dasar-dasar fikih dan ushul fikih baru dengan bersandar pada al-Quran, hadis, akal dan ijma'. Ini adalah kebanggaan ilmiah terbesar Sharif al-Ulama bersama murid-muridnya.

Salah satu karakteristik Sharif al-Ulama dalah kemampuannya yang luar biasa dalam berdebat dan keindahan tutur katanya. Ulama mulia yang menguasai ilmu fikih, hadits dan ilmu-ilmu agama lainnya ini juga sukses dan mengagumkan dalam menjawab pertanyaan, sanggahan dan keraguan ilmiah yang dilontarkan dalam pertemuan-pertemuan ilmiah atau di tingkat masyarakat. Menurut kesaksian orang-orang sezaman dan murid-muridnya, siapa pun yang berdebat dengannya, Sharif al-Ulama pasti akan memenangkannya, dan dia dapat membuktikan kepada orang lain apa yang dia yakini benar dari sudut pandang sains dan yurisprudensi, dan menjawab pertanyaan mereka dan menghapus keberatan dan menepis klaim palsu dengan alasan yang jelas.

Guru hebat ini berusaha memperkuat kemampuan diskusi dan respon pada murid-muridnya. Metode pengajarannya adalah setelah mengajar, ia menugaskan salah satu muridnya yang terpandang untuk mempresentasikan kembali pelajaran yang sama sehingga jika ada ketidakjelasan dapat diselesaikan. Kemudian ia membagi murid-muridnya menjadi beberapa kelompok yang terdiri dari beberapa orang sehingga mereka dapat saling mendiskusikan materi yang disampaikan dalam pelajaran yang sama dalam satu hari satu malam.

Metode diskusi di seminari (Hauzah Ilmiah) merupakan metode belajar yang terkenal dan populer. Para guru besar ilmu agama menyarankan empat tahap agar pelajaran tetap dalam ingatan dan pemahaman yang lebih baik: "pra-membaca" yang berlangsung sebelum awal pelajaran, "menghadiri pelajaran", "belajar setelah pelajaran" dan akhirnya "diskusi ". Dalam sesi diskusi, satu orang bertugas untuk menceritakan kembali pelajaran sebelumnya, dan yang lainnya mengkritik, melakukan kesalahan, dan mengoreksi. Di satu sisi, diskusi adalah cara untuk lebih memahami pelajaran dan memecahkan masalah dengan lebih baik dan benar, dan di sisi lain, itu adalah cara untuk melatih dan memperkuat ekspresi dan teknik berbicara. Selain itu, ini adalah semacam praktik untuk kelas dan pengajaran. Dalam beberapa tahun terakhir, karena perkembangan metodologi dan penyediaan fasilitas seperti pencatatan pelajaran dan kemungkinan akses cepat ke bahan pelajaran, tradisi ini menjadi kurang penting, dan masalah ini perlu diperhatikan.

Terlepas dari keahlian khususnya dalam ilmu-ilmu Islam dan dianggap sebagai salah satu pendiri ilmu prinsip, master yang luar biasa ini tidak meninggalkan karya tulis lain kecuali risalah tentang masalah perintah dan kewajiban. Dia percaya bahwa pelatihan siswa elit jauh lebih penting daripada menulis buku, dan karya berharga yang ditulis oleh para sarjana adalah hasil dari upaya guru mereka.

Diketahui bahwa ia biasa berkata: "Tugas saya adalah melatih siswa dan mendidik yang terpelajar, dan apa yang Anda tulis siswa sebenarnya adalah hasil usaha saya." Semangat luhur Sharif al-Ulama untuk mendidik para santri elit membuatnya mengadakan dua majelis ilmu setiap hari, satu majelis untuk mahasiswa umum dan satu majelis khusus untuk mahasiswa unggulan, yang mencakup topik-topik ilmiah yang lebih kompleks dan berat. Sementara ulama lain ada yang belajar setiap hari bahkan ada yang satu atau dua minggu sekali.

Bagi murid-muridnya, Sharif al-Ulama tidak hanya ahli dalam pelajaran dan diskusi, tetapi seperti seorang ayah yang baik hati, ia memperhatikan pendidikan, masalah hidup, dan bahkan mata pencaharian mereka. Diceritakan ketika salah satu murid elitnya bernama Mulla Ismail Yazdi menderita epilepsi, dia membawakannya seorang dokter dari Baghdad dan menghabiskan banyak uang untuk mengobatinya. Mullah Ismail Yazdi, setelah kematian Sharif al-Ulama, menggantikan guru untuk sementara dan mengajar menggantikannya.

Tentu saja, seorang guru dengan gelar akademik tersebut; Dia memiliki gaya hidup khusus. Sosok yang ribuan orang berlutut di pelajarannya setiap hari, dan para tokoh terhormat dan tetua menganggapnya sebagai pengecualian dari zaman di bidang pengetahuan dan kesalehan. Dikatakan bahwa dia biasa menghabiskan berjam-jam di malam hari untuk belajar dan berpikir, dan lampu bacanya hanya dimatikan sebentar pada malam hari. Ia tidak tertarik untuk sering silaturahmi dan bergaul dengan gaya yang biasa di antara orang-orang untuk menghabiskan waktu, dan sebaliknya ia mencoba mengadakan pertemuan, duduk dan bangun di bidang pembelajaran dan peningkatan diri serta mematuhi Tuhan.

Sesuai dengan kondisi dan kebutuhan saat itu serta sesuai dengan kemampuan dan bakat mereka, Sharif al-Ulama telah menciptakan tugas untuk dirinya sendiri dan ia berusaha melakukan yang terbaik untuk memenuhi tugas tersebut. Ia bahkan tidak menerima tugas sebagai imam jamaah. Masalah ini mungkin karena intensitas kesalehannya, atau mungkin karena kebutuhan untuk fokus pada masalah pengajaran dan administrasi seminari (Hauzah). Karena imam jamaah, suka atau tidak suka, mengemban beberapa tugas sosial khusus, seperti menangani masalah sehari-hari masyarakat dan tersedia untuk mereka. Dan mungkin saja ulama yang mulia ini lebih memilih menghabiskan seluruh waktunya untuk mengajar dan mendidik para santri yang berbudi luhur dan menyerahkan kepemimpinan imam jamaah kepada ulama lainnya.

Sharif al-Ulama Mazandarani setelah bertahun-tahun usaha keras menyebakan agama dan fikih Ahlul Bait as, serta mendidik ratusan mujtahid Syiah, pada tahun 1245 H meninggal dunia di usia 50-an. Prestasi Sharif al-Ulama dalam mendidik ratusan mujtahid Syiah ini dilakukan dalam usianya yang singat. Saat itu, wabah melanda Karbala dan berbagai kota di sekitarnya. Sepertinya istri dan dua anak Sharif al-Ulama juga meninggal akibat wabah ini.

Jenazah suci ulama besar ini dikebumikan di Karbala, di ruang bawah tanah rumahnya sendiri. Setelah meninggalnya Sharif al-Ulama, Hauzah Ilmiah Karbala mulai mengalami kemunduran dan kehilangan prestasinya sebangai pusat hauzah ilmiah Syiah. Ribuan santri dan murid yang haus akan pengetahuan dan maarif Ahlul Bait as kemudian pindah ke Hauzah Ilmiah Najaf, serta menimba ilmu dari Sahib Jawahir.

Meski Sharif al-Ulama tidak meninggalkan keturunan dan anak, tapi putra-putra sepiritualnya yang saat ini giat menimbal ilmu di Hauzah dan mempelajari ajaran dan pemikirannya sangat banyak.