Eksplorasi Sejarah Syiah
Oleh: el-Hurr
Segala sesuatu selalu berubah dalam sejarah,
Kecuali tuduhan terhadap Syi’ah
-Javad Mughniyah-
Syi’ah adalah sebuah kekuatan yang berdiri tegar dan tegas,
Melawan kekuatan kezaliman, dan karenanya..
Ia eksis, kokoh, dan semakin hidup!
-Taha Husein-
Mukaddimah
Tiba-tiba kekuatan Mazhab Syi’ah menggema ke segenap penjuru dunia dan sisi peradaban dunia modern. Politik, ekomoni, dan kebudayaan seakan mendapatkan nafas baru dari kekuatan baru yang bernama mazhab Syi’ah.
Ketika seluruh teori kemanusiaan berkiblat ke barat dan seluruh system kehidupan bangga berperasmanan di atas west red carpet, rongga-rongga nafas dilenakan aroma peradaban asing, dan pada saat seluruh bangsa berlomba-lomba menjual harga hidup mereka pada pasar-pasar perhelatan antara dua kekuatan menakutkan komunisme dan kapitalisme, Sebuah ledakan terjadi di timur asia, gelombang dahsyat peradaban baru mengalir sampai kepesisir membangkitkan kesadaran sebuah bangsa untuk bergerak; berkata tidak pada keangkuhan barat.
Rumusan-rumusan teori Plato di taman-taman fakultasnya –dan ini mungkin membuat kematiannya sedikit terhibur- di praktiskan dengan sangat indah oleh Imam Khumeini; Dalam praktek bernegara, seorang filosof menjelma menjadi politikus-negarawan sekaligus pemimpin spiritual terbesar bukan saja untuk satu Negara, tapi seluruh bangsa. Inqilab-e Ma, Infijar-e Nur Bud (Revolusi kita adalah pancar pijar cahaya). Demikian Imam Khumeini menamakan revolusi nilainya dalam bahasa yang jauh dari aroma keangkuhan kekuasaan.
Dari dataran Persepolis agung, sikhuet cahaya itu membumbung ke kesadaran kaum tertindas; Intifadhah ke dua berkobar di Palestina, bergerak ke Nahr al-Barid terus ke selatan, ke Jabal Amil dan Bint Jabal, pemuda-pemuda Libanon bangkit, Hizbullah menyatukan mereka dalam satu kalimat; Haihat Minna Zillah!
Di sisi lain –dan sayangnya malah datang dari mereka yang mengaku Muslim- tuduhan yang terkadang jauh dari kaidah-kaidah ilmiah-logis dan etis, ditimpahkan kepada Iran. Dan alasannya juga sangat sederhana; sebab Iran mendasarkan negaranya atas mazhab Syi’ah. Syi’ah adalah mazhab sesat, Iran bermazhab Syi’ah, maka Iran adalah sesat! Benarkah?
Dalam tulisan ini, kita akan mencoba menjelajah dan mencari kembali akar-akar Syi’ah dalam sejarah terutama negara-negara di bawah kekuasaan pemerintahan Syi’ah.
Sebab Berkembangnya Mazhab Syi’ah
Abu Zuhrah di akhir bukunya – al-Imam Shadiq – membahas satu bab dengan judul Perkembangan Mazhab Ja’fariyah (nama lain dari mazhab Syi’ah yang di nisbahkan kepada Ja’far as-Shadiq, Imam ke Enam mazhab ini) ia menulis; Mazhab ini berkembang pesat dengan sebab-sebab sebagai berikut:
1. Pintu-pintu Ijtihad masih dan selalu terbuka dalam mazhab Syi’ah, dan ini membuka pintu pelajaran dan analisa baru terhadap permasalahan-permasalahan social, ekonomi dan individu.
2. Banyak teori-teori yang terus lahir dan berkembang dalam mazhab ini dan menerima perbedaan pendapat selama berjalan di atas koridor teoritis yang benar dan tidak bercampur dengan hawa nafsu.
3. Mazhab Ja’fariyah telah berkembang dalam warna yang dinamis, dari dataran Cina hingga Eropa yang secara natural memiliki iklim adat, pemikiran, kebudayaan, social dan individual yang berbeda.[1]
Dan semua point tersebut telah menjadikan Mazhab ini seperti sungai yang mengalir di belahan bumi yang beragam dan alih-alih berubah, Syi’ah telah mejadi warna hidup dalam lukisan-lukisan sejarah dan bangsa-bangsa yang ia jamah.
Dr. Taha Husein menulis; Syi’ah adalah sebuah Mazhab yang senantiasa berseberangan dan menjadi lawan politik kotor dan penguasa yang zalim, dan karena garis tegas yang dibuatnya ini, menjadikan ia berkembang dan diminati. Ia –Syi’ah- menjadi ideology perlawanan dan para pengikutnya bergerak di atasnya.[2]
Syi’ah dan Sunnah dalam Peradaban Islam
Salah satu cara yang digunakan para ahli sejarah untuk melakukan pendataan jumlah pengikut sebuah komunitas bisa dilakukan dengan cara mendata Negara-negara dan penguasa sebuah bangsa melalui agama dan mazhab yang dijadikan dasar pemerintahan. mengetahui jumlah pengikut mazhab Syi’ah dan Sunnah bisa ditentukan dengan cara yang sama.
Pada masa kekuasaan dinasti Umawi dan awal mulainya dinasti Abbasiyah, jumlah Ahli Sunnah lebih signifikan dari Syi’ah. Sedang pada masa keemasan peradaban dunia Islam, terutama pada masa dinasti Bawahiyah, Fathimiyah dan Hamedaniyah, pengikut mazhab Syi’ah menjadi mayoritas dalam sejarah Islam. Sedang pada kekuasaan Saljukiyah, Ayyubiyah dan Utsmaniyah, jumlah Ahli Sunnah berkembang pesat sampai beberapa generasi, sedang Syi’ah lebih dari segi kuantitas.
Sayyid Muhsin Aminy menulis; “Syi’ah sampai sekarang masih berkembang dan diakui, menampakkan atau menyembunyikan identitas, pengikut mazhab Syi’ah bisa ditemukan atau tidak tergantung pada penguasa yang dihadapinya, mereka dikejar-kejar dan hidup dalam kekerasan penguasa ataupun hidup dalam ketenangan, hingga jumlah mereka sekarang ini sekitar 75 juta orang.[3]
Timbul sebuah pertanyaan, apa penyebab jumlah Syi’ah yang setelah mengalami perkembangan yang sangat pesat dalam masa keemasan peradaban Islam dan pernah memiliki dinasti-dinasti besar dan menjadi penguasa dunia Islam cukup lama atas beberapa generasi, mengalami penurutan kuantitas yang sedemikian banyak?
Jawaban atas pertanyaan tersebut bisa kita dapatkan dalam kitab-kitab sejarah, al-Jauzy dalam jilid kedelapan bukunya, al-Muntazham, menulis bahwa hal tersebut terjadi karena fanatik buta pengikut Ahli Sunnah yang permusuhan mereka yang keras terhadap Syi’ah.
Yaqut dalam Mu’jam-nya menukil bahwa pada tahun 617 H, ia memasuki kota Rey (salah satu kota di Iran sekarang), ia mendapatkan sebagian besar kota tersebut hancur, setelah mencari tahu apa yang penyebab dari kerusakan kota. Dari pemuka penduduk ia mengetahui bahwa kota tersebut dihuni oleh tiga golongan; Syi’ah, Ahnafiyah, dan Ahlu Sunnah Syafi’iyah. Ahnafiyah dan Syafi’iyah bergabung menyerang dan menghancurkan Syi’ah, terjadikah penyerangan oleh Ahnafiyah yang bergabung Syafi’iyah atas Syi’ah. Pembantaian dan pembumi hangusan besar-besar terjadi atas Syi’ah, hingga yang selamat hanya mereka yang berhasil melarikan diri. Selanjutnya Ahnafiyah dan Syafi’iyah bersengketa, terjadilah peperangan di antara mereka. Kekalahan di pihak Ahnafiyah. Semua peperangan ini hanya terjadi dibagian kota yang dihuni oleh Syi’ah dan Ahnafiyah.[4]
Iran dan Syi’ah
Sebagian penulis menganggap bahwa kemunculan Syi’ah berkaitan dengan bangsa Persia dan Iran. Mazhab adalah merupakan ‘kreatifitas’ Persia. Anggapan ini terutama pertama kali dihembuskan oleh orientalis yang sayangnya kemudian secara turun temurun melaui metode non-ilmiyah, tuduhan ini lantas dinukil oleh para penulis muslim yang antipati terhadap Syi’ah dan lebih kotor lagi, musuh-musuh Iran secara politik.[5]
Beberapa teori mereka kemukakan untuk memperkuat pandangan tersebut, diantaranya;
1. Akidah terhadap kepemimpinan merupakan wasiat dan alih waris, terutama dalam akidah imamah Syi’ah tidak pernah ada dalam dunia Islam sebelumnya, terlebih di kalangan orang-orang Arab. Tapi kepemimpinan melalui jalan alih waris dan wasiat hanya terdapat dalam adat turun temurun para penguasa dan raja bangsa Persia.
2. Penghormatan yang khusus bangsa Iran terhadap para Imam Syi’ah yang lahir dari emosi nasinalistik, karena Imam Husein as. Menikahi salah seorang putri raja Persia yang bernama Syahr Banu putri Yazdgard III, dan para Imam setelah Imam Husein as. Seluruhnya lahir dari hasil pernikahan tersebut.
3. kebencian dan dendam bangsa Persia atas kekalahan mereka dalam peperangan dengan kaum Muslim terutama yang berbangsa Arab. Dan untuk sebagai cara mereka melakukan balas dendam terhadap Islam dan kaum Muslim terutama orang-orang Arab, mereka menciptakan akidah yang bernama Syi’ah yang berbeda dengan akidah Ahli Sunnah.
Inilah beberapa anggapan yang mereka hembuskan kepada Syi’ah. Pernyataan di atas bisa dijawab dengan mengemukakan beberapa jawaban sebagai berikut;
1. Akidah bahwa keimamahan melalui jalan alih waris banyak terdapat dalam hadits-hadits bahkan dalam kedua mazhab Sunni dan Syi’ah riwayat-riwayat yang menjelaskan hal tersebut berjumlah sangat banyak.
Jadi bisa dikatakan bahwa teori ini benar-benar terdapat dalam akidah Islam, dan tidak ada hubungannya dengan adat dan kepercayaan orang-orang Iran atau system kerajaan bangsa Persia.[6]
2. Wilayah geografis Syi’ah sepanjang sejarah Islam klasik adalah di tanah Arab terutama Hijaz (Sekarang Saudi Arabiyah), Irak, dan Yaman bukannya Iran. Pengikut terbanyak Imam Ali as. Sendiri sepanjang periode beliau adalah dari orang Arab. Sebagaimana dapat ditemukan, bahwa pasukan yang dibentuk dalam perang Jamal, Shiffin dan Nahrawain merupakan gabungan beberapa kabilah Arab.
3. Mengikuti laporan sejarah, penduduk Persia ketika itu sebaliknya kebanyakan bermazhab Sunni baik secara kekuasaan, pemikiran dan akidah, adapun Syi’ah datang belakangan dari mazhab yang disebutkan terdahulu.
Ada banyak sebab yang menjadikan Syi’ah berkembang pesat di Iran. Diantaranya adalah hijrahnya para pengikut Syi’ah dari tanah-tanah Arab seperti Hijaz, Irak dan Yaman dikarenakan penyiksaan yang mereka dapatkan dari penguasa yang memusuhi Ahlul bait Nabi. Dari orang-orang Arab inilah, akidah Syi’ah didapatkan oleh orang-orang Iran sekaligus Syi’ah menjadi mazhab yang pada perkembangannya mayoritas dianut oleh banga Persia.
Yaqut Hamawi menulis[7]; kota ini (Kota yang pertama kali menjadi basis orang Arab mendawakan Syi’ah) dibangun pertama kali oleh Thalhah bin Ahwash Asy’ary pada masa kekuasaan Hajjaj bin Yusuf. Kota tersebut merupakan gabungan dari tujuh desa dan dulunya bernama Kamandan. Yaqut melanjutkan; hal tersebut dikarenakan, Abdul Rahman bin Muhammad bin Asy’ab bin Qais yang kalah dalam perlawanannya terhadap pemerintahan zalim Hajja penguasa Sistan (salah satu kota besar di Iran), putra-putra Sa’ad bin Malik Asy’ary yang bergabung dalam pasukannya, setelah kekalahan tersebut melarikan diri ke Iran melalui kota Qom, dan di tujuh desa yang bernama Kamandan berniat dan berkonsentrasi didaerah tersebut. Dan mereka yang menyebarkan mazhab Syi’ah Imamiyah di kota Qom kemudian berkembang dan meluas ke berbagai kota lain di Iran.[8]
Abu Zuhrah menulis; Bangsa Persia menerima Syi’ah sebagai mazhab mereka dari orang-orang Arab, yang diakibatkan penyiksaan dan kekerasan yang mereka dapatkan dari penguasa bani Umayah dan Abbasiyah, kemudian hijraj ke kota-kota di Iran seperti Fars, Khurasan (di kota ini terdapat makan Imam Ridha as. Imam kedelapan Syi’ah Imamiyah, sekarang terkenal dengan nama Mash’had) dan kota lainnya. Dan sebelum runtuhnya dinasti Umawi, Syi’ah telah berkembang pesat di tanah ini.[9]
4. Bukti sebagai jawaban tuduhan di atas diantaranya adalah bahwa selain bahwa yang menyebarkan Syi’ah ke tengah-tengah bangsa Persia adalah orang Arab, ulama-ulama besar dari mazhab Syi’ah Imamiyah adalah orang-orang Arab, seperti Alu A’yan, Ali Atiyah, Bani Darrah, Syaikh Mufid, sayyid Murtadha, Muhaqqiq Hilli, Allamah Hilli, Ibn Tawus, Ibn Idris, Fadhil Miqdad, Syahid Awal dan Tsany, serta yang lainnya yang tidak mungkin disebutkan di sini adalah orang-orang Arab. Di sisi lain, pemuka mazhab empat Sunni bukanlah orang Arab, demikian juga para pemuka ilmu kalam, ahli hadits dan faqih terkemuka mazhab Sunni adalah dari non Aran dan kebanyak dari orang-orang Persia.
5. Adalah tidak benar bahwa orang-orang Iran memberikan perhatian dan perhormatan lebih kepada lebih kepada keturunan Imam Husein dan mengikuti keimamahan mereka karena mereka lahir dari rahim putri Iran yang bernama Syarh Banu. Penghormatan mereka terhadap Nargis Khatun as. Ibunda Imam kedua belas Syi’ah Imamiyah adalah putri dari Roma bisa dikatakan tidak kalah bahkan lebih terhadap Syahr Banu as. Sendiri.
Apabila penghormatan bangsa Persia terhadap para Imam-imam Syi’ah karena fanatic nasionalistik Sasaniyah, maka penghormatan yang sama akan mereka lakukan terhadap keluarga dinasti bani Umawi, karena Walid bin Abdul Malik juga menikahi salah seorang putri Syah Afarid, dan dari pernikahan itulah lahir Yazid bin Walid. Jadi Yazid juga memiliki darah dinasti Sasaniyah, tapi kenapa penghargaan dan penghormatan yang sama tidak didapat dari orang-orang Iran?
6. Akidah Syi’ah Itsna Asyariyah mengenai Imama juga masalah yang lain, bersumber dari al-Qur’an dan Hadits Rasul, riwayat-riwayat dari para Imam as, serta dalil akal yang pasti.
Maka tuduhan bahwa mazhab ini muncul dilatari rasa dendam bangsa Persia dan untuk membalasnya Syi’ah kemudian mereka munculkan adalah sebuah tuduhan yang tidak beralasan dan tidak ilmiah.
Kesaksian sejarah cukup menjadi bukti bahwa keislaman bangsa Persia bukan karena rasa dendam dan paksaan, tapi karena keinginan dan kecintaan kepada Islam. Beberapa alasan bisa di kemukakan di antaranya; Pertama, kebenaran dari akidah Islam itu sendiri, kedua, Islam telah menyelamatkan mereka dari kezaliman raja diraja Sasania ketika itu. Dengan bahasa lain, prinsif keadilan, persamaan yang terdapat dalam Islam di sisi lain, dan ketidak adilan dan kezaliman raja-raja Sasaniah atas penduduknya, ini kemudian yang menyebakan orang-orang Iran tidak melakukan perlawanan terhadap pasukan Islam, bila tidak demikian, maka ceritanya pasti lain, sebab menaklukkan Iran tidak akan semudah yang telah terjadi.
Selain itu, kaum Muslim menguasai Iran, mereka diebaskan untuk menerima Islam atau membayar Jizyah bagi mereka yang beragama lain. Sebagaimana agama-agama langit yang lain, tidak akan punya prinsif memaksakan akidah dan ajarannya kepada orang-orang diluar pemeluknya, agama Islam tidak akan memaksakan ajarannya untuk dipeluk.
Edward Brown, menulis; melakukan penelitian terhadap perkembangan luas dan pengaruh dalam agama Islam atas Saratustra, sungguh lebih sulit ketimbang melakukan penelitian terhadap penguasaan kaum muslim terhadap kekuasaan dinasti Sasania. Banyak yang mengira bahwa pasukan perang Islam memberikan dua pilihan terhadap sebuah bangsa atau kekuasaan yang mereka kalahkan; al-Qur’an atau Pedang!
Tapi, sungguh tidaklah demikian, karena mereka yang beragama Kristen, Yahudi, dan Saratustra tetap dengan bebas memeluk dan menjalankan keyakinan mereka. Mereka hanya dibebankan untuk membayar zakat, dan ini sangat adil, karena orang-orang di luar Islam dibebaskan untuk tidak ikut dalam peperangan, bebas dari membayar zakat dan memberikan khusmus yang diwajikan atas umat Rasulullah Saw.[10]
[1] . Lihat, Javad Mughniyah, As-Syi’ah fi al-Mizan, Hal. 203-206
[2] . Dr. Taha Husein, Ali wa Banuh, Mukaddimah kitab
[3] . A’yan As-Syi’ah ditulis sekitar 300 tahun yang lalu, dan tentu saja jumlah yang disebutkan sekarang ini telah mengalami perkembangan yang pesat.
[4] . Lihat juga al-Kamil fi at-Tarikh, Inb Katsir, peristiwa tahun 301-6-8, 334, dan 444
[5] . Kant Kevin dan Edward B, merupakan orientalis yang menulis deskripsi teori kemunculan Syi’ah adalah dari orang-orang Iran. Sedangkan dari kalangan penulis muslim bermazhab Ahlu Sunnah adalah Ahmad Amin dari Mesir dalam bukunya Fajr al-Islam.
[6] . Selain itu, bisa kita bisa melihat dalam sejarah perkembangan kepemimpinan dalam Islam, Sejak masa Muawiyah menjadi penguasa, ia melantik putranya Yazid untuk menggantikannya sebagai raja tanpa memperhatikan suara dari kaum muslim lainnya. Abu A’la al-Maududi menyebut bahwa Mu’awiyahlah yang pertama kali dalam dunia Islam yang menggatikan system kehilafahan menjadi system dinasti. Lihat al-Khilafah wa al-Muluk
[7] . Mu’jam al-Buldan, 4/394
[8] . Lihat juga Buhuts fi al-Milal wa an-Nihal 6/145, A’yan as-Syi’ah: 1/26
[9] . Muhammad Abu Zuhrah , Imam Ja’far As-Shadiq, hal: 454
[10] . Tarikh Adabiyat-e Iran, 1/297