Bihār al-Anwār al-Jami’atu li Durari Akhbar al-Aimmati al-Athhar (bahasa Arab:بِحارُالاَنوار الجامِعَةُ لِدُرَرِ أخبارِ الأئمةِ الأطهار), terkenal dengan Bihār al-Anwār (bahasa Arab: بحارالانوار), adalah diantara kompilasi hadis Syiah terlengkap yang disusun di bawah tinjauan Allamah Majlisi. Kitab tersebut disusun selama lebih dari tiga puluh tahun. Dalam penyusunannya, Allamah Majlisi dibantu tim yang terdiri dari para muridnya. Allamah Majlisi menyusun kitab ini menjadi 25 jilid berdasarkan 25 tema besar (belakangan kitab ini diterbitkan dengan cetakan edisi 110 jilid). Dalam tiap jilidnya terdapat tema-tema yang berhubungan dan terangkum dalam bab yang berbeda. Dalam menulis, Allamah memaparkan ayat Alquran yang berkaitan dengan tema beserta tafsirnya, kemudian ia mengutip hadis yang menyangkut bab tersebut.
Majlisi berusaha merangkum semua tema dan persoalan di dalam Bihār al-Anwār. Sebagai contoh, kompilasi ini memuat berbagai tema, mulai dari Kitab al-‘Aql wa al-Jahl, Tauhid, al-‘Adl, hingga sejarah para Nabi. Jilid 15 hingga 53 dari edisi 110 jilid, khusus membahas tentang sejarah kehidupan dan keutamaan Rasulullah saw, Sayidah Fatimah az-Zahra sa, dan para Imam Maksum as.
Bihar al-Anwar adalah kitab yang dibekali dengan bukti sanad yang kebanyakan diambil dari para Imam Maksum, babnya tersusun per tema, dilengkapi dengan banyak penjelasan riwayat, mengandung tinjauan ilmu kalam, sejarah, fikih, tafsir, ahlak, hadis dan bahasa. Hal tersebut menjadikan kitab ini bernilai istimewa bagi peneliti. Sejak disusun, awalnya Bihar al-Anwar banyak disalin dengan tulisan tangan. Dan seiring perkembangan industri percetakan, sebagian maupun keseluruhannya, kitab ini berkali-kali mengalami cetakan ulang.
Bihar al-Anwar banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Persia dan diterbitkan dengan edisi jilid terpisah. Terjemah terpopuler berjudul Mahdi Mau’ud afs. Kitab ini adalah terjemahan Bihar al-Anwar jilid 13 dari edisi 25 jilid, temanya khusus tentang Imam Zaman as.
Biografi Penulis
Allamah Muhammad Baqir al-Majlisi, pengarang kitab Bihar al-Anwar
Artikel utama: Muhammad Bagir al-Majlisi
Muhammad Baqir bin Muhammad Taqi bin al-Maqsud Ali al-Majlisi, yang dikenal dengan Allamah Majlisi atau Majlisi ke-2 (1037 H/1627 -1110 H/1698), adalah diantara ulama, fakih, dan muhaddis tersohor dalam dunia Islam. Ia adalah pemilik kitab hadis Bihar al-Anwar dan ulama Syiah yang memiliki kedudukan dan pengaruh di era Dinasti Shafawiyah. Banyak sekali bidang ilmu yang dikuasainya, diantaranya, tafsir, hadis, fikih, ushul, sejarah, ilmu rijal, dirayah, filsafat, logika, tata bahasa, geografi, kedokteran, perbintangan dan kajian tentang hal gaib.
Latar Belakang Penulisan
Majlisi di dalam muqaddimah Bihar al-Anwar menyebutkan motivasinya dalam menulis Bihar al-Anwar: “Faktor yang mendorong penyusunan kitab ini adalah, karena saya sangat antusias mempelajari banyak ilmu. Setelah menghabiskan sebagian umur dalam berbagai ilmu dan pemikiran, dari situ saya mendapat kesimpulan bahwa ilmu itu hanya bisa diraih dari sumber wahyu dan riwayat Ahlulbait as. Di akhirat nanti hanya ilmu itu yang bermanfaat. Karena itu saya menekuni hadis dan riwayat para Maksumin as.” [1]
Ia berusaha menggali referensi-referensi yang saat itu sudah mulai terlupakan dan banyak yang lenyap dikarenakan musuh Ahlulbait as. [2]
Ia berkata, “Secara umum dan khusus, sampai sekarang belum ada kitab seperti ini yang ditulis. Belum ada seorang pun yang melakukannya sebelumku. Semoga kitab ini bisa menjadi rujukan bagi para ulama dan penuntut ilmu, menjadi bahan penelitian bagi siapapun yang bergelut dengan ilmu para Imam Maksum as hingga munculnya Qaim Aali Muhammad saw (al-Mahdi afs).” [3]
Teknik Penyusunan
Majlisi memutuskan untuk menulis Bihar al-Anwar sejak tahun 1070 H/1660, tepatnya setelah menulis kitab Fihris Mushannifat al-Ashhab. Dalam kitab ini tertulis dimulai sejak tahun 1072 H/1662. [4] Sedangkan draftnya selesai pada tahun 1104/1693 atau 1106 H/1695. Meski demikian, pengeditannya berlangsung hingga sepeninggal Allamah oleh para muridnya. [5]
Guna menyusun Bihar al-Anwar Majlisi mengutus murid-muridnya ke berbagai wilayah dan Negara. Mereka ditugaskan untuk mencari transkrip-transkrip riwayat yang ada. [6] Sebagai contoh, ia menyebutkan bahwa demi mendapatkan kitab Madinatul Ilmi karangan Ibnu Babawaih, yang diperkirakan berada di Yaman, ia rela mengutus rombongan dengan membawa banyak hadiah untuk penguasa wilayah itu supaya memperoleh kitab tersebut. [7]
Dalam menyusun Bihar al-Anwar, Majlisi dibantu oleh sebagian muridnya, diantaranya, Mirza Abdullah Afandi, Mir Muhammad Shalih Khatun Abadi, Mulla Abdullah Bin Nuruddin Bahraini, Sayid Nikmatullah Jazairi dan Aminah Khatun, saudari Allamah Majlisi. [8]
Seluruh proses penyusunan sepenuhnya didominasi Majlisi. Para muridnya hanya bertugas mengumpulkan dan menulis ayat dan hadis sesuai rancangannya. Ia sendiri yang memilah dan mengatur seluruh matan dan sanadnya. [9] Namun proses penyempurnaan kitab ini, yaitu pengeditannya, dilakukan setelah wafat Majlisi oleh para muridnya. [10]
Majlisi memberikan judul di tiap jilid kitab, dan dalam tiap judulnya terdapat bab-bab. Ia memulai tiap bab dengan ayat Alquran, baik secara jelas maupun dengan bantuan penjelasan konteks sejarah, hadis atau tafsir sesuai tema. Kemudian ia mengutip pendapat para mufassir seperlunya (mayoritas Syaikh Thabarsi dan Fakhru Razi). Setelah itu ia memaparkan hadis-hadis yang sesuai tema beserta sanad dan urutan nomor. Kadang Ia hanya mengutip sebagian hadis, sedangkan lengkapnya ia taruh di bab yang lebih cocok (kadang ia menunjukkan asal kutipan hadis dalam kitab Bihar). Saat diperlukan ia juga memberikan beberapa penjelasan makna hadis. Penjelasan tersebut tidak terdapat dalam jilid-jilid yang telah diedit para muridnya.
Memang Majlisi dalam menyusun Bihar al-Anwar -yang saat itu ia telah melewati separuh umurnya dan berhasil mencapai level keilmuan tertinggi juga telah banyak melahirkan karya kitab- dibantu sebagian ulama. Dalam proses pengumpulan referensi juga mendapat dukungan dana dan fasilitas dari penguasa Shafawiyah. Namun sesuai yang tertulis dalam transkrip-traskrip dan data lainnya, pada hakikatnya pekerjaannya itu adalah misi pribadi.
Kedudukan Kitab
Bihar al-Anwar sebagai khazanah ilmu warisan Ahlulbait as selalu memiliki peran penting dan kedudukan tinggi dalam lembaga keilmuan Syiah. Aqa Buzurg Tehrani mengungkapkan, “Bihar al-Anwar adalah kitab yang luas yang mengandung hadis-hadis Ahlulbait as. Tidak ada penelitian yang lebih baik dari itu. Perlu diketahui, baik dulu maupun nanti, tidak akan ada kitab yang bisa ditulis seperti ini”. [11]
Imam Khumaini menulis, “Bihar al-Anwar adalah karya ulama dan muhaddis besar, Muhammad Baqir Majlisi, yang memuat sekitar 400 kitab dan risalah. Bihar al-Anwar sendiri adalah perpustakaan. Ketika penyusunnya menyaksikan banyak kitab hadis kecil yang hampir musnah karena berlalunya waktu, ia memutuskan untuk menyusun kitab ini.” [12]
Poin yang perlu diperhatikan dalam penyusunan Bihar al-Anwar adalah, karena penyusun tidak banyak memakai Kutubu al-Arba’ah, dari segi fikih kitab ini jadi berkurang nilainya. Meskipun ia sangat menguasai banyak disiplin ilmiah, namun dalam pembahasan fikih ia tidak termasuk marja’ yang lazim.
Sebagaimana yang Allamah terapkan dalam menerangkan dan menjabarkan hadis, dalam menghadapi paham Akhbari ia juga tidak bersikap keras. Ketika menghadapi permasalahan rasional ia menyelesaikannya dengan menggunakan pendekatan ilmu kalam, bukan dengan logika filsafat. Karena itu sebagian ulama Syiah menganggap keterangan dan poin yang disampaikan Allamah Majlisi itu tidak terlalu detail. [13]Sehingga sebagian penafsiran dan keterangan yang disampaikan Allamah Majlisi menyangkut riwayat Ahlulbait as, misalnya mengenai ruh, jiwa, akal dan sebagainya. itu menjadi bahan kritikan para ulama. Allamah Thabathabai menuliskan, “…cara hati-hati bagi pihak yang tidak menguasai pembahasan rasional adalah dengan berpegang pada dhahir Alquran dan hadis kemudian menyerahkan hakikat pemahamannya kepada Allah swt. Tidak perlu masuk pembahasan tentang hal rasional”. [14]
Sayid Muhsin Amin dalam kitab A’yan al-Syiah juga menulis, “Banyak penjelasan dan penafsiran yang disampaikan Allamah Majlisi mengenai hadis yang ia kutip itu kesannya ditulis dengan tergesa-gesa. Hal itu dapat mengurangi manfaat dan menimbulkan kekeliruan.” [15]
Bersambung...