Bagaimana pandangan ulama Syi’ah ihwal hadis Kisa dan silsilah sanadnya
Oleh: IQuest
1. Terkadangan maksud dari “hadis kisa” itu adalah sekumpulan hadis-hadis yang disebutkan dalam kitab-kitab hadis dan lain-lain Ahlusunnah dan Syi’ah yang dianggap sebagai sebab-sebab turunnya ayat “tathhir” dan peristiwa berkumpulnya lima orang (As) (Ashâbul Khamsah) di bawah kain Kisa (pakaian orang Yaman), dan terkadang yang dimaksudkan adalah suatu hadis yang disebutkan dalam kitab-kitab seperti: al Muntakhâb dan Mafâtîhul Jinân dan lain-lain.
2. Hadis dan peristiwa kisa yang terjadi setelah turunnya ayat tathhir di rumah Ummu Salamah dan Rasulullah Saw, dengan pakaian dan mantelnya, menyuruh Ali As, Fatimah As, Hasan As dan Husein As untuk masuk di bawah naungan kain dan menjelaskan obyek-obyek luaran (misdak) siapa saja yang termasuk Ahlulbait secara sempurna. Hal ini merupakan perkara yang pasti dan definitif dalam pandangan Ahlusunnah dan Syi’ah dan banyak dari para sahabat dan tabi’in, dan bahkan Imam Ali As, Imam Hasan As, Imam Husein As, Ummu Salamah dan Aisyah serta yang lain menukil hadis ini.
3. Riwayat-riwayat yang merupakan penjelasan atas peristiwa ini, kendati dalam perinciannya terdapat perbedaan satu dengan yang lain namun mereka sama-sama mengakui bahwa peristiwa ini betul-betul terjadi.
4. Sejumlah orang dari keluarga dan sahabat-sahabat Rasulullah Saw yang menyaksikan dan melihat peristiwa tersebut, mengabarkan bagaimana proses terjadinya peristiwa Kisa.
5. Apa yang dinamakan hadis kisa yang dinukil dari Fatimah al-Zahra As yang ada dalam kitab-kitab seperti, ‘Awâlimul ‘Ulûm, al-Muntakhâb dan Mafâtîh al-Jinân itu tidak dianggap muktabar dan valid.
6. Dengan alasan bahwa hadis yang disebutkan di atas sanadnya lemah, dan bahwa tak ada satu pun kitab hadis muktabar dan populer yang menukilnya, dan bahkan sebagian juga nama mereka tercantum dalam silsilah sanad hadis, tidak menyebutkan hadis kisa tersebut dalam kitab-kitab hadis mereka, dan almarhum Syekh Abbas Qumi juga menjelaskan hal ini dalam kitab Muntahâ al-A^mâl, mungkin dapat dikatakan, penyebutan hadis ini dalam kitab Mafâtîh al-Jinân hanya merupakan tambahan-tambahan yang dilakukan setelah Muhaddits Qumi Ra.
7. Maqam-maqam Ilahiyah dan keutamaan-keutamaan para Imam Ma’sum As merupakan di antara hal-hal yang dijelaskan dalam banyak ayat-ayat Al-Qur’an dan Riwayat-riwayat Islam dan informasi tentangnya dapat diperoleh dengan merujuk kepada sumber-sumber yang ada.
Dalam menjawab pertanyaan ini, pertama perlu diperjelas maksud dari “hadis kisa” itu. Apakah maksudnya itu sesuai denga apa yang dinukil dalam sumber-sumber utama Ahlusunnah dan Syi’ah yang menyatakan bahwa hadis Kisa merupakan sebab-sebab turunnya ayat tathhir dan berkumpulnya 5 orang di bawah kain Kisa dan penjelasan asli peristiwa Kisa, atau yang dimaksudkan adalah suatu hadis yang disebutkan pada sebagian kitab-kitab seperti: “al-Muntakhâb”[1] dan “'Awâlim al-‘Ulûm”[2] dan “Muntahal A^mâl”[3]dan “Mafâtîh al-Jinân” [4] dan lain-lain itu sebagai “hadis kisa”?
Dari ungkapan-ungkapan sang penanya, dapat dipahami bahwa kebanyakan maksud dari hadis kisa adalah suatu hadis yang dijelaskan dalam kitab Mafâtîh al-Jinân dan lain-lain yang dinukil dari Fatimah al-Zahra As. Bagaimanapun juga di sini kita akan menjawab kedua kemungkinan pertanyaan di atas.
1. Hadis kisa dalam sumber-sumber Ahlusunnah dan Syi’ah:
Peristiwa kisa yang terjadi ketika pada proses turunnya ayat tathhir: “innamaa yuriidullaahu liyudzhiba ‘ankumurrijsa ahlalbait wayuthahhirakum tathhiira”[5] merupakan suatu hal yang pasti dan tidak bisa dipungkiri lagi kebenarannya. Kejadian ini banyak dinukil dalam teks-teks dan hadis-hadis dari Ahlusunnah (para sahabat dan tabi’in) dan Syi’ah (para Imam Ma’sum As), yang menjelaskan ketinggian maqam dan kesucian Ashâb al-kisa. Peristiwa ini sedemikian mutawatir sehingga para ahli hadis Ahlusunnah dan Syi’ah menukilnya dan banyak bukti-bukti serta indikasi dalam sejarah yang mendukung hal ini.
Dengan itu, hari dimana peritiwa ini terjadi itu disebut sebagai “hari kisa” dan 5 orang yang mana pada hari itu mendapat limpahan rahmat khusus Allah Swt dengan turunnya ayat itu, dikenal dan populer dengan sebutan “Ashâbul Kisa” .[6] Ashâbul (dan ahli) kisa di antaranya adalah: Rasulullah Saw, Imam Ali As, Fatimah As, Imam Hasan As, Imam Husein As.
Riwayat-riwayat yang ada kaitannya dengan hal ini, tidaklah sama dan terdapat perbedaan-perbedaan dalam isi dan lafaz-lafaznya. Sebagian darinya menjelaskan inti dari peristiwa itu, tapi tidak menyebutkan tipologinya. Sebagiannya juga menjelaskan bagian-bagian dan pelbagai tipologi peristiwa itu, namun setiap dari penjelasan itu punya titik tekan dan sudut pandang yang berbeda-beda.
Dengan alasan ini, perbincangan tentang ayat tathir, penafsiran dan pengkajian tentang hadis-hadis yang terkait dengannya dan bahwa apakah ayat tersebut khusus ditujukan kepada Ahlulbait As dan Ashâbul Kisa itu di luar kajian kita kali ini dan barangkali dengan merujuk ke kitab-kitab yang ditulis khusus tentang hal ini dan juga tafsir-tafsir dan kitab-kitab hadis, dapat memberikan hasil yang cukup memuaskan bagi para pembaca.[7]
Saya kira cukup dengan menyebutkan hal ini bahwa salah seorang ilmuan menyusun sebuah kitab tentang seputar ayat tathhir dimana pada jilid pertama buku tersebut, ia menjelaskan tentang matan-matan hadis serta sejumlah sahabat-sahabat yang menukilkan hadis tersebut, ia menyebutkan sekitar lebih dari 50 orang.[8]
Jumlah riwayat-riwayat yang berkaitan dengan ayat tathhir itu lebih dari 70 hadis.[9] Qunduzi (Hanafi), setelah menukil hal-hal seputar “mawadda fil qurba” mengatakan Rasulullah Saw, setelah turunnya ayat “wa’mur ahlaka bish shalaati wash thabir ‘alaiha”, selama 9 bulan selalu datang ke depan pintu rumah Fatimah As dan membaca:”innamaa yuriidullaahu liyudzhiba ‘ankumurrijsa ahlalbait wayuthahhirakum tathhiira”, ia (Qunduzi) berkata seperti ini: “berita ini dinukil dari sekitar 300 sahabat”.
Layak disebutkan di sini bahwa terdapat orang yang berusaha mengingkari mayoritas riwayat-riwayat terkait dengan keutamaan-keutamaan Ahlulbait As namun mengakui kesahihan hadis kisa dan berkata: “Adapun hadis kisa ini adalah sahih dan benar”.[10]
Dengan meneliti dan memeriksa sanad hadis-hadis yang terkait dengan ayat tathhir dan peristiwa kisa, maka akan ditemukan lebih dari 30 orang sahabat. Sebagian diantaranya adalah: “Imam Ali As, Imam Hasan As, Imam Ali bin Husein As, Imam Shadiq As, Imam Ridha As, Jabir bin Abdullah, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Ja’far Thayyar, Buraidah al-Aslami, Abdullah bin Umar, ‘Imran bin Hashin, Salamah bin al Ukuu’, Abu Sa’id al Khudri, Anas bin Malik, Abu Dzar, Abu Laili, Abul Aswad Duali, ‘Amru bin Maimun Awda, Sa’ad bin Abi Waqqas, Ummu Salamah, Aisyah, Umar bin Abi Salamah, Abul Hamra, Zaenab binti Abi Salamah, ‘Amir bin Sa’ad, al Barra’ bin ‘Azib, Watsilah bin al Asqa’ (al Ashqa’), Tsauban (pembantu Nabi Saw), ‘Atha bin Sayyar, Abu Hurairah dan lain-lain...” [11]
Tentunya sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa bisa saja ditemukan dan disaksikan perbedaan-perbedaan pada lafaz riwayat-riwayat dan syarat-syarat, tempat, waktu peristiwa kisa dan turunnya ayat tathhir, namun tak ada keraguan sedikit pun akan substansi hadis kisa. Adapun mengenai apa rahasia yang terkandung pada adanya perbedaan tersebut, itu merupakan tema penting dan terpisah dari kajian kita kali ini dan tidak begitu penting untuk menjelaskannya d isini secara detil, namun singkatnya dapat dikatakan bahwa peristiwa kisa terjadi di rumah Ummu Salamah, kendati sebagian mengatakan bahwa hal itu terjadi di rumah istri lain Nabi saw. Dan hal ini tidak hanya sebagai bukti kelemahan, bahkan ia menjadi saksi-saksi dan indikasi lain bahwa ada orang lain, seperti Aisyah dan Zaenab yang juga menjadi saksi peristiwa ini, meskipun dimana terjadinya peristiwa ini di rumah Ummu Salamah, sebagai bukti dan tanda akan pribadi dan maqam wanita mulia tersebut.[12]
Bahkan sebagian menganggap lebih kuat pandangan yang menyatakan bahwa kemungkinan peristiwa itu terjadi di rumah Fatimah As.[13] Sebagian ahli hadis memberikan kemungkinan akan berulang-ulangnya peristiwa ini dimana pandangan ini tidak begitu dianggap sahih dan valid[14] dan dapat dikatakan: Pokok peristiwa ini terjadi di rumah Ummu Salamah dan ayat tathhir pun turun di sana, namun kemudian Rasulullah Saw mengulang-ulang kisah tersebut pada beberapa tempat sehingga hal itu menjadi sangat jelas dan menerangkan obyek luaran (misdaq) Ahlulbait As itu guna nantinya tidak ada lagi yang mencoba mengatakan bahwa istri-istri Nabi Saw itu adalah obyek luaran dari Ahlulbait itu atau mengatakan bahwa kisah tersebut merupakan perkara yang biasa-biasa saja,[15] atau pada peristiwa kisa, sekelompok dari keluarga dan pembantu serta sahabat khusus Nabi Saw, menjadi saksi dan melihat peristiwa kisa tersebut serta mereka menukilkannya, seperti: Imam Ali As, Imam Hasan As, Ummu Salamah, Aisyah, Zaenab binti Ummu Salamah, Tsauban (hamba yang dimerdekakan Rasulullah Saw), Watsilah bin Asqa’.[16] (dengan asumsi semua sanad hadist itu sahih).
Jadi bahwa setelah ayat tathhir turun di rumah Ummu Salamah, Rasulullah Saw memanggil Imam Ali As, Fatimah As, Imam Hasan As dan Imam Husein As ke dekatnya dan sebuah pakaian yang beliau gunakan itu dihamparkan serta diselimutkan di atas kepala mereka dan beliau Saw berdoa:”ya Allah, mereka ini adalah Ahlulbait-ku, hilangkanlah segala kotoran dari mereka serta sucikanlah diri mereka”, tak ada keraguan dan syubhat di kalangan ulama syi’ah dan secara yakin bahwa Ummu Salamah dan lain-lain kendati memiliki manzilah dan maqam, tapi ia tidak termasuk bagian dari Ahlulbait As dan juga tidak termasuk orang-orang yang berada di bawah kain kisa tersebut.[17]
2. Hadis Kisa riwayat dari Fatimah al-Zahra
Dari bagian pertama tulisan ini, ditarik sebuah kesimpulan seperti ini bahwa hadis kisa, sesuai dengan yang disepakati oleh Syi’ah dan Ahlusunnah, merupakan perkara yang pasti dan jelas dan tak ada sedikit pun keraguan dan syubhat pada sanad dan matan hadis. Namun hadis yang diberi nama “hadis Kisa” yang dinukil dari putri Rasulullah Saw dan pemimpin wanita dunia, Hadrat Fatimah As dicantumkan pada beberapa kitab. Misalnya pada kitab “Mafâtîh al-Jinân” –nya Muhaddits Qumi, dimana hadis ini dicantumkan di akhir kitab.[18] Namun dicantumkannya hadis ini dalam kitab “Mafâtîh al-Jinân” tidak menjadi dalil akan kesahihan dan kebenaran hadis ini di mata ulama Syi’ah, bahkan tidak pada Muhaddits Qumi.
Dari sini dapat dikatakan bahwa apa yang dikatakan “hadis kisa” yang dinukil dari Hadrat Fatimah As itu tidak bisa dianggap memiliki sanad yang valid dan tidak bisa dijadikan sandaran, karena:
A. Sebagaimana yang dikatakan oleh Muhaddits Qumi, mungkin orang pertama yang menukil hadis ini tanpa menyebutkan sanadnya adalah Syekh Tharihi dalam kitab “al Muntakhab”,[19] dimana ia adalah salah seorang ulama yang hidup pada abad 11 hijriyah dan selama 1000 tahun dan seterusnya tidak ada berita tentang hadis seperti ini. Sebagaimana Muhaddits Qumi mengisyarahkan hal ini. Beliau mengatakan:”sebuah hadis yang bentuknya seperti ini yang ada pada masa kami serta populer dengan sebutan “hadis kisa” , tidak ditemukan pada kitab-kitab hadis muktabar dan atau pokok-pokok hadis serta kumpulan-kumpulan hadis valid para ulama hadis manapun dan bisa kita anggap bahwa itu merupakan salah satu kekhususan kitab “al-Muntakhâb”.[20]
B. Kendati bahwa hadis kisa dalam kitab al-Muntakhâb disebutkan tanpa sanad, pada penukilan yang ada pada catatan pinggir kitab ‘Awalimul ‘Ulûm itu disebutkan dengan sanadnya,[21] ”Saya melihat dengan khat/tulisan Syaikh al-Jalil al-Sayyid Hasyim, dari Syaikh-nya al-Sayyid Majid al-Buhrani, dari..., dari Ali bin Ibrahim, dari bapak-nya Ibrahim bin Hasyim, dari Ahmad bin Muhammad bin Abi Nashrul Bazanthi, dari Qasim bin Yahya al-Jala al-Kufi, dari Jabir bin Abdullah al Anshari, dari Fatimah As binti Rasulullah Saw, berkata: Saya mendengar Fatimah As, sesungguhnya ia berkata: telah masuk kepada-ku Rasulullah Saw, lalu berkata: Assalaamu ‘alaiki yaa Fatimah As...”
C. Namun dengan asumsi bahwa Syaikh Abdullah bin Nurullah Buhrani menulis sanad ini pada catatan pinggir kitab ‘Awâlim al-‘Ulûm, dengan landasan dan barometer apa dia memastikan bahwa apa yang beliau saksikan itu adalah khat atau tulisan Sayid Hasyim Buhrani? Kedua bahwa sanadnya (dari sisi sebagian perawinya, seperti Qasim bin Yahya dan lain-lain) memiliki masalah dan tidak dianggap valid. Ketiga bahwa dengan ini Sayid Hasyim Buhrani, dalam dua kitanya yang bernama Tafsir al Burhân dan Ghâyat al-Marâm, punya perhatian khusus dalam mengumpulkan hadis-hadis (bukan pen-sahihan hadis) lalu mengapa ia tidak mencantumkan dalil-dalil hadis ini? Keempat bahwa para ulama besar hadis, seperti Kulaini, Syaikh Thusi, Syaikh Mufid dan lain-lain ada dalam silsilah sanad hadis tersebut, namun tak ada seorang pun dari mereka menyebutkan hadis ini dalam kitab-kitabnya!
D. Tak ada satu pun dari sumber-sumber hadis Ahlusunnah dan Syi’ah seperti kitab “Bihâr al-Anwâr” dan lain-lain, yang menukil hadis dan menyebutkan hadis ini.
E. Dengan memperhatikan pandangan Muhaddits Qumi tentang hadis ini dalam Muntahâ al-A^mâl, dari satu sisi dan ucapannya pada mukaddimah lampiran-lampiran Mafâtih al-Jinân dimana ia merasa khawatir akan bertambah dan berkurangnya sebagian ziarah dan doa dalam kitabnya, dan kedudukan dan maqam yang dimiliki kitab ini di tengah-tengah umat manusia, dari sisi lain, dan pengumpulan materi-materi dan permasalahan-permasalahan yang telah dijelaskan sebelumnya, mungkin dapat dikatakan bahwa hadis kisa dengan tema “hadis kisa dengan sanad sahih dari kitab ‘Awâlim al-‘Ulûm” adalah merupakan tambahan-tambahan yang dilakukan pasca wafatnya (Muhaddits Qumi) ke dalam kitab Mafâtih al-Jinân, atau lain-lainnya.[22]
Kesimpulannya, hadis yang ada adalam beberapa kitab yang dinisbahkan kepada Fatimah As, tidak dapat dianggap muktabar dan valid, lebih khususnya lagi matan hadis tersebut berbeda dengan matan hadis-hadis yang dianggap muktabar dan valid.
Adapun terkait dengan keanehan ungkapan-ungkapan dan subjek-subjek matan hadis, dapat dikatakan bahwa dengan menutup mata dari sebagian poin-poin dan catatan, apa yang ada dan disebutkan dalam hadis ini tentang maqam Ahlulbait As, juga telah dijelaskan dalam riwayat-riwayat (Ahlusunnah dan Syi’ah) dan bahkan dalam ayat-ayat Al-Qur’an.
Maqam nurani dan Ilahi mereka merupakan maqam-maqam menjulang yang dapat ditelusuri dengan merujuk kitab-kitab hadis dan riwayat.[23] Di sini kita hanya akan mencukupkan diri dengan menyebutkan sebagian dari sebuah riwayat dimana dikenal dengan sebutan “hadis ma’rifatii binnuuraaniyah” dari Imam Ali As.
Abu Dzar al-Giffari bertanya kepada Salman al-Farisi (semoga Allah Swt meridhai keduanya): Qahai Abu Abdillah (panggilan Salman) apa maksud dari makrifat Imam Ali As terhadap nuraniyat? Salman berkata: Wahai Jundab (nama Abu Dzar) mari kita pergi untuk menanyakan langsung hal ini kepadanya (Imam Ali As). Lalu kami pun tiba di rumah Imam Ali As, namun beliau tidak ada. Abu Dzar berkata: Kita tunggu saja beliau sampai datang. Imam Ali As datang dan bertanya: Ada urusan apa sehingga kalian datang ke sini? Abu Dzar dan Salman berkata: Wahai Baginda, kami datang kepada Anda untuk menanyakan tentang makrifat Anda terhadap nuraniyat, Imam Ali As berkata: Sungguh luar biasa kalian berdua ini adalah sahabat yang siap berkorban untuk agama kalian dimana kalian tidak pernah mengabaikan...makrifatku terhadap nuraniyat adalah makrifat Allah Swt dan itu adalah agama ketulusan dan suci dimana..., barangsiapa menegakkan wilayah-ku maka ia telah menegakkan shalat,...janganlah kalian memposisikan kami sebagai tuhan-tuhan dan selain itu kalian boleh mengungkapkan keutamaan kami sekehendak kalian. Kalian tidak akan pernah sampai ke puncak hakikat yang ada pada kami,...akulah washi terakhir, akulah “Shirathal Mustaqim”, akulah “Nabaun ‘Azhim...”...[24] []
Catatan Kaki:
[1]. Penulis buku ini adalah Syekh Fakhruddin, Muhammad bin Ali bin Ahmad, popular dengan sebutan “Syekh Tharihi”. Lahir di Najaf dan wafat pada tahun 1085 H.
[2]. Kitab ini, yang nama lengkapnya adalah ‘Awâlimul ‘Ulûm wal Ma’ârif wal Ahwâl minal A^yâti wal Akhbâri wal Aqwâali disusun oleh ulama hadits, Syekh Abdullah bin Nurullah Buhrani (ulama yang hidup pada abad 12).
[3]. Penyusun kitab Muntahâ al-A^mâl, fi Ahwâlât al-Nabi wal A^li” adalah almarhum Haji Syekh Abbas Qumi, yang wafat pada tahun 1359 H. Dan beliau adalah salah seorang ulama besar hadits Syi’ah.
[4] .Syekh Abbas Qumi, Mafâtihul Jinân, bagian akhir, hadits kisa yang dinukil dari Jabir bin Abdullah Anshari.
[5] .Qs. al-Ahzab (33):33.
[6] .Allamah Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 22, hal 245, 246, 494, 495, hadits 40.
[7] .Tafsir-tafsir tentang surat al Ahzab ayat 33, seperti: al Mizan, jil. 6, hal 309-329; Muhammad Ali Muwahhid Abthahi, ayatuttathhir fii ahaadiitsil fariqaini; tafsir al Burhan, jil. 3, hal 309-329; Ihqaaqul haq, jil. 2, hal 502-573, jil. 3, hal 513-531 dan lain-lain; Fadhâil al-Khamsah minashshihâhi al-sittah, jil. 1, hal 224-243; Bihâr al-Anwâr, jil. 22, hal 245-246 dan jil. 35, hal 206-237; Ta’wilul A^yâati al-Zhâhirah, jil. 2, hal 457-459; Sayid Hasyim Buhrani, Ghâyat al-Marâm; Muhammad bin Hasan Hurra Amili, Itsbâtul Hudâti; Asad Haidar, al-Imâm Shâdiq wa Madzâhibul Arba’ah; Syawâhidu al-Tanziil, jil. 2, hal 5-140; Sunan Turmuzi; Sulaiman bin Ibrahim Qunduzi, Yanâbî’ al-Mawaddah; Suyuthi, Durr al-Mantsûr; Musnad Ahmad, jil. 6, hal 298; Mir Hamid Husein, ‘Abaqât al-Anwâr; Ali bin Muhammad bin Ahmad al Maliki, Fushul al-Muhimmah fii ma’rifati Ahwâlil Aimmah; Ibrahim Amini, Barresi-e Masâil-e kulli-e Imâmat, hal 174-196. Sayid Ja’far Murtadha Amili, Ahl-e Bait dar Ayat-e Tathhir; Muhammad Rei Syahri, Ahlulbait fil Kitâb wassunnah, hal 35-71.
[8]. Sayid Ali Mahdi Abthahi, Ayatuttathhir fii Ahâdiitsil Fariqaîni (ayat tathhir dalam hadits-hadits syi’ah dan sunni).
[9] .Muhammad Husein Thabathabai, al-Mizân, jil. 16, hal 311.
[10] . Ahl-e Bait dar Ayat-e Tathhir, hal 27.
[11] .ibid; Bihâr al-Anwâr, jil. 35, hal 236; Ibrahim Amini, Barrasi-e Masâil-e kulli-e Imâmat, hal 178-180; Sayid Hasyim Buhrani, Ghâyat al-Marâm; Mir Hamid Husein, ‘Abaqât al-Anwâar; Jalaluddin Suyuthi, Durr al-Mantsûr; Muhammad bin ‘Isa surah Turmuzi, Sunan Turmuzi, Ahmad bin Abdullah Thabari, Dzakhâirul ‘uqbâ Ahmad bin Hajar Haitsami, Al-Shawâ’iq al-Muhriqah; dan lain-lain...
[12] .Abdullah Jawadi Amuli, Tajalliy-e Wilâyat dar ayat-e Tathhir, hal 90 dan 91; Barrasi-e Masâil-e kulli-e Imâmat, hal 179-180.
[13] .Abdullah Jawadi Amuli, Tajalliy-e Wilâyat dar Ayat-e Tathhir, hal 92.
[14] Muhammad Rei Syahri, Ahlulbait fil Kitâb wa al-sunnah, hal 39; Abdullah Jawadi Amuli, Tajalliy-e Wilâyat dar ayat-e Tathhir, hal 91-92.
[15] . Barrasi-e Masâil-e kulli-e Imâmat, hal 179-180.
[16] .Ibrahim Amini, Barrasi-e Masâil-e kulli-e Imâmat, hal 171-179; Abdullah Jawadi Amuli, Tajalliy-e Wilâyat dar Ayat-e Tathhir, hal 91; Syarif al Murtadha, Abul Qasim Ali bin al Husein al Musawi, al-Fushû al-mukhtarah minal ‘uyuun wal mahâsin, hal 53-54.
[17] .Yanâbi’ul Mawaddah, hal 125; Jâmi’ al-Ushûl, jil. 10, hal 101; Dzakhâir al-‘Uqbâ, hal 21; Durr al Mantsûr, jil. 5, hal 198; Syawâahidu al-Tanziil, jil. 2, hal 65-140; Bihâr al-Anwâar, jil. 35, hal 222; Majma’ al-Bayân, jil. 8, hal 357; Musnad Ahmad, jil. 6, hal 292 dan 404.
[18] .Mafâtih al-Jinân, bagian akhir, hadis kisa.
[19] .Muntah al-A^mâl, jil. 1, hal 527, dinukil dari kitab Ahlulbait fil Kitâb wa al-Sunnah, hal 39 dan 40.
[20] Ibid.
[21] .’Awâlim al-‘Ulûm, jil. 2, hal 930, (dinukil dari Ahlulbait fil Kitâb wa al-Sunnah, hal 41; Tajalliy-e Wilâyat dar Ayat-e Tathhir, hal 92).
[22] . Ahlulbait fil Kitâb wa al-Sunnah, hal 42-43.
[23] .Hakim Huskani, Syawâhid al-Tanzîl, jil. 1 dan 2; Qunduzi Hanafi, Yanâbi’ul Mawaddah; al-Ghadiir, jil. 6, hal 79-81; Ushul al-Kâfi, jil.1, kitabul hujjah; Bihâr al-Anwâr, jil. 26-35, khususnya jil. 26 dan 40; Hurr al- Amili, Itsbâtul Hudât; Sayid Hasyim Buhrani, Ghâyat al-Marâm; Ziyârat-e Jami’ah wa Syuruh-e A^n; Tuhaf ul-‘Uqûul; Mirâ'tul ‘Uqûl; A^mali Shadûq; Ali Huseini Astarabadi, Ta’wilul A^yâati al-Zhâhirah; Mir Hamid Husein Hindi, ‘Abaqâtul Anwâr, dan lain-lain.
[24] . Bihâr al-Anwâr, jil. 26, hal 1, hadits nurani ini membutuhkan penelaahan mendalam dan penjelasan lebih.