Naa Lho.. Hadis Palsu dan Lemah dalam Shahih Bukhari
  • Judul: Naa Lho.. Hadis Palsu dan Lemah dalam Shahih Bukhari
  • sang penulis:
  • Sumber:
  • Tanggal Rilis: 18:37:52 1-9-1403




”Telitilah kembali setiap hadis yang dinisbatkan pada Rasulullah SAW. Jangan asal riwayat Bukhari, lalu dikatakan sahih.”

Sebagian besar umat Islam di seluruh dunia, yakin dan percaya bahwa kitab hadis Jami’ al-Shahih karya Imam Bukhari adalah sebuah kitab yang berisi kumpulan hadis-hadis paling sahih. Karena keyakinan itu pula, sebagian besar ulama pun turut meyakini dan menempatkannya pada urutan pertama kitab hadis sahih.

Benarkah demikian? ”Tidak semua hadis yang terdapat dalam kitab Jami’ al-Shahih karya Imam Bukhari itu benar-benar sahih. Terdapat beberapa hadis yang termasuk kategori lemah dan palsu,” kata Prof Dr H Muhibbin MAg, guru besar dan pembantu Rektor I IAIN Walisongo, Semarang.

Menurutnya, berdasarkan penelitian yang dilakukannya (hasilnya penelitian Muhibbin ini sudah dibukukan–Red), terdapat hadis yang bertentangan dengan Alquran maupun antarhadis di dalam kitab tersebut.

”Hadis palsunya bermacam-macam. Ada yang karena tidak sesuai atau bertentangan dengan Alquran, namun ada pula yang tidak sesuai dengan kondisi kekinian,” terang mantan dekan Fakultas Syariah IAIN Walisongo ini.

Kepada Syahruddin El-Fikri, wartawan Republika, Muhibbin mengungkapkan berbagai kelemahan hadis yang terdapat dalam kitab Jami’ al-Shahih tersebut. Berikut petikannya.

Benarkah hadis-hadis yang terdapat dalam kitab Jami’ al-Shahih karya Imam Bukhari itu semuanya masuk kategori hadis sahih?

Tidak. Tidak semua hadis yang terdapat dalam kitab itu masuk dalam kategori sahih. Terdapat beberapa hadis palsu dan lemah (dlaif). Saya sudah mengungkapkan hal ini dalam disertasi doktoral saya yang sekarang sudah dibukukan.
Perlu diketahui, sebelumnya pengungkapan hadis palsu dan lemah dalam karya Imam Bukhari itu juga sudah pernah diungkapkan para pemikir dan peneliti hadis lainnya. Misalnya, Fazlurrahman (1919-1988 M), Abu Hasan al-Daruquthni (306-385 H), al-Sarkhasi (w 493 H/1098 M), Muhammad Abduh (1849-1905 M), Muhammad Rasyid Ridla (1865-1935 M), Ahmad Amin (w 1373 H/1945 M), dan Muhammad Ghazali (w 1416 H/1996 M).

Bisa dicontohkan, beberapa hadis palsu yang Anda temukan dalam kitab tersebut?

Misalnya, hadis palsu yang terdapat dalam kitab itu, setelah diteliti, ternyata ada yang tidak sesuai dengan fakta sejarah. Misalnya, tentang Isra Mi’raj. Di dalam kitab itu, disebutkan bahwa terjadinya Isra Mi’raj itu sebelum jadi Nabi. Faktanya, Isra Mi’raj itu setelah Rasulullah diutus menjadi Nabi.
Kemudian, ada pula hadis Nabi yang bertentangan dengan ayat Alquran. Contohnya, tentang seseorang yang meninggal dunia akan disiksa bila si mayit ditangisi oleh ahli warisnya. (Lihat Kitab Jenazah, bab ke-32, hadis ke 648/I–Red).
Ini kan bertentangan dengan ayat Alquran, bahwa seseorang itu tidak akan memikul dosa orang lain. (Lihat ayat Alquran surah al-Fathir ayat 18, Al-An’am ayat 164, Az-Zumar ayat 7, Al-Isra ayat 15, dan An-najm ayat 38–Red).
Dan, masih banyak lagi hadis yang bertentangan atau tidak sesuai dengan ayat Alquran maupun hadis Nabi SAW.

Apa kriterianya sehingga ungkapan itu dikatakan benar-benar hadis Nabi, padahal menurut Anda, itu bukan hadis sahih?

Dalam penelitian yang kami lakukan, ada beberapa kriteria dalam menilai sebuah hadis itu dikatakan sahih atau tidak, mutawatir atau tidak, ahad, atau lainnya.
Dalam kitab Bukhari, beliau sendiri tidak memberikan keterangan perinci mengenai kriteria kesahihan hadis. Bukhari hanya mengatakan bahwa semua hadis yang ditulisnya dalam al-Jami’ al-Shahih itu sebagai hadis, dari seleksi sekitar 300 ribu hadis. Dan, satu-satunya yang dapat ditemukan dari Al-Bukhari adalah kriteria keharusan adanya pertemuan (al-Liqa`) antara satu perawi dengan perawi terdekatnya.
Menurut beberapa ahli hadis, seperti al-Naysaburi (w 405 H/1014 M), al-Maqdisi (w 507 H), al-Hazimi (w 584 H), dan lainnya, kriteria hadis sahih yang dipakai Bukhari adalah kesahihah yang disepakati, diriwayatkan oleh orang yang masyhur sebagai perawi hadis dan minimal dua orang perawi di kalangan sahabat yang tsiqah (adil dan kuat hafalan), serta lainnya.
Padahal, para ulama hadis lainnya menyusun sejumlah kriteria dalam menilai hadis sebuah dapat dikatakan sahih dan tidak, mulai dari segi sanad (tersambungnya para perawi hadis), matan (isi hadis), serta kualitas dan kuantitas para perawi hadis. Bagaimana tingkat hafalannya, keadilannya, suka berbohong atau tidak, dan lain sebagainya.
Karena itu, kami menilai, kriteria yang dirumuskan oleh al-Bukhari mengandung beberapa kelemahan, terutama bila diverifikasi terhadap kitab al-Jami’ al-Shahih itu sendiri.

Apa saja kelemahannya?

Kelemahan itu, antara lain, tentang minimal jumlah perawi hadis yang harus meriwayatkan hadis. Di dalam kitab tersebut, ditemukan cukup banyak hadis yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi.
Begitu juga, dalam hal persambungan sanad hadis juga terdapat kelemahan. Di antaranya, seperti diakui sendiri oleh al-Bukhari, di dalamnya ada hadis yang muallaq, mursal, bahkan munqathi` (terputus).
Juga, ada perawi hadis yang tidak tsiqah, bahkan dituduh majhul (tidak diketahui identitasnya), dianggap kadzab (berbohong), dan lainnya.

Bisa disebutkan beberapa contoh perawi hadis yang diketahui tidak tsiqah atau lemah dalam Shahih Bukhari itu?
Misalnya, Asbath Abu al-Yasa` al-Bashri. Ia tidak diketahui identitasnya atau majhul, dan menyalahi riwayat orang-orang tsiqah.
Lalu, ada Ismal bin Mujalad, seorang perawi yang dlaif (lemah) dan tidak termasuk orang yang kuat hafalannya.
Kemudian, ada Hisyam bin Hajir, Ahmad bin Yazid bin Ibrahim Abu al-Hasan al-Harani, dan Salamah bin Raja’ sebagai perawi dlaif. Begitu juga, dengan Ubay bin Abbas, dikenal sebagai perawi yang tidak kuat hafalannya dan munkir al-Hadits.

Selain kedua contoh hadis yang ditengarai palsu tadi, apalagi contoh hadis yang diduga palsu dalam kitab al-Jami’ al-Shahih tersebut?

Selain ada hadis yang bertentangan dengan Alquran maupun hadis Nabi sendiri dan tidak sesuai dengan fakta sejarah, juga diragukan hadis yang banyak mengungkapkan tentang masa depan. Misalnya, tentang ungkapan, ‘Alaikum Bi sunnati wa sunnati khulafa`ur rasyidin (Ikutlah kalian akan sunahku dan sunah khulafa`ur rasyidin). Bagaimana mungkin Rasulullah SAW mengucapkan hadis ini, padahal saat itu belum ada khulafa`ur rasyidin. Khalifah yang empat itu baru ada setelah Rasulullah SAW wafat.
Fathurrahman, seorang peneliti hadis mengungkapkan, dirinya tidak mau sama sekali menerima hadis-hadis Nabi Saw yang menyatakan tentang peristiwa masa depan. Istilahnya seperti ramalan.
Saya pribadi, masalah ini masa bisa diterima. Sebab, memang ada yang sesuai dan ada pula yang tidak.

Dalam penelitian Anda, ada berapa banyak hadis yang tidak sahih dalam jumlahnya?
Secara spesifik, saya tidak menyebutkan berapa jumlah hadis palsu atau lemah di dalam kitab tersebut. Namun, al-Daruquthni menyatakan, terdapat sekitar 110 hadis palsu di dalam kitab tersebut dari sejumlah 6.000-an hadis. Muhammad al-Ghazali menyebutkan lebih banyak lagi.
Beberapa di antara hadis yang kami nilai lemah dan palsu, yakni tentang hadis masalah poligami, tentang kehidupan dalam rumah tangga, tentang pernikahan. Misalnya, di dalam hadis riwayat Bukhari disebutkan, Rasulullah SAW menikahi Maimunah pada saat berihram.
Ini bertentangan dengan hadis Nabi sendiri yang melarang melakukan pernikahan selama masa haji atau berihram. Kemudian, pernyataan Rasulullah menikahi Maimunah pada waktu ihram itu juga bertentangan dengan hadis yang ditulis al-Bukhari di dalamnya kitabnya itu, yang menyatakan Rasulullah menikahi Maimunah ketika usai bertahalul.

Dari hasil penelitian Anda, bisa ditarik kesimpulan bahwa tidak semua hadis dalam Shahih Bukhari benar-benar sahih?

Ya. Tidak semuanya bisa dikatakan sahih. Sebab, Bukhari sendiri ada yang disebutkannya hadis mursal, hasan, dan lain sebagainya.
Ketidaklayakan disebut sebagai hadis sahih itu meliputi adanya pertentangan atau ketidaksesuaian dengan nas Alquran dan Sunnah Mutawatirah. Materi hadis bertentangan dengan keadaan dan Sirah Nabawiyah (sejarah hidup Nabi), bertentangan dengan fakta sejarah, adanya materi hadis yang mengandung prediksi atau ramalan dan bersifat politis, serta mengandung fanatisme kesukuan.

Lalu, bagaimana sikap umat untuk menggunakan hadis-hadis yang terdapat dalam Shahih Bukhari itu?

Saran saya, umat Islam hendaknya berhati-hati setiap akan menggunakan atau mengamalkan sebuah hadis Nabi. Sebab, sahih menurut perawi hadis A, belum tentu sahih menurut perawi hadis B. Demikian pula yang lainnya. Telitilah kembali sebelum menggunakan dan mengamalkannya.
Bagi para mubalig, kami menyarankan, hendaknya tidak asal mengutip hadis. Jangan selalu mengatakan bahwa itu hadis Nabi. Padahal, sesungguhnya bukan. Rasul menyatakan, barang siapa yang berbohong atas namaku maka tempatnya di neraka. Man Kadzdzaba alayya muta’ammidan fal yatabawwa’ maq’adahu minan nar.
Telitilah kembali hadis-hadis yang ada sebelum diamalkan. Sudah benarkah itu hadis Nabi SAW. Jangan asal termuat dalam Shahih Bukhari, lalu diklaim sahih. Tanyakan pada yang lebih paham tentang hadis.