Anak di Mata Nabi SAW (2)
  • Judul: Anak di Mata Nabi SAW (2)
  • sang penulis: Ust. Jalaludin Rahmat
  • Sumber:
  • Tanggal Rilis: 11:37:13 2-10-1403

MENDAPAT KASIH SAYANG

“Bukan termasuk umatku orang yang tidak menghormati yang tua dan tidak menyayangi yang kecil,” kata Nabi Muhammad Saw.

Nabi mengecam pemuka Arab yang tidak pernah mencium anaknya dan mengatakan bahwa cinta telah tercerabut dari jantungnya. Dia juga berkata, “Orang yang paling baik diantara kamu ialah orang yang paling penyayang terhadap keluarganya; dan aku adalah orang yang paling sayang kepada keluargaku.”

Kasih sayang tidak boleh disimpan saja didalam hati. Kasih sayang harus dikomunikasikan, karena itu Nabi mengungkapkan kasih sayangnya tidak saja secara verbal (dengan kata-kata), tetapi juga dengan perbuatan. Ketika dia berkhutbah, dia melihat Hasan dan Husayn berlari dengan pakaian yang menarik perhatian. Dia turun dari mimbarnya, mengangkat mereka, dan meneruskan khutbah dengan kedua anak itu dalam pangkuannya. Dia berkata, “Mereka adalah penghulu para remaja di surga.” Ketika bersujud, dia memanjangkan sujudnya hanya karena tidak ingin mengganggu Hasan dan Husayn  yang berada di atas punggungnya.

Pada suatu hari Umar menemukan Nabi merangkak di atas tanah, sementara dua orang anak kecil berada di atas punggungnya, Umar berkata, “Hai anak, alangkah indahnya tungganganmu itu.” Yang ditunggangi menjawab, “Alangkah indahnya para penunggangnya!” Suasana seperti ini menunjukkan keakraban Nabi dengan cucu-cucunya. Dia mencintai mereka dan dengan jelas mengungkapkan kecintaan itu.

Ketika Mu’awiyah berlaku kasar terhadap anaknya, Al-Ahnaf memberikan nasehat kepadanya, “Wahai Amirul Mukminin, anak-anak itu buah hati kita, tonggak kehidupan kita. Kita langit yang melindungi mereka dan bumi tempat mereka berpijak. Jika mereka marah, senangilah mereka. Jika mereka meminta sesuatu, berilah. Jangan memperlakukan mereka dengan kasar; nanti mereka menghindari keberadaanmu dan mengharapkan kematianmu.”

Banyak diantara kita secara fitri menyayangi anak-anak kita, tetapi sering kali kasih sayang itu tersembunyi. Anak-anak baru mengenal kecintaan orang tua mereka justru ketika orang tua itu sudah meninggal dunia.  Seringkali kita tidak mampu mengkomunikasikan kecintaan kita. Untuk pertumbuhan kejiwaan mereka yang sehat, mereka memerlukan siraman cinta orang tua mereka.

Apa yang terjadi bila anak kekurangan atau tidak pernah merasakan kasih sayang orang tuanya? Sebelum menjawab petanyaan itu secara psikologis dan sebelum kita menghayati perintah Islam untuk mengungkapkan kasih sayang ini, marilah kita simak puisi:

Anak-Anak Belajar Dari Kehidupannya
Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki
Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi
Jika anak dibesarkan dengan cemohan, ia belajar rendah diri
Jika anak dibesarkan dengan hinaan, ia belajar menyesali diri
Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri
Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri
Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai
Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baiknya perlakuan, ia belajar keadilan
Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, ia belajar menaruh kepercayaan
Jika anak dibesarkan  dengan dukungan, ia belajar menyenangi dirinya
Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan.

“Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan; ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan.”

Nabi Muhammad saw, ketika ditegur orang mengapa mencium putranya, berkata: “Man la yarham la yurham (siapa yang tak menyayangi, ia tak akan disayangi).” Bila orang tua gagal mengungkapkan rasa sayang kepada anak-anaknya, mereka tak akan mampu mencintai orang tua mereka. Dalam pergaulan sosial, mereka pun tak akan mampu mencintai atau menyayangi orang lain.

Ada seorang mencoba membuat penelitian dengan memisahkan anak-anak monyet dari ibunya. Kemudian, dia mengamati pertumbuhannya. Monyet-monyet itu ternyata menunjukkan perilaku yang mengenaskan; selalu ketakutan, tidak dapat menyesuaikan diri, dan rentan terhadap berbagai penyakit. Setelah monyet-monyet itu besar dan melahirkan bayi lagi, mereka menjadi ibu-ibu yang galak dan berbahaya. Mereka acuh tak acuh kepada anak-anaknya, dan seringkali melukai mereka.

Para psikolog menyebut situasi tanpa ibu itu sebagai “maternal deprivation”. Tentu saja kita tidak dapat melakukan eksperimen yang sama kepada manusia. Tetapi para peneliti menemukan gejala yang sama pada perilaku anak-anak manusia yang mengalami maternal deprivation pada awal kehidupan mereka.

Pada manusia, pemisahan anak dari orang tua itu dapat secara fisik (misalnya, karena perceraian atau orang tuanya meninggal) dan dapat juga secara psikologis (yakni, ia tidak terpisah dari orang tuanya secara fisik, tetapi ia tidak mendapat kasih sayang yang memadai). Yang kedua biasanya disebut sebagai “deprivasi terselubung.” Deprivasi terselubung ini dapat terjadi, misalnya, kedua orang tua (ayah dan ibu) bekerja dan pulang pada sore hari dalam keadaan lelah. Mereka tak sempat bercanda dengan anak-anak mereka, atau berkumpul mengobrol dengan hangat, atau memeluk dan mencium mereka dalam keakraban. Anak-anak yang mengalami deprivasi ternyata cenderung menderita kecemasan, rasa tidak tenteram, rendah diri, kesepian, agresivitas, cenderung melawan orang tua, dan pertumbuhan kepribadian yang lambat.

Kekurangan kasih sayang menghambat aktualisasi potensi kecerdasan yang dimilikinya, sehingga anak menjadi sukar belajar. Seperti juga pada monyet (yang secara biologis satu keluarga dengan kita), anak-anak yang kekurangan kasih sayang cenderung berkembang menjadi bapak atau ibu yang tidak mampu menyayangi anak-anaknya.

Seorang psikologi menyebut kekurangan kasih sayang sebagai penyakit menular. Karena itu, Islam sebagai agama yang membawa misi “Rahmatan Lil ‘Alamin” (menyebarkan kasih sayang ke seluruh alam), mewajibkan orang tua untuk mengekspresikan kasih sayang mereka kepada keluarganya.

“Orang yang paling baik diantara kamu ialah yang paling penyayang kepada keluarganya,” kata Rasulillah Saw, sekali lagi. Dalam al-Quran memelihara kasih sayang dalam keluarga adalah perintah kedua setelah takwa; “Bertaqwalah kamu kepada Allah, tempat kamu saling bermohon, dan peliharalah kasih sayang dalam keluarga.” (QS.4:1)

Kasih sayang adalah hak anak yang harus dipenuhi oleh orang tuanya. Mengkomunikasikan kasih sayang kepada anak-anak kita itu perlu. Pikiran seorang anak, demikian pula fisiknya, memerlukan bantuan untuk pertumbuhannya. Ada tiga macam “makanan” yang penting untuk pertumbuhan pikirannya yaitu bahasa, bermain, dan kasih sayang.

Sejak bulan pertama kehidupannya, seorang anak perlu diajak bercakap-cakap, didekap, dan diasuh dengan penuh kasih sayang, diberi senyuman, didengarkan dan dirangsang untuk memberikan reaksi dengan bunyi-bunyian atau gerakan.

Mereka perlu sentuhan, teman bicara, teman tertawa, memberikan respon dan menerima respon. Kurangnya perhatian akan membuat mereka tidak bahagia. Anak yang kurang perhatian akan kehilangan semangat hidup, kehilangan selera makan, sehingga pikiran dan badannya tidak tumbuh dengan baik.

Anak-anak belajar dengan melakukan banyak hal. Dengan demikian dalam masa pertumbuhannya, mereka perlu kebebasan untuk mencari dan bermain. Bermain-main bukanlah kegiatan yang tidak berarti, tetapi sangat penting untuk pertumbuhan anak dan dapat membantu mengembangkan mental, sosial, dan keterampilan fisiknya, termasuk berbicara dan berjalan. Bermain dapat merangsang rasa ingin tahu, kecakapan, serta percaya diri seorang anak. Bermain juga merupakan landasan sebagai dasar untuk mampu melakukan pekerjaan sekolahnya, mempelajari beberapa keterampilan yang perlu untuk kehidupannya di kemudian hari.

Bermain tidak selalu berarti menyelesaikan masalah atau mencapai apa yang direncanakan oleh orang tua. Permainan anak-anak itu sendiri sangatlah penting. Merangsang anak-anak bermain dengan menyediakan barang-barang dan bermacam ide serta bahan adalah cara yang baik untuk membesarkan anak.

Alat permainan tidak selalu harus mahal. Dus-dus kosong atau alat rumah tangga sama manfaatnya dengan mainan-mainan yang mahal. Permainan yang imajinatif, misalnya, yang dapat berperan sebagai orang tua, sangatlah baik untuk perkembangan anak.

Anak perlu bantuan untuk mengembangkan daya cipta, mereka perlu tantangan untuk dapat memecahkan masalah dan memutuskan apa yang terbaik. Anak perlu menyatakan keinginannya dan keputusannya dan melihat apa yang akan terjadi.

Bernyanyi dan belajar irama menggambar, membaca cerita dengan suara keras dapat membantu perkembangan pikiran anak dan mempersiapkan anak untuk belajar menulis dan membaca. “Agar dapat tumbuh sehat, semua anak harus diberi pujian dan sanjungan atas semua hasil karyanya.”

Ketika Rasulullah menggelari putrinya “Ummu Abiha” (ibu yang merawat ayahnya), dia memberikan sanjungan atas perkhidmatan Fathimah.

Ketika Nabi bermain dengan Hasan dan Husayn, dia sedang memberikan contoh permainan yang imajinatif. Ketika dia memeluk Hasan dan Husayn sambil berkata “Ya Allah, aku mencintai mereka,” dan ketika ia mencium Fathimah seraya berkata, “Bila aku merindukan bau surga, aku mencium Fathimah,” dia sedang mengkomunikasikan kasih sayangnya.

Lima belas abad sesudah itu, banyak orang membenarkan Sunnah Rasulullah itu. Semua orang dapat didukung untuk: melakukan apa saja, dan tidak terkecuali anak-anak. Secara istilah, tindakan mendukung itu adalah kata halus dari peneguhan positif.

Peneguhan yang paling berarti untuk manusia, terutama anak-anak, adalah peneguh sosial. Hal ini biasanya berbentuk pujian atau boleh juga apa saja yang mengungkapkan perhatian, senyuman, lirikan, pelukan, kecupan, dekapan, perhatian yang mendalam, dan mendengarkan yang baik.

Masalah utama orang tua ialah ketika mereka harus bergaul dengan anak-anaknya pada saat mereka kurang menyukainya. Tetapi seperti kata orang “itulah kehidupan.” Bila ayah pulang larut malam, ia lelah. Bila ibupun pulang, ia kecapaian. Dan mereka harus melakukan banyak hal, bekerja sebagai panitia, menjalankan fungsi sosial, dan lain-lain.

Lalu apa yang sebaiknya mereka lakukan?

“Manfatkanlah waktu yang ada, Pertama, janganlah mempunyai anak bila anda tidak punya waktu untuk mereka. Kedua, jika anda punya waktu, perhatikanlah waktu itu dengan serius. Inilah waktu   untuk saling memahami, untuk mendukung perilaku kecil yang anda setujui dari tingkah laku anak-anak anda. Jauh lebih baik lagi bila anda memberikan dukungan itu segera ketika hal-hal kecil itu terjadi.

PENUTUP

Kita baru saja menunjukkan dua hak anak terhadap orang tuanya; pemberian nama yang baik dan kasih sayang. Dari hadits-hadits Nabi, kita tahu bahwa anak juga berhak mendapat makanan, pakaian, olah raga yang membantu pertumbuhan fisiknya, pendidikan yang baik untuk membantu perekonomian jiwanya, dan bimbingan agama untuk menyucikan ruhaninya. Tidak cukup ruang untuk membicarakan semua hak itu disini.

Cukuplah kita mengunci tulisan ini dengan ucapan Ali bin Abi Thalib : “Wahai manusia, seseorang tidak dapat melepaskan dirinya dari anak-anaknya, walaupun ia mempunyai kekayaan. Ia harus membela mereka dengan tangan dan lidahnya. Merekalah yang paling penting untuk diperhatikan dan paling utama untuk didukung, dan paling patut disayangi ketika musibah menimpa mereka ....

.... Janganlah orang berpaling dari keluarganya yang harus ia lepaskan dari kesusahannya dengan sesuatu yang tidak akan menambahnya jika ia menahannya, tidak akan menguranginya jika ia memberikannya. Jika kamu menahan tanganmu dari anak-anakmu, mereka hanya kehilangan satu tangan, tetapi kamu kehilangan tangan yang banyak. Siapa yang dicintai keluarganya ia akan dicintai kaumnya.”  (Nahj Al-Balaghah, Khutbah ke-23)  []

Wallahu a’lam!

Wassalam...