Kebahagiaan rumah tangga tidak terjadi secara kebetulan
  • Judul: Kebahagiaan rumah tangga tidak terjadi secara kebetulan
  • sang penulis: Emi Nur Hayati Ma’sum Said
  • Sumber:
  • Tanggal Rilis: 6:14:57 2-10-1403


Oleh: Emi Nur Hayati Ma’sum Said

Rumah dan Keluarga

Keindahan rumah dalam kebersihan

Kebahagiaan rumah dalam ibadah

Kekayaan rumah dalam keceriaan

Kemuliaan rumah dalam keakraban

Kehangatan rumah dalam cinta (Hakim Ilahi Qumshe’i)

Setiap manusia mendambakan kehidupan yang tenang dan tenteram. Ajaran Islam adalah ajaran yang sesuai dengan fitrah manusia. Islam menyediakan wadah bagi umatnya untuk mencapai ketenangan dan ketenteraman, sembari memberikan resep dan teladan dengan wujud utusan-utusannya yaitu Nabi Muhammad saw dan Ahul Baitnya as. Wadah itu dalam bentuk keluarga (baca: rumah tangga).

Mengingat rumah tangga adalah bagian terkecil dari kehidupan sosial, maka ia adalah penentu keselamatan dan kesehatan kehidupan masyarakat. Rumah tangga yang baik akan menghasilkan masyarakat yang baik. Rumah tangga yang porak-poranda akan menghasilkan masyarakat yang porak-poranda juga. Oleh karenanya, masing-masing anggota keluarga memiliki peran penting dalam mewujudkan kesehatan jiwa sesamanya terutama suami/istri terhadap pasangan hidupnya, ayah dan ibu terhadap anak-anaknya. Tentunya sebelum suami/istri menyediakan sarana kesehatan jiwa buat pasangan hidup dan anak-anaknya, ia sendiri mampu membuktikan bahwa dirinya memiliki jiwa yang sehat.

Seseorang dikatakan memiliki jiwa yang sehat, bila ia mampu berkomunikasi secara baik dengan sesamanya. Seseorang dikatakan berjiwa sehat, bila anggota keluarga, tetangga, masyarakat umum merasa tenang dengan keberadaan dan perilakunya, orang lain tidak tersiksa dengan ucapan dan amal perbuatannya.

Pengaruh kesehatan jiwa tidak hanya terbatas pada kehidupan duniawi saja, tapi juga sangat menentukan kehidupan ukhrawi seseorang. Oleh karena itu dalam hadis Nabi Muhammad saw dikatakan: “Orang yang ditakuti karena mulutnya adalah penghuni neraka”.[1]

Orang lain takut bukan karena wibawa dan kehormatannya, tapi takut karena jangan sampai terkena bisa mulutnya. Tentu saja orang yang berwibawa bukan ditakuti, tapi disegani. Sementara orang yang mulutnya bagaikan bisa ular dijauhi masyarakat sekitarnya karena sengatan kata-katanya yang menyakitkan hati sesamanya; orang semacam ini tidak memiliki kesehatan jiwa.

Korban pertama orang yang tidak memiliki kesehatan jiwa adalah pasangan hidup dan anak-anaknya, kemudian tetangga dan masyarakat lainnya.

Dalam tulisan ini penulis ingin mengkaji bagaimana seseorang bisa mencapai kebahagiaan rumah tangga. Apakah kebahagiaan bisa didapatkan secara tiba-tiba atau perlu adanya usaha untuk itu? Setiap orang baik pasti mendambakan calon pasangan hidup yang baik yang bisa membawanya menuju kesempurnaan. Namun, kesempurnaan di sini kembali kepada masing-masing pribadi. Adakalanya mencari pasangan hidup yang baik untuk mencapai kesempurnaan materi. Adakalanya untuk mencapai kesempurnaan maknawi.

Bila dalam al-Quran dikatakan bahwa “Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula)”, [2] bukan berarti bahwa setiap suami atau istri yang baik, pasti istri atau suaminya juga baik dan masuk surga. Karena Nabi Nuh dan Nabi Luth as termasuk orang-orang yang baik tetapi istri-istri mereka orang-orang yang jelek dan ahli neraka. Begitu pula Asiyah, wanita baik-baik, namun ia bersuamikan Fir’aun yang kafir dan mengaku sebagai tuhan.

Baik di sini adalah sifat yang “sesuai” yang dipergunakan untuk harta, anak, keturunan, makanan, suami atau istri, pohon, ucapan dan sebaginya. Sebaliknya, jelek juga sebuah sifat yang bisa digunakan untuk hal-hal tersebut. “Sesuai” di sini juga boleh jadi bermakna sepaham dan seide. Yakni secara alami manusia akan mencari orang-orang yang sepaham dan seide dengannya. Dan pada dasarnya orang-orang yang baik akan mencari orang-orang yang baik pula. Sebaliknya orang-orang yang jelek akan mencari orang-orang yang jelek pula.

Dalam Islam, perkawinan yang sukses adalah perkawinan yang didasari dengan modal spiritualitas. Sementara modal materi seperti kekayaan dan kecantikan dan lain-lain, ada pada urutan kedua.

Seorang laki-laki atau perempuan yang menjalin ikatan suci perkawinan, pada hakikatnya ia telah menerima seorang partner hidup bagi dirinya. Partner dalam agama dan keyakinannya, partner dalam harta kekayaan dan rahasia-rahasianya dan lain-lain.

Pertanyaannya di sini adalah apakah partner yang demikian ini bisa didapatkan tanpa adanya riset terlebih dahulu? Apakah hanya dengan dasar cinta saja pasangan suami istri akan mencapai kebahagiaan?!

Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah saw meminta saran tentang perkawinannya. Rasulullah saw bersabda: “Kawinlah, namun usahakan mendapat istri yang beragama agar kamu bahagia”.[3]

Ibrahim Karakhi salah seorang sahabat Imam Shadiq as. Ia sering menghadap Imam as dan menanyakan masalah-masalah kehidupannya kepada beliau. Suatu hari ia meminta pendapat Imam as: “Wahai putra Rasulullah! Saya ada rencana untuk kawin”. Imam Shadiq as berkata: “Telitilah! Pikirkan dan kajilah di mana kamu meletakkan dirimu? Siapakah yang kamu jadikan partner dalam hartamu? Siapakah yang kamu beri tahu tentang agama dan rahasiamu? Kalau memang kamu memutuskan untuk kawin, maka kawinlah dengan gadis yang berasal dari keluarga baik-baik dan terkenal berbudi pekerti yang baik. Ketahuilah bahwa sebagaimana penyair mengatakan, “Dalam penciptaannya wanita-wanita itu berbeda, sebagian mereka adalah kekayaan dan modal kebahagiaan, dan sebagian mereka adalah penyebab azab dan kesengsaraan. Sebagian mereka adalah bulan purnama yang terang, dan sebagian mereka adalah kegelapan. Barang siapa yang mendapat istri yang tepat dan layak, maka ia dijamin bahagia. Dan barang siapa yang salah memilih istri, maka kesengsaraannya tidak bisa diganti.[4]

Tanda-tanda istri yang baik yang disebutkan dalam riwayat banyak sekali di antaranya; sebaik-baik istri-istri kalian adalah:

1. Yang penuh kasih sayang.

2. Yang subur dan bisa memberikan keturunan.

3. Saleh dan terjaga kemuliaannya.

4. Terhormat di tengah-tengah keluarganya.

5. Tawadu di hadapan suaminya.

6. Merias dirinya dengan sebaik-baik riasan di hadapan suaminya.

7. Menutup dirinya dari pandangan laki-laki bukan muhrim.

8. Menaati suami dan menghargai ucapannya.[5]

Sebaik-baik wanita adalah wanita yang membuat suaminya senang saat memandangnya, dan menaati suaminya saat diperintah, dan menjaga kehormatan dan harta suaminya saat suaminya tidak ada di rumah. [6] Tentu saja menaati suami di sini adalah bila tidak bertentangan dengan syariat Islam.

Salah satu tugas istri adalah bersikap baik terhadap suaminya. Istri harus bersikap sedemikian rupa sehingga setiap saat suaminya masuk rumah, ia merasakan ketenangan. Dalam hadis dikatakan bahwa jihadnya perempuan adalah bersikap baik terhadap suaminya.

Kita bisa melihat bagaimana kehidupan rumah tangga Imam Ali bin Abi Thalib dengan Sayyidah Fathimah Zahra as. Rasulullah saw bertanya kepada Imam Ali keesokan harinya setelah Sayyidah Fathimah Zahra as dibawa ke rumahnya: “Bagaimana kamu mendapati Fathimah?” Imam Ali menjawab: “Dia adalah partner yang baik dalam ketaatan kepada Allah”.[7] Pada saat yang sama Sayyidah Fathimah adalah istri yang sabar menghadapi segala kekurangan dan tidak pernah mengeluh. Suatu pagi Imam Ali berkata kepada Sayyidah Fathimah Zahra: “Adakah sesuatu yang bisa kau berikan kepadaku untuk kumakan?” Sayyidah Fathimah menjawab: “Tidak ada, sudah dua hari kita tidak memiliki sesuatu, kecuali yang aku berikan kepadamu, dan aku lebih mengutamakanmu daripada anak-anakku”. Imam Ali berkata: “Mengapa kamu tidak meminta kepadaku sehingga aku sediakan sesuatu untukmu?”. Sayyidah Fathimah menjawab: “Aku malu kepada Tuhanku jika aku membebanimu dengan sesuatu di luar kemampuanmu”.[8] Imam Ali as berkata: “Demi Allah! Aku tidak pernah marah terhadap Zahra as sampai Allah mengambilnya kembali, dan dia juga tidak pernah marah terhadapku dan tidak pernah membuatku marah. Setiap saat aku memandang wajah Fathimah as, maka hilanglah semua kesedihanku”.

Imam Shadiq as bersabda: “Ada tiga hal yang harus diperhatikan oleh suami:[9]

Pertama, suami menyetujui istrinya (dalam masalah-masalah kehidupan duniawi). Karena hal ini akan membuat istrinya tertarik dan bertambah kadar kasih sayangnya, sehingga ia juga tidak bersikeras dengan kemauannya. Katakanlah sang istri suka warna hijau sementara suami suka warna kuning. Keduanya berencana memasang gorden rumah. Untuk menarik perhatian istri, suami bisa mengalah dan menyetujui kesukaan istri memasang gorden warna hijau, misalnya dengan mengatakan, “terserah kamu, kamu suka warna yang mana!” Atau sebaliknya, istri mengalah dan menyetujui keinginan suami. Bila masing-masing bersikeras mempertahankan kemauannya, maka rumah tidak akan bergorden.

Ada cerita pendek, suatu hari pasangan suami istri datang ke klinik untuk melaksanakan imunisasi bayinya yang belum lama lahir. Anak sampai usia seminggu belum diberi nama, karena masing-masing keduanya bersikeras mempertahankan nama yang dipilih untuk anak perempuannya. Setelah kelahiran anak, bukannya senang, malah ribut karena rebutan nama untuk anaknya.

Kedua, berakhlak baik terhadap istrinya. Bila karakter seorang laki-laki memang berakhlak mulia, maka mudah baginya berperilaku baik terhadap istrinya. Jika karakternya bukan berakhlak mulia, maka ia harus melatih dirinya berakhlak mulia agar terbiasa berakhlak mulia.

Begitu pula sebaliknya istri juga harus berakhlak mulia terhadap suaminya, baik di tempat khusus seperti rumah maupun di tempat umum. Suami atau istri yang tidak berakhlak mulia terhadap pasangan hidupnya di tempat umum, ia telah menjatuhkan kehormatan suaminya di hadapan orang lain. Dalam hal ini Imam Hasan as mengatakan: “Kawinkanlah anak perempuanmu dengan laki-laki yang bertakwa. Karena, jika ia mencintai anakmu, ia akan menghormatinya, dan kalau ia tidak mencintainya, maka ia tidak akan menzalimi anakmu”.[10]

Ketiga, menjaga kerapian pakaian, rambut dan penampilan untuk menarik perhatian istrinya. Karena istri sebagai manusia yang berperasaan, ia senang bila suaminya berpenampilan rapi.

Dalam riwayat Ahlul Bait as, laki-laki atau perempuan yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut bisa menjadi pasangan hidup yang baik:

1. Beragama.

2. Berbudi pekerti luhur.

3. Komitmen dengan hukum-hukum ilahi.

Rasulullah saw menyebutkan ciri-ciri seorang muslim yang baik sebagai berikut:

1. Bertakwa.

2. Saleh dan terjaga kemuliaannya.

3. Dilahirkan dari ayah dan ibu yang sehat.

4. Terhormat di tengah-tengah keluarganya.

5. Berprilaku baik terhadap kedua orang tuanya.

6. Tidak membuat istrinya butuh kepada orang lain.

Perkawinan berarti mengalungkan lingkaran hidup bersama. Sebelum memutuskan untuk kawin, seseorang harus teliti, jangan sampai mengalungkan lingkaran hidup yang buruk yang membuat ia sengsara selama hidup. Istri atau suami yang berakhlak buruk, berlidah tajam, suka marah dan cemberut, menguasai pasangan hidupnya, membuat hidup pasangannya menjadi pahit dan tidak menyenangkan. Rumah baginya adalah penjara bahkan lebih buruk dari penjara. Oleh karena itu sebelum memutuskan untuk kawin seseorang harus meneliti siapa calon istri atau suaminya dengan bantuan sesepuh keluarganya yang lebih berpengalaman. Karena kebahagiaan sebuah rumah tangga tidak terjadi secara kebetulan tetapi bergantung pada usaha setiap orang, apakah ia berhasil mendapatkan pasangan hidup yang baik atau tidak. Terutama wanita, ia banyak meniru dan mengikuti karakter ibunya. oleh karena itu, pepatah mengatakan, “bila mau mengambil menantu wanita, maka lihatlah karakter dan akhlak ibunya!”. Karena hal ini sangat berperan dalam kehidupan rumah tangga seseorang.

Tidak sedikit perkawinan yang diakhiri dengan perceraian karena tidak adanya kecocokan, terutama dalam masalah akhlak, perilaku dan selera. Istri atau suami yang berakhlak buruk ketika masih hidup bersama akan menyebabkan kesengsaraan pasangan hidupnya. Kehidupan bagi pasangan yang bertahan menghadapi keburukan akhlak pasangannya bagaikan jahanam. Dunia baginya tidak menyenangkan. Karena satu-satunya tempat tinggal baginya adalah rumah, bagaimana tidak seperti jahanam bila menghadapi pasangan hidup yang berakhlak buruk. Bahkan bila terjadi perceraian, Kesengsaraan ini tidak berhenti sampai di sini, melainkan berlanjut dengan berbagai macam bentuk; seperti rebutan mengasuh anak. Anak menjadi korban keegoisan kedua orang tuanya. Ia tidak berdosa mengapa harus menjadi korban keburukan akhlak orang tuanya yang sudah cerai. Oleh karena itu kesengsaraan yang diakibatkan oleh salah pilih istri/suami buntutnya tidak berhenti dengan perceraian tetapi akan berlanjut bahkan boleh jadi tidak ada akhirnya. Mulai dari korban anak, korban perasaan, depresi yang dihadapi oleh orang-orang yang baru cerai sampai kejahatan yang dilakukan anak korban perceraian. Tidak sedikit fenomena kejahatan dan penyimpangan sosial yang dilakukan oleh anak-anak korban perceraian.

Orang tua yang mengerti, kalaupun terjadi perceraian, mereka akan meminimalkan dampak perceraiannya atas anak-anak yang mereka lahirkan. Dengan tidak mengikut sertakan anak-anak pada masalah yang mereka hadapi berdua.

Kesimpulan; kebahagiaan tidak terjadi secara tiba-tiba, melainkan bisa didapat dengan program dan perencanaan serta riset sebelum terjadi ikatan perkawinan. Karena dengan program dan riset kebahagiaan itu tidak saja akan dirasakan oleh pasangan suami/istri melainkan anak-anak mereka juga akan merasakannya yang berujung kepada kebahagiaan dan keharmonisan masyarakat. Karena keluarga adalah bagian terkecil dari masyarakat. Jika setiap keluarga bisa merasakan kebahagiaan, maka masyarakat juga akan merasakan kebahagiaan.

Teladan keluarga bahagia bagi umat manusia adalah keluarga Imam Ali dan Sayyidah Zahra as yang menghasilkan manusia-manusia suci dan penghulu para pemuda di surga.

Catatan Kaki:

[1] . Nahjul Fashahah, terjemah Ibrahim Ahmadian, penerbit Sahabuddin, Qom, 1385 hal 313, hadis 3066.

[2] . QS. An-Nur [24]: 26.

[3] . Wasail Asa-Syiah, jilid 14, hal 14.

[4] . Furu Kafi, jilid 5.

[5] . Wafi, jilid 12, hal 14.

[6] . Nahj Al-Fashahah, hal 569.

[7] . Bihar al-Anwar, jilid 43, hal 117.

[8] . Tuhaful Uqul, edisi Persia, terjemah dan tahqiq, Shadeq Hasan Zadeh, Qom, 1385, cet ke 5.

[9] . Bihar al-Anwar, jilid 75, hal 237.

[10] . Makarim al-Akhlak, 1408 hal 214.