Seorang datang kepada Rasulullah saw dan bertanya, “Wahai Rasulullah, jika aku ingin berbuat baik, siapa orang pertama yang paling layak mendapatkannya?”
Rasul menjawab, “Ibumu”
“Kemudian siapa wahai Rasulullah?”
“Ibumu”
“Kemudian siapa?”
“Ibumu”
“Kemudian siapa?”
“Ayahmu” jawab Rasulullah saw.
Sebelumnya kita telah membahas ayat yang mewajibkan kita untuk memperlakukan orang tua dengan sebaik mungkin. Bahkan, kita dilarang untuk menyakiti mereka sekecil apapun. Walaupun mereka jahat, walau mereka tak seagama.
Kali ini kita berhenti pada sebuah pertanyaan, apa hak seorang ibu?
Hak Ibu
Islam memiliki khazanah ilmu yang begitu luas. Ada sebuah kitab yang memuat bermacam hak di alam ini. Mulai dari Hak Allah, hak orang tua, hak anak bahkan hak anggota badan manusia. Dan masih banyak hak-hak lainnya.
Jika Hak Asasi Manusia baru terdengar heboh pada abad terakhir ini, islam telah menjelaskannya sejak seribu tahun yang lalu.
Ada sebuah kitab karya cucu Rasulullah, Imam Ali Zainal Abidin As-Sajjad yang Risalatul Huquq.
Ketika menyebutkan Hak Ibu, Imam Ali Zainal Abidin berkata,
“Adapun Hak ibumu, ketahuilah bahwa dialah yang mengandungmu ketika tidak ada yang mampu mengandungmu selain dia. Dan memberi segalanya kepadamu, disaat tidak ada yang dapat memberimu sedemikian rupa selainnya.
Dan dia mempersiapkan diri dengan pendengaran, penglihatan, tangan, kaki, rambut, kulit dan seluruh anggota tubuhnya untuk memberikan yang terbaik kepadamu. Dia melakukan semua itu dengan perasaan gembira dan senang.
Dia memikul segala kesulitan, rasa sakit, rasa berat dan kegelisahan sampai diberi kekuatan oleh Allah untuk melahirkanmu ke dunia ini.
Saat itu, dia rela untuk lapar asalkan kamu kenyang. Dia rela tidak memiliki pakaian, asal kamu memilikinya. Dia rela tercekik dahaga, asalkan kamu tidak haus lagi. Dia rela tersengat sinar matahari, asal kamu terlindungi.
Dia siap menderita yang penting dirimu mendapat kenikmatan. Dia siap untuk begadang malam, asal kamu dapat tidur nyenyak…”
Semua yang disampaikan oleh Imam Sajjad ini benar-benar terlihat di dunia nyata. Seorang ibu rela terhina bekerja sana sini untuk memberi makan anaknya. Dia rela mendapat seluruh rasa sakit asalkan putranya terbebas dari semua itu.
Kemudian Imam Sajjad mengakhiri kalimatnya dengan berkata,
“Jika kau ingin mensyukuri nikmat ibu, ingatlah semua kenikmatan ini. Dan kamu tidak akan bisa mensyukurinya kecuali dengan taufik dan bimbingan Allah swt.”
Suatu hari, ada seorang yang menggendong ibunya untuk tawaf di Ka’bah. Setelah selesai, dia mendatangi Rasulullah saw lalu berkata, “Wahai Rasulullah, sudahkah aku membalas kebaikan ibuku?”
Rasul menjawab, “Engkau belum membalas kebaikannya walau hanya satu rasa sakit saat melahirkanmu!”
Di waktu lain, Rasulullah saw bersabda,
“Allah mewasiatkan kepada kalian untuk (berbuat baik) kepada ibu kalian.” Beliau mengulanginya tiga kali. Lalu melanjutkan, “Kemudian Allah mewasiatkan kepada kalian untuk (berbuat baik) kepada keluarga yang paling dekat.” Kemudian beliau mengakhirinya dengan bersabda,
“Surga ada dibawah telapak kaki ibu.”
Apa yang hendak kita cari di dunia ini hingga harus berbuat kasar kepada ibu? Adakah kenikmatan yang lebih mahal dari surga?
Mengapa kita sibuk mencari kebahagiaan di dunia luar. Menghabiskan waktu dan tenaga untuk meraih kesuksesan semua. Padahal kebahagiaan sejati kita ada di rumah, dibawah telapak kaki ibu.
Mustahil seorang akan mendapat kebahagiaan jika dia harus mendapatkannya dengan menyakiti seorang ibu.
Kenapa kita bingung mencari tempat untuk berdoa, memohon kesana kemari untuk meminta doa, padahal masih ada keberuntungan terbaik kita di rumah?
Walaupun meminta doa kepada orang shaleh itu baik, berdoa di makam orang yang dekat dengan Allah itu baik, namun jangan sia-siakan seorang ibu yang doa dan derajatnya jauh diatas semua.
Bukankah kita pernah mendengar, ada seorang yang mendapat bermacam permasalahan hidup. Dia merasa tidak mampu lagi menanggungnya. Dia datang mengeluh kepada Rasulullah dan meminta doa kepada beliau.
Didepan para sahabat, Rasul bertanya, “Apakah kau masih memiliki orang tua?”
Dia menjawab, “Ya, ibuku sudah meninggal. Namun aku masih memiliki ayah.”
Rasul berkata, “Mintalah doa kepada ayahmu, semoga Allah menyelesaikan semua masalahmu.”
Setelah orang ini pergi, Rasul bersabda dihadapan para sahabatnya. “Andai ibunya masih hidup, maka seluruh masalahnya akan selesai.”
Di waktu yang lain, ada seorang datang kepada beliau untuk berjihad. “Wahai Rasulullah, aku ingin berjihad. Segalanya telah kupersiapkan namun ibuku menangis dan melarangku.”
Rasulullah berkata kepadanya, “Pulanglah dan temani ibumu. Demi Allah, gembiranya hati ibumu ketika bersamamu semalam lebih tinggi nilainya di sisi Allah dari berjihad di jalan Allah selama setahun.”
Apakah jihad perlu mendapat izin dari ibu?
Ya, seorang anak yang ingin berjihad harus mendapatkan izin dari ibunya. Kecuali ketika islam diserang dan dalam posisi bertahan, dia tidak butuh izin lagi. Namun jika dalam posisi menyerang, maka izin seorang ibu tetap diperlukan.
Seorang yang lain datang kepada Rasulullah saw untuk ikut berjihad. Rasul bertanya, “Apakah engkau masih memiliki kedua orang tua?”
“Ya, aku masih memiliki keduanya wahai Rasulullah.” Jawabnya.
“Maka kepada mereka berdua engkau harus berjihad.” Sabda Rasulullah saw.
Yang dimaksud jihad untuk kedua orang tua adalah melayaninya dan berusaha memberi yang terbaik untuk mereka.
Pada kejadian yang hampir sama, seorang meminta izin kepada beliau untuk berjihad. Rasul menanyakan, apakah dia masih memiliki ibu? Dia berkata iya.
Lalu Rasul bersabda, “Berbuat baiklah kepada ibumu karena surga berada dibawah kakinya.”
Sungguh tak ada seorang pun yang dapat membalas kebaikan seorang ibu. Karenanya, jangan heran jika Allah menggandengkan perintah tauhid dengan perintah untuk berbakti kepada kedua orang tua.
Jika semua kerikil dan bilangan hujan di dunia ini dikumpulkan untuk berbuat baik pada seorang ibu, kita belum bisa membalasnya. Bahkan hanya dengan mengandung kita selama 9 bulan.
Hak Ayah
Walaupun hak ibu lebih besar dari ayah, namun jasa seorang ayah bukan hal yang remeh. Masih dalam kitab Risalatul Huquq. Imam Ali Zainal Abidin berkata,
“Adapun Hak ayahmu, ketahuilah bahwa dia adalah asalmu. Tanpanya engkau tidak akan ada.
Ketika engkau melihat kehebatan pada dirimu, maka ketahuilah asal kenikmatan itu adalah ayahmu. (Karena segala prestasi itu tidak akan kita raih jika kita tidak dilahirkan di dunia ini). Karena itu bersyukurlah kepada Allah dan bersyukurlah kepada orang tuamu.”
Rasulullah saw bersabda, “Ayah adalah salah satu pintu dari pintu-pintu surga maka jagalah pintu itu.”
Sungguh menyedihkan saat melihat seorang anak yang sudah merasa mampu dan melupakan jasa ayahnya. Setelah ia telah memberikan sesuatu kepada ayahnya, dia mulai berani memerintah, membentak dan menyakiti perasaan ayahnya.
Apa yang mampu diberikan seorang anak kepada ayahnya sementara tanpa ayah dia tidak akan pernah merasakan kehidupan?
Pernah datang seorang kepada Rasulullah saw dengan membawa ayahnya. Dia mengadukan ayahnya kepada Rasulullah dengan tuduhan telah mencuri hartanya. Sang ayah tertunduk malu dihadapan Rasulullah, lalu berkata,
“Wahai Rasulullah, aku hanya mengambil sedikit untuk menafkahi ibu dan saudara ibunya.” Sambil menundukkan wajahnya.
Saat itu Jibril datang dan berkata kepada Rasulullah bahwa orang tua ini menyimpan sesuatu dalam hatinya. Perintahkan ia untuk mengungkapkan segala unek-unek yang selama ini dia simpan.
Akhirnya Rasulullah menyuruh sang ayah untuk menceritakan apa yang ada dalam hatinya. Orang ini terkejut karena Rasulullah tau ada sesuatu yang ia simpan.
Lalu dia mengeluarkan bait-bait syair untuk anaknya, “Aku memberimu makanan, aku membimbingmu sejak kecil. Aku memperhatikanmu sampai melupakan diriku sendiri. Disaat kau sakit, aku sungguh gelisah. Aku tak bisa tidur, seakan aku merasakan sakit itu sebelum engkau merasakannya.
Jiwaku takut jika kematian menimpamu padahal aku tau, mati itu adalah ketentuan Allah swt. Karena itu aku selalu menangisimu.
Tetapi ketika beranjak dewasa, aku berharap kau bisa berbuat baik kepadaku. Ternyata kau membalasnya dengan kekerasan dan kekasaran. Seakan engkau lah yang selalu memberi kebaikan kepadaku, bukan aku.
Jika engkau tak lagi menganggapku sebagai ayah, cukuplah dirimu memperlakukanku seperti tetangga terhadap tetangganya.”
Setelah ayah ini mengungkapkan isi hatinya, Rasulullah berdiri dan memegang leher anak ini seraya bersabda,
“Engkau dan seluruh hartamu adalah milik ayahmu!”
Apa yang didapatkan oleh anak yang berbakti kepada orang tuanya?
Seluruh kebaikan akan kembali kepada orang yang melakukannya. Apalagi kebaikan itu kita berikan kepada orang tua, jelas balasan Allah amat besar bagi kita.
Seorang yang berbakti akan mendapatkan balasan kebaikan itu di dunia sebelum di akhirat. Berapa banyak kisah sukses seseorang yang diraih karena baktinya kepada orang tua?
Sementara itu, durhaka kepada orang tua termasuk dosa yang paling besar menurut islam. Seseorang tidak akan bisa masuk surga jika selalu menyakiti hati kedua orang tuanya. Jangankan masuk surga, mencium harumnya pun tak bisa. Bagaimana dia akan mencium harum surga jika telah merusak surganya, yaitu kedua orang tuanya.
Bagaimana jika kita merasa belum berbakti namun orang tua telah wafat?
Pertanyaan kita telah diwakili oleh seorang yang datang kepada Rasulullah saw, dia bertanya, “Wahai Rasulullah, adakah perbuatan baik yang harus aku lakukan kepada kedua orang tuaku setelah keduanya wafat?”
Rasul menjawab, “Ya,
Berdoalah untuk mereka.
Mohonkan ampun kepada Allah untuk mereka
Memenuhi perintahnya setelah mereka wafat. (Jika ada janji yang belum terlaksana, maka laksanakanlah. Jika ada wasiat, maka penuhilah selagi tidak keluar dari hukum Allah swt)
Muliakan teman-temannya.
Jagalah silaturahmi dengan”
“Pemimpin orang-orang bakti di Hari Kiamat adalah seorang yang berbakti kepada orang tuanya setelah keduanya wafat.”
(Rasulullah saw)
Apa yang pernah kita berikan kepada orang tua? Walaupun umur ini telah dihabiskan untuk berbakti, namun kita tidak akan pernah sempurna dalam berbakti. Sepanjang umur telah berbuat baik, tidak pernah menyakiti keduanya, tidak pernah mengangkat suara dihadapannya dan seluruh kebaikan itu tidak akan mampu membalas jasa mereka.
Bahagiakan keduanya, karena kerelaan mereka adalah kerelaan Allah swt.