Allah Swt berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمْ وَاخْشَوْا يَوْمًا لَّا يَجْزِي وَالِدٌ عَن وَلَدِهِ وَلَا مَوْلُودٌ هُوَ جَازٍ عَن وَالِدِهِ شَيْئًا إِنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ فَلَا تَغُرَّنَّكُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا وَلَا يَغُرَّنَّكُم بِاللَّهِ الْغَرُورُ
Hai manusia, takutlah kepada Tuhanmu dan takutlah suatu hari yang (pada hari itu) seorang bapak tidak dapat menolong anaknya dan seorang anak tidak dapat (pula) menolong bapaknya sedikitpun. Sesungguhnya janji Allah adalah benar, Maka janganlah sekali-kali kehidupan dunia memperdayakan kamu, dan jangan (pula) penipu (syaitan) memperdayakan kamu dalam (mentaati) Allah.(QS. Luqman [31]:33.)
“Takutlah kepada Tuhanmu” maksud dari takwa tersebut adalah kita menjadikan di antara kita dan Allah Swt sebuah unsur penjagaan, dan terkadang al-Qur’an menjelaskan takwa adalah saat takut dengan murka Allah dan neraka jahanam, dan terkadang takut kepada Allah Swt. Ada perbedaan antara takutnya seorang manusia pada siksa Tuhannya, dan antara takutnya dia kepada Tuhannya.
وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى/ فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى
Dan Adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, Maka Sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya).(QS. al-Naazi’at [79]:40.)
Takut akan ketinggian dan kebesaran Allah merupakan sebuah derajat yang begitu mulia dari derajat-derajat irfan dan kesalehan seorang mukmin. Orang mukmin tidak melihat akan siksa-Nya, melainkan memandang pada posisinya di alam keberadaan ini. Ia tadinya adalah air sperma yang kotor, kemudian nantinya akan menjadi bangkai yang busuk, sementara Allah Swt pemilik segalanya, maka taat pada Tuhan tersebut, sesuai dengan rasio dan hati kecil, ketakutan seorang mukmin langsung kepada Dzat Allah Swt dan takut langsung pada Tuhannya.
Maka jalan menentang hawa nafsu adalah menghadirkan kebesaran dan keagungan Tuhan ada di hati seseorang, sebagaimana Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as memberi tahu tentang poin ini di dalam sabda beliau:
عَظُمَ الخَالِقُ فِي أَنْفُسِهِم فَـَصغُرَ مَا دُونَهُ فِي أَعْيُنِهِم
“Sang pencipta agung di jiwa-jiwa mereka, menjadikan selain-Nya kecil di mata mereka”.
Orang tersebut memandang bahwa syahwat sangatlah kecil, oleh karenanya orang mukmin tidak pernah menuruti sahwatnya untuk selamanya, karena di dalam batinnya ia menganggap bahwa itu semua adalah hal yang hina.
“ Takutlah kepada Tuhanmu dan takutlah” yaitu takutlah kepada Allah Swt dan juga takutlah pada hari tersebut! umumnya yang namanya manusia mereka takut pada siksa Allah Swt , sementara mereka orang-orang khusus mereka hanya takut pada Dzat Allah Swt semata, tanpa pernah mempertimbangkan adanya surga dan neraka.
“ dan takutlah suatu hari yang (pada hari itu) seorang bapak tidak dapat menolong anaknya dan seorang anak tidak dapat (pula) menolong bapaknya sedikitpun.” Ini adalah kehidupan dunia, kehidupan insan secara ringkas adalah ia menikah dan dari situ ia memiliki keturunan atau anak, mendidiknya dan kemudian ia menyerahkannya pada masyarakat, kebanyakan dari kehidupan manusia, dan dari keindahan masa muda seseorang, yang dilakukannya di dalam mendidik, sang anak ia anggap seperti benda materi yang ada, bukan menganggapnya sebagai amanat Tuhan yang dititipkan kepadanya, Allah Swt berkata: wahai manusia kamu telah bersusah payah dalam mengadakan si anak tersebut dalam ciptaannya dengan izin Allah Swt, engkau mendidiknya hingga menjadi besar dengan harapan-harapan yang begitu jauh, akan tetapi akan datang hari itu, hari di mana tidak lagi ada hubungan antara engkau dan anakmu.
“ Apabila sangkakala ditiup Maka tidaklah ada lagi pertalian nasab di antara mereka pada hari itu” (QS. al-Mukminun [23]:101.)
Yaitu tidak ada lagi hubungan nasab, maka mana hasil dari yang dahulu kamu usahakan dan bersusah payah untuknya?
“Seorang anak tidak dapat (pula) menolong ayahnya sedikitpun” ketika ayah terjerumus ke dalam api neraka dan melihat anaknya ada di hari kiamat kemudian berkata: “wahai anakku! Aku adalah orang yang telah melelahkan masa mudaku, aku menghabiskan usiaku untuk mendidikmu, dan sekarang aku sangat membutuhkan sebuah kebaikan yang dapat menyelamatkanku dari api neraka”.
Sang anak menjawab: “wahai ayahku! Ini adalah hari di mana aku tidak dapat memberikan apa-apa kepadamu”. Melihat pada konsekuensi dari apa yang telah lewat, kewajiban atasnya adalah hendaknya kita tidak menganggap remeh masalah anak, melainkan itu adalah amanat buat kita, merupakan keharusan bagi kita untuk memperhatikan mereka sesuai beberapa kriteria berikut:
Pertama, hendaknya kita memberikan porsi perhatian kita kepada mereka sesuai dengan yang telah Allah Swt perintahkan, di dalam hadis yang mulia disebutkan: “ jangan jadikan paling besarnya kesibukanmu adalah istri dan anakmu”. Dalam arti jangan engkau memberi perhatian yang berlebihan melebihi batas yang ditetapkan oleh Pemberi syariat, jika mereka menjadi wali-wali maka sesungguhnya Allah tidak pernah menyia-siakan para waali-Nya, dan jika mereka tidak menjadi wali-wali Allah maka apa urusanmu dengan mereka yang bukan para wali-wali Allah dan merupakan musuh-musuh-Nya?!
Kedua , hendaknya proses pendidikan yang kita terapkan pada mereka disertai motif-motif ilahiah, karena jika tidak maka seseorang pasti akan celaka dan merugi. Sesungguhnya orang yang mendidik anak-anaknya tidak didorong tekad untuk mendekatkan diri kepada Allah, dan di dalam mendidiknya tidak dengan keyakinan bahwa itu merupakan amanat-amanat yang dititipkan oleh Allah Swt kepadanya maka sungguh kelak di hari kiamat ia akan menjadi orang yang merugi. Penjelasan ini bukanlah termasuk dari pembahasan irfan yang terkandung di dalam kitab-kitab para Arif, melainkan itu adalah keterangan langsung dari al-Qur’an al-Karim:
“seorang bapak tidak dapat menolong anaknya dan seorang anak tidak dapat (pula) menolong bapaknya sedikitpun. Sesungguhnya janji Allah adalah benar, Maka janganlah sekali-kali kehidupan dunia memperdayakan kamu, dan jangan (pula) penipu (syaitan) memperdayakan kamu dalam (mentaati) Allah.”
Sesungguhnya dunia adalah tipu daya, ia merupakan rumah kebohongan, karena dia merayu dengan tipuan-tipuan dan merupakan sesuatu yang segera, dan rahasia tipuan di kehidupan dunia ini adalah karena dunia itu begitu indah, dia membujuk manusia sebagaimana yang termuat di dalam al-Qur’an al-Karim,
لأُزَيِّنَنَّ لَهُمْ فِي الأرض ولأغوينهم اجمعين
Pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan ma’siat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya (QS. al-Hijr [15]:39.)
Dunia adalah sesuatu yang cepat dan segera, manusia yang materialis yang tidak memandang adanya alam lain selain alam materi ini, maka dia enggan untuk membeli / menukar sesuatu yang tertunda dengan sesuatu yang cepat dan segera untuk bisa dia rasakan. Untuk apa memperdulikan surga yang dia ketahui melalui al-Qur’an al-Karim, dan dari ucapan para wali? Sementara selama ini ia tidak pernah melihat sama sekali kenikmatan tersebut.
Padahal, Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as berkata: “ mereka (orang-orang yang bertaqwa) dengan surga bagaikan orang yang melihatnya langsung dan mereka seakan-akan di dalamnya diberi nikmat, mereka dengan neraka bagaikan orang yang melihatnya langsung dan seakan-akan mereka disiksa di dalamnya”. Pada kesempatan lain beliau as menyampaikan dengan kandungan yang sama “ seakan-akan amukan jahanam ada di ujung-ujung pendengaran mereka”.
Ini adalah pendidikan Amirul Mukminin as, maka hendaknya seseorang berjanji pada Tuhannya untuk kembali menilai kehidupan dan memandang bahwa dunia dengan segala gemerlapnya, istri-istri dan anak-anak serta rumah-rumah yang ada di dalamnya adalah sebuah kesenangan dan kenikmatan yang bersifat sementara, sedang jika semuanya dikaitkan dan dihubungkan dengan Allah Swt maka hal-hal itu akan memperoleh kekekalan, karena Allah Swt berfirman:
كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ
Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. (QS. al-Qashas [28]:88.)